Analisis Saham

Ulasan Kinerja Bank Victoria (BVIC) yang Kian Menurun

Sumber: Bank Victoria1

Ajaib.co.id – Bank Victoria International Tbk (BVIC) adalah perusahaan dengan kegiatan usaha utama perbankan. Produk dan layanan yang ditawarkannya meliputi penghimpunan dana dan penyaluran kredit seperti tabungan, giro, pinjaman komersial pribadi dan korporasi, pinjaman konsumtif, pasar uang, dan deposito.

Selain bank umum, Bank Victoria juga menjalankan kegiatan perbankan syariah melalui anak usahanya PT Bank Victoria Syariah. Kantor pusat Bank berlokasi di Jakarta dengan operasional yang tersebar di beberapa titik di Indonesia.

Bank Victoria didirikan pada tanggal 28 Oktober 1992 dan melaksanakan penawaran saham perdana pada tanggal 30 Juni 1999 di papan utama bursa dengan kode saham BVIC. Dengan jumlah saham beredar sebesar 8.862.427.568 lembar di harga Rp 166, kapitalisasi pasarnya Rp 1,47 Triliun.

Pemegang saham dengan kepemilikan signifikan diantaranya PT Victoria Investama Tbk (45,74%), Suzanna Tanojo (17,18%), SSB 4671 Deg-deutsche Inv Und Eg Mbh (8,72%). Sedangkan yang beredar di masyarakat adalah sebanyak 28,36%.

Riwayat Kinerja

  Total Aset DPK Modal Inti
2017 28.825.608.648.000 20.774.972.177.000 2.456.457.779.000
2018 30.172.315.337.000 20.636.380.394.000 2.316.943.613.000
2019 30.456.458.802.000 21.793.143.253.347 2.309.344.873.000
2020 26.221.407.472.000 19.656.111.480.000 1.919.949.689.000
CAGR -3,11% -1,83% -7,89%

Tahun 2020 nampaknya merupakan tahun yang sulit bagi  Bank Victoria. Baik total aset, dana pihak ketiga maupun aset produktif turun beberapa belas persen. Adapun sejak tahun 2018 total aset Bank Victoria mengalami penurunan, secara rata-rata total aset turun 3,11% per tahun. Penurunan total aset salah satunya disebabkan oleh penurunan dana pihak ketiga yang secara rata-rata 1,83% per tahun.

Modal inti emiten juga turun dengan rata-rata penurunan sebesar 7,89% per tahun. Di akhir tahun 2020 modal inti BVIC adalah sebesar Rp 1,91 triliun. Karena masih berada dalam rentang Rp 1-5 triliun maka emiten masih berada dalam ketagori Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) tier 2.

Namun tren turun pada modal inti yang terjadi secara konstan setiap tahunnya membuat kita pesimis akan masa depan emiten mengenai permodalannya dan tidak menutup kemungkinan jika modal inti emiten terus turun maka emiten terancam turun kasta ke golongan bank BUKU 1. 

  Aset Produktif ATMR Total Pendapatan
2017 28.093.386.180.000 16.060.733.941.000 2.747.371.433.000
2018 28.667.739.472.000 18.027.065.842.000 2.655.293.816.000
2019 28.870.258.952.000 19.134.836.046.000 2.585.359.552.000
2020 24.476.141.211.000 17.163.065.023.000 2.281.645.682.000
CAGR -4,49% 2,24% -6,00%

Di tahun 2020, dari total aset sebesar Rp 26,22 triliun sebesar Rp 24,47 triliun disalurkan sebagai aset produktif. Aset produktif adalah segala aset yang menghasilkan seperti penyaluran kredit, giro di Bank Indonesia, giro di bank lain, tagihan akseptasi, efek-efek dan lainnya.

Hingga tahun 2019 aset produktif Bank Victoria bertumbuh rata-rata 13,73% per tahun. Namun aset produktif terkoreksi 15% di tahun 2020 saat Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi. Emiten berhati-hati dalam menyalurkan aset produktifnya agar terlindungi dari risiko pasar yang meningkat.

Gejolak fluktuasi pada aset produktif menyebabkan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) juga ikut berfluktuasi. Hingga tahun 2019 ATMR emiten bertumbuh 9,1% per tahun. Karena aset produktif dikurangi maka besar ATMR juga berkurang menjadi hanya Rp 17,16 triliun saja.

Aset produktif kemudian menghasilkan total pendapatan yang terdiri dari pendapatan operasional, operasional lain dan non-operasional. Total pendapatan turun menjadi Rp 2,28 triliun saja di tahun 2020. Penurunan rupanya tak hanya terjadi di tahun 2020 saja ketika aset produktif turun 15% dari sebelumnya. Ternyata selama ini setiap tahunnya total pendapatan turun rata-rata sebesar 6% per tahun tak mengindahkan fluktuasi pada aset produktif.

