Saham

Startup Indonesia Bakal Go Public, Bagaimana Peluangnya?

perusaaan bursa efek indonesia

Ajaib.co.id. Startup Indonesia harus diakui mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bahkan keberadaannya sekarang bagaikan jamur di musim penghujan karena banyak sekali. Kebanyakan pelaku startup merupakan generasi milenial yang mulai merintis usahanya sejak tahun 2010.

Salah satu yang menjadi ciri khas dari perusahaan rintisan startup ialah penggunaan teknologi yang mendominasi di dalam usahanya. Berbeda dengan UKM konvensional, startup bukan hanya fokus pada prodoknya namun juga mode bisnisnya yang dilakukan secara online. Startup Indonesia yang cukup punya nama misalnya saja Traveloka – perusahaan penyedia tiket pesawat, kereta api dan akomodasi lainya, Tokopedia, Bukalapak yang merupaka marketplace jual beli online dan Gojek yang bergerak di bidang layanan transportasi.

Bahkan startup nomor 1, Gojek telah berhasil masuk dalam daftar startup unicorn di Asia Tenggara pada 2016 lalu setelah mendapatkan suntikan dana sebesar 550 juta dollar. Label tersebut disematkan bagi perusahaan dengan valuasi US 1 miliar dollar. Bahkan Gojek berhasil mencapai status decacorn yakni perusahaan dengan valuasi US 10 miliar dollar pada Maret 2019 lalu.

Ada sejumlah startup Indonesia yang juga telah mendapatkan label yang sama. Terahir ialah Bukalapak yang menjadi unicorn, perusahaan e-commerce yang didirikan oleh Achmad Zaky. Tren startup Indonesia memang didukung sepenuhnya oleh pemerintah melalui Kementeriaan Komunikasi dan Informatika apalagi dengan manfaatnya menghasilkan lapangan pekerjaan yang layak.

Babak Baru, Startup Indonesia Masuki Bursa Saham

Beberapa tahun yang lalu, merintis perusahaan bermodel startup memang merupakan hal yang sulit. Bisa tanyakan itu pada Ferry Unardi, pendiri Traveloka dan Leontinus Alpha Edison yang merupakan founder Tokopedia. Tidak mudah untuk meyakinkan investor menanamkan modal di perusahaan dengan ide yang tidak biasa.

Permodalan memang merupakan hal yang krusial bagi kinerja perusahaan. Modal bisa didapatkan salah satunya lewat investor ataupun melantai di bursa efek. Hanya saja sampai saat ini memang perusahaan startup Indonesia berlabel unicorn apalagi decacorn belum ada yang terjun dalam Bursa Efek Indonesia (BEI).

Dikutip dari pemberitaan Kontan, Kepala Eksekutif Pengawasa Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hoesen menjelaskan faktor adanya keterbukaan saat melakukan Initial Public Offering (IPO) adalah hal yang kerap mengganjal startup mencatatkan sahamnya. Tingkat persaingan usahaa antara startup sangat tinggi sehingga krusial sekali detail akan ranah bisnis, rencana bisnis, pengelolaan, hingga kondisi keuangan perusahaan.

Namun bukan berarti tidak ada startup Indonesia yang tercatat dalam bursa saham Indonesia. Pada Kamis, 5 Oktober 2017 lalu, BEI meresmikan pencatatan saham perdana dari PT Kioson Komersial Indonesia Tbk (KIOS), yang merupakan perusahaan startup e-commerce pertama yang mencatatkan sahamnya di BEI lewat IPO di pasar modal domestik.

Hal membuktikan bahwa BEI mendukung dan menyediakan fasilitas bagi perusahaan startup. Kioson diharapkan dapat lebih profesional, transparan, akuntabel, dan menjadi salah satu saham yang terus menjadi incaran investor. Saat memasuki daftar Perusahaan Bursa Efek Indonesia, Kioson melepas saham ke publik sebanyak 150.000.000 saham (sekitar 23,07% dari total modal ditempatkan) dengan harga Rp300,- per saham, sehingga perusahaan langsung meraih dana segar sebesar Rp45 miliar, dan disetor penuh setelah pelaksanaan IPO

Momen IPO penting bagi perusahaan karena dapat memperkuat komitmen dalam menjembatani underserved market dengan dunia digital, sekaligus membuka peluang bagi para investor untuk bisa berinvestasi di startup teknologi. Sekitar 78,95% dana yang diraih dari hasil IPO akan dialokasikan untuk akuisisi PT Narindo Solusi Komunikasi dalam rangka memperkuat infrastruktur perusahaan, jelas Jasin Halim – Direktur Utama Kioson.