  Total Kredit Pendapatan
Bunga Bersih
Beban Bunga
2017 15.831.264.327.000 457.677.104.000 1.835.041.049.000
2018 16.393.596.314.000 459.330.574.000 1.820.882.197.000
2019 17.440.119.532.000 269.148.219.000 1.954.056.503.000
2020 14.843.354.298.000 189.658.449.000 1.600.981.946.000
CAGR -2,12% -25,45% -4,45%

Dari total aset produktif sebesar Rp 24,47 triliun, sebesar Rp 14,84 triliun adalah berupa penyaluran kredit. Total kredit sempat bertumbuh sebesar 4,9% per tahun hingga tahun 2019, namun terkoreksi 15% menjadi Rp 14,84 triliun saja.

Dari sisi operasional, meski beban bunga hanya terkoreksi sebesar 4,45% per tahun namun pendapatan bunga bersih berkurang rata-rata 25,45% per tahun. Padahal total kredit tidak terus-menerus melemah, sempat meningkat hingga tahun 2019, kemudian turun di tahun 2020. Total penurunan rata-ratanya hanya 2,12% saja per tahun. Namun pendapatan bunga bersih secara konstan terus berkurang nilainya dari tahun ke tahun sebesar 25,45% per tahun.

Jelas ada masalah yang harus segera diatasi dari sisi operasional. Sebagai informasi sebagai bank, operasional emiten yang utama adalah penyaluran kredit. Berikut informasi mengenai kualitas kredit yang disalurkan.

  Kredit Bermasalah NPL
Bruto
Kredit Macet NPL
Netto
2017 503.434.205.599 3,18%389.449.102.4442,46%
2018 577.054.590.253 3,52%331.150.645.5432,02%
2019 1.180.696.092.316 6,77%865.029.928.7874,96%
2020 1.125.126.255.788 7,58%728.808.696.0324,91%
CAGR 30,74% 23,23%

Secara umum kualitas kredit dibagi menjadi 5 bagian yang disebut dengan Kolektivitas (Kol). Kol 3 hingga 5 adalah kredit-kredit yang tak tertagih lebih dari 90 hari namun kurang dari 180 hari sejak penagihan. Kredit-kredit yang masuk ke dalam Kol 3, 4 dan 5 disebut juga kredit bermasalah. Sedangkan Kol 5 adalah kredit macet yang tak terbayar, tak dapat dilunasi oleh sang debitur.

Jumlah kredit bermasalah per total kredit, alias NPL bruto, rupanya terus meningkat dari tahun ke tahun. Di tahun 2020 NPL Bruto ada sebanyak 7,58% atau setara dengan Rp 1,12 triliun. Bank Indonesia menyatakan bahwa NPL semestinya di bawah 5%. Lebih dari itu maka dapat dikatakan bahwa perusahaan memiliki masalah dalam menyeleksi debitur-debitur nya.

Dari Rp 1,12 triliun kredit bermasalah ternyata Rp 728,8 miliar nya merupakan kredit macet yang sudah tak tertagih selama lebih dari 180 hari lamanya. Ini adalah masalah bagi emiten karena jika kredit-kredit bermasalah, terutama kredit macet, terus bertumbuh maka permodalan emiten bisa terus tergerus.

Ternyata masalah emiten tak hanya terdapat dari sisi operasional saja, namun juga dari efisiensi beban-beban. Berikut laporannya:

  Total Pendapatan Total Beban  Laba Bersih
2017 2.747.371.433.000 2.138.983.203.000 136.090.761.000
2018 2.655.293.816.000 2.068.255.674.000 79.081.921.000
2019 2.585.359.552.000 2.610.084.885.000 -13.764.500.000
2020 2.281.645.682.000 2.579.878.182.000 -252.193.690.000
CAGR -6,00% 6,45% -108%

Dari sisi efisiensi, beban-beban yang terdiri dari beban operasional, operasional lain dan non-operasional tumbuh 6,45%. Sementara itu total pendapatan yang juga terdiri dari pendapatan perasional, operasional lain dan non-operasional turun 6% per tahun. Pertumbuhan beban yang diiringi pengurangan pendapatan adalah hal yang tidak kita inginkan dalam kegiatan usaha perusahaan.

Di tahun 2020 saja total pendapatan adalah Rp 2,28 triliun, sedangkan total beban adalah Rp 2,57 triliun. Alhasil setelah dikurangi pajak dan cadangan kerugian penurunan nilai, di tahun 2020 emiten mesti merugi Rp 252,19 miliar. Setiap tahunnya kondisi emiten terus memburuk.

Semula emiten masih membukukan laba sebesar Rp 136 miliar di tahun 2017, lalu turun menjadi Rp 79 miliar saja di tahun 2019. Penurunan tersebut berlanjut ke tahun berikutnya, di tahun 2018 emiten kemudian merugi Rp 13,76 miliar. Kerugian semakin jelas terasa di tahun 2020, tahun di mana emiten mulai merugi besar-besaran. Rata-rata penurunan laba, hingga akhirnya merugi, setiap tahun adalah 108%.

Rasio

Dengan memperhatikan permodalan, kualitas kredit, efisiensi beban dan profitabilitasnya maka dapat disimpulkan ada yang salah dengan Bank Victoria. Pelan tapi pasti BVIC semakin tidak menarik dilihat dari aspek-aspek yang akan diuraikan di bawah ini:

  • Permodalan

Dengan modal inti sebesar Rp 1,91 triliun maka BVIC termasuk ke dalam kategori bank BUKU 2. Namun modal inti emiten terus turun dengan pelemahan rata-rata sebesar 7,89% per tahun. Dengan penambahan modal pelengkap, modal bank hanya turun 0,63%.

Namun karena aset produktif terus bertumbuh, turun hanya di tahun 2020, maka rasio modal bank per Aset Tertimbang Menurut Risiko (CAR) dari BVIC terus menurun.  

  2020 2019 2018 2017
CAR 16,68% 17,29% 16,73% 18,17%

Sebenarnya rasio CAR dari emiten masih baik karena setidaknya modal bank minimal 8% dari ATMR nya, sebagaimana yang terlihat bahwa CAR emiten terakhir adalah 16,68%. Yang mengkhawatirkan adalah tren turunnya. Semula 18,17% di tahun 2017, lalu menjadi 16,73% di 2018. Kemudian naik ke 17,29% lalu drop lagi ke 16,68%.

CAR mengukur kemampuan bank dalam menutupi kerugian risiko gagal kredit. Jika tren turun ini terus berlanjut maka ekspektasi ke depan adalah CAR kemungkinan dapat turun di bawah 10%.

  • Kualitas Kredit

Kualitas kredit dilihat dari besar kredit bermasalah per total kredit, semakin besar kredit bermasalah semakin buruk. Kredit bermasalah disebut juga dengan Non-Performing Loan (NPL), disebut bermasalah apabila kredit belum juga dibayarkan oleh nasabah lebih dari 90 hari.

NPL bruto terdiri dari kredit Kol 3, 4, dan 5 dan jumlahnya kian besar dari tahun ke tahun. Perhatikan rasio NPL di bawah ini yang membagi kredit bermasalah dengan total kredit.

  2020 2019 2018 2017
NPL Bruto 7,58% 6,77% 3,52% 3,18%
NPL Neto 4,91% 4,96% 2,02% 2,46%

Batas rasio yang dapat diterima adalah 5% atau kurang, lebih dari itu maka menandakan proses seleksi debitur oleh emiten semakin buruk. Kredit disalurkan ke lebih banyak orang yang kurang layak secara kredit dan oleh karenanya NPL Brutonya meningkat.

Lebih parah lagi, 64,7% dari kredit bermasalah termasuk ke dalam kredit macet. Sebagai informasi kredit macet adalah kredit yang usia tagihnya lebih dari 180 hari, bahkan tak terbayarkan sama sekali. NPL Neto mengukur rasio kredit macet  per total kredit. Dari tahun ke tahun angka NPL Neto dari BVIC terus melaju, sempat agak turun ke 4,91% di tahun 2020. Namun tetap saja angkanya hampir mencapai lebih dari 5% alias tak sehat. 

  • Profitabilitas
  2020 2019 2018 2017
NIM 0,77% 0,93% 1,60% 1,63%
NPM -11,05% -0,53% 2,98% 4,95%
ROA -0,96% -0,05% 0,26% 0,47%

Pendapatan bunga bersih per aset produktif menunjukkan pelemahan juga, menandakan ada yang salah dengan operasionalnya. Beban-beban juga meningkat 6,45% per tahun sedangkan total pendapatan turun 6% per tahun, setelah dikurangi pajak maka hasilnya emiten harus menderita penurunan hasil kegiatan usaha.

Beban-beban yang meningkat menandakan efisiensi emiten yang semakin buruk, dan pendapatan yang terus melemah menandakan emiten punya masalah dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya. Itulah sebabnya Marjin Laba Bersih (NPM) emiten kian memburuk.

Laba emiten turun dari Rp 136 miliar di 2017 menjadi hanya Rp 79 miliar saja di 2018. Lalu di 2019 emiten mulai menderita kerugian sebesar Rp 13,7 miliar dan di akhir 2020 kerugian emiten terus membengkak hingga Rp 252,19 miliar. Jangan tanya soal hasil usaha per aset, semakin jauh panggang dari api.

Kesimpulan

Jelas ada yang salah dengan BVIC dari sisi pelaksanaan kegiatan usaha, seleksi nasabah kredit, dan efisiensi beban untuk bisa profit. Penurunan kinerja pada BVIC sedang berlangsung terjadi dan di tahun 2019 emiten sudah mulai merugi, setelah diterpa pandemi kerugian emiten menjadi tak tertahankan. Jika ini berlanjut maka tak menutup kemungkinan Bank Victoria dapat tutup usaha kurang dari satu dekade dari sekarang.

Disclaimer: Tulisan ini berdasarkan riset dan opini pribadi. Bukan rekomendasi investasi dari Ajaib. Setiap keputusan investasi dan trading merupakan tanggung jawab masing-masing individu yang membuat keputusan tersebut. Harap berinvestasi sesuai profil risiko pribadi.

Artikel Terkait