Kurang dari sebulan kemudian MCASH menyusul pada 1 November 2017. Selanjutnya NFC pada 12 Juli 2018. 2 tahun terakhir seolah memang menjadi momennya perusahaan startup masuk ke pasar modal dalam negeri.

  • Pada perdagangan perdana, harga saham KIOS menunjukkan penguatan 50%, dari Rp300,- menjadi Rp450,- per saham.
  • Harga saham PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS) yang IPO pada 1 November 2017, tercatat sudah naik 132,4% menjadi Rp3.220 per saham!
  • Harga saham PT NFC Indonesia Tbk (NFCX) yang IPO pada 12 Juli 2018 naik 39,45% menjadi Rp2.580 per saham.
  • Sayangnya harga saham PT Yelooo Integra Datanet Tbk (YELO) yang IPO pada 29 Oktober 2018 malah terkoreksi 60,1% menjadi Rp150,- per saham.
  • Harga saham PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk (DIVA) yang IPO pada 27 November 2018 tercatat naik 24,7% menjadi Rp3.680 per saham.
  • Harga saham startup yang paling belakangan IPO, yaitu PT Telefast Indonesia Tbk (TFAS), naik 54,44% pada menjadi Rp278,- per saham. 

Mengapa Daftar Perusahaan Bursa Efek Indonesia Minim Emiten Startup?

Ekonom Indef Bhima Yudhistira juga mengungkapkan bahwa minimnya minat startup Indonesia masuk BEI disinyalir terkait persyaratan yang rumit dan mahal, termasuk biaya valuasi dan audit. Umumnya startup menghindari keterbukaan keuangan secara berlebihan, khawatir publik atau kompetitor akan mengetahui “rahasia dapur” perusahaan kesayangannya.

Dengan sifat alamiah startup yang umumnya masih menjunjung tinggi idealisme visi-misi Founder-nya, pada dasarnya mereka juga ingin agar intervensi investor dilakukan secara terbatas. Misalnya: pengelolaan operasional diserahkan kepada manajemen pilihan pendirinya.

Sebaliknya pada perusahaan terbuka, pemilihan direksi pasca IPO dipilih oleh publik dan peran Founder jadi berkurang. Biasanya startup baru berpikir untuk IPO saat valuasinya menyentuh level tertentu. Meski demikian, sejumlah startup Indonesia berlabel unicorn terus dikabarkan akan mulai memasuki pasar modal seperti Traveloka, Bukalapak, dan Gojek meski realisasinya masih dipertanyakan.

IPO tidak identik dengan exit strategy

IPO sering diasosiasikan sebagai exit strategy (strategi keluar dari kesulitan) bagi startup. Exit strategy lainnya adalah Merger & Akuisisi, menjual perusahaan, menjadi “cash cow“, bahkan dilikuidasi dan ditutup. Misalnya; merger Berniaga.com dan Tokobagus menjadi OLX Indonesia, akuisisi Tiket.com oleh Blibli, atau akuisisi Lazada oleh Alibaba.

Sementara Willson Cuaca – Co-Founder & Managing Partner East Ventures menganggap IPO sebagai milestone-nya startup karena setelah IPO, startup itu akan tetap berjalan untuk menjadi semakin besar. Bagi Jasin Halim – Co-Founder dan CEO Kioson, IPO merupakan strategi yang tidak pernah terlintas saat merintis startup itu di 2015. Kioson pernah menempuh berbagai upaya pendanaan, namun tak satupun berjodoh lantaran ketidakcocokan penghitungan valuasi.

Lalu kebetulan saat itu momennya pemerintah mulai gencar mendorong startup e-commerce, hingga akhirnya menjadi solusi. Suryandy Jahja – Managing Director Kresna Graha Investama (KREN) juga memandang IPO sebagai milestone untuk kesempatan tumbuh lebih besar. Karenanya KREN aktif mereview dan mendorong anak-anak usahanya untuk mendaftar di bursa.

Pada awal Oktober 2019, kapitalisasi pasar Kioson sudah melebihi Rp2 triliun! Sejak IPO, visibilitas Kioson semakin meningkat, apalagi menyandang predikat “Startup Digital Yang Pertama berhasil IPO”. Reputasi tersebut dimanfaatkan untuk bermitra dengan banyak pihak, agar kinerja perusahaan terus membaik.

Laporan keuangan di Q2 2018 menunjukkan Kioson meraup laba bersih Rp4,8 miliar, dengan jumlah penjualan bersih sebesar Rp1,27 triliun, padahal di tahun sebelumnya hanya Rp47,7 miliar. Kenaikan itu sejalan dengan peningkatan total aset sebesar 5,69% menjadi Rp263,9 miliar. Kisah menggembirakan serupa juga terjadi pada startup lainnya yang masuk daftar perusahaan Bursa Efek Indonesia

Namun mendapatkan dana segar dari publik tentunya wajib dibayar dengan tanggung jawab yang tak kalah besar. Salah satunya adalah harus selalu transparan dan menjunjung tinggi tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).

Seperti layaknya korporasi publik, rutin tiap 3 bulan sekali, startup yang go public harus mengumumkan soal kinerja ke publik, memakai jasa auditor dan konsultan untuk laporan keuangan, dan mempublikasi secara umum setiap informasi tentang aksi korporasinya.

Minat Investor Pada Saham Startup yang Bergabung dalam Pasar Saham

Investor yang mengincar saham startup umumnya berani mengambil risiko dan punya “kecintaan” tersendiri terhadap inovasi model bisnis baru. Karena, meski banyak startup yang memiliki valuasi harga tinggi, fundamental dan labanya belum tentu sudah tercapai. Jadi, ada faktor idealisme di samping faktor tingkat return (keuntungan).

Keputusan investasi seperti itu dinilai juga karena terpengaruh momen maraknya perkembangan startup di dalam dan luar negeri saat ini. Sehingga sekarang ini para risk taker merasa nyaman. Terlebih lagi, fenomena startup Indonesia yang terkait erat dengan pengentasan isu bonus demografi otomatis akan punya cerita pendukung yang bagus.

Daftar Startup Dunia yang Sudah Melakukan Debut di Pasar Saham

Startup Indonesia bukan satunya-satunya perusahaan rintisan yang sudah melantai di pasar saham. Ada sejumlah perusahaan startup di seluruh dunia yang sudah melakukan IPO dan berstatus go public. Banyak kalangan beranggapan jika momen debut di pasar saham ini juga memberikan dampak positif bagi investor dan founder awal.

Misalnya saja beban keuangan yang lebih ringan dengan permodalan yang lebih besar. Namun konsekuensinya adalah harus menyediakan laporan keuangan yang terperinci dibandingkan biasanya. Berikut ini adalah 3 perusahaa startup yang sudah melantai di pasar modal antara lain:

  • Trivago

Aplikasi yang memudahkanmu membandingkan harga berbagai hotel di seluruh dunia ini sudah go public sejak 2016. Perusahaan ini terdaftar di bursa saham New York dengan penawaran perdana 11 dollar per lembar yang berhasil mengumpulkan modal hingga 287 juta dollar US. Sampai saat ini, pergerakan sahamnya bisa dikatakan cukup baik dengan harga saham berkisar 14 dollar, naik dari penawaran pertamanya.

  • Zoom

Aplikasi yang sekarang sudah menjadi kebutuhan pokok banyak orang selama pandemi ini sudah terdaftar di pasar modal pada 2019 lalu. Ketika pertama kali ditawarkan di pasar saham Amerika, harga saham ini sebesar 36 dollar US.

Namun kini harga saham Zoom melonjak ke US$179,48, yang membawanya memiliki nilai pasar US$50,6 miliar. Terlepas dari isu keamanan data pengguna, nilai saham Zoom meroket hingga 250 persen tahun ini. Kenaikannya jadi fenomena tersendiri di tengah tren pelemahan pasar saham di seluruh dunia.

  • Uber

Salah satu pionir aplikasi layanan transportasi, Uber sudah beberapa waktu debut di Wall Street. Perusahaan yang berbasis di Sillicon Valley ini pertama kali IPO pada tahun 2019 lalu dengan harga penawaran 45 dollat US per lembar.

Meski demikian, penawarannya tidak berjalan dengan baik. Pasalnya, nilai saham Uber ketika dibuka malah turun menjadi USD 42 per lembar. Saat pasar ditutup, nilainya makin turun menjadi USD 41,57 atau turun sekitar 7,6% dari harga IPO.

Ketiga perusahaan di atas hanya sedikit dari startup yang sudah melantai di pasar saham untuk mendapatkan modal lebih banyak. Sejumlah perusahaan startup Indonesia sendiri diperkirakan juga akan ikut melantai. Namun agaknya masih harus menunggu waktu yang tepat sampai masyarakat Indonesia bisa ikut menanamkan modalnya di perusahaan rintisan tersebut.

Artikel Terkait