Komoditas

Serba-Serbi Mengenai Commodity Supercycle

Sumber: Freepik

Ajaib.co.idKomoditas seperti batu bara, logam dasar besi, nikel, kobalt atau bahkan produk pertanian seperti minyak kelapa sawit, selama ini telah bergerak dalam sebuah siklus parabolik. Ketika permintaan meningkat, dan kegiatan produksi tidak mengimbanginya maka harga komoditas naik.

Ketika harga-harga naik, kegiatan ekstraksi lepas pantai maupun pengupasan tanah di pertambangan semakin gencar dilakukan. Begitupun dengan komoditas pertanian, ketika harga acuan dasarnya meningkat, produsen-produsen mulai semangat menggenjot produksi.

Dan akhirnya limpahan produksi kemudian menyamai jumlah permintaan yang ada. Selanjutnya karena sudah tidak terjadi kelangkaan maka harga komoditas kembali normal. Itulah siklus naik-turunnya harga komoditas beserta fluktuasi kegiatan produksi.

Jumlah permintaan yang berubah-ubah diiringi pasokan yang berfluktuasi menyebabkan pasar komoditas bergerak dalam sebuah siklus naik dan turun berbentuk parabolik.

Dikutip dari Reuters, sejak Februari 2021 sejumlah analis komoditas dari bank investasi ternama mulai mengamati sesuatu yang tidak bisa mengenai pulihnya harga-harga komoditas yang sempat terjerembab di awal pandemi Covid-19.

Bukan pemulihan biasa, kali ini dunia mungkin sedang memasuki sebuah siklus komoditas yang baru yakni siklus super komoditas (Commodity Supercycle). Disebut super karena siklus ini diprediksi akan berlangsung lama hingga beberapa dekade, setidaknya 20 tahunan dengan rentang harga yang ekstrim.

Mengenai Supercycle

Istilah Commodity Supercycle dipopulerkan pertama kali oleh Jim Rogers dalam bukunya Hot Commodities. Jadi istilah supercycle/siklus super mengacu pada fluktuasi harga terbesar dengan rentang waktu terlama, berlangsung lebih dari sepuluh tahun di semua sektor komoditas.

Pengamatan Rogers kemudian dilanjutkan oleh sejarawan ekonomi David Jacks. Jacks mendata perubahan harga pada 40 komoditas pertanian, industrial dan energi hingga 100 tahun ke belakang.

Jacks menemukan bahwa commodity supercycle telah terjadi di tahun 1910-an, 1950-an, 1970-an, dan 2000-2010-an. Jacks juga menemukan bahwa supercycle tercipta dari lonjakan konsumsi penduduk bumi, dan bukannya disebabkan oleh kemampuan produksi yang terbatas saja.

Pada tahun 1910-an commodity supercycle terbentuk dari naiknya permintaan ransum dan logam untuk kepentingan perang dunia jilid I dan jilid II. Kemudian di tahun 1950-an industrialisasi Eropa dan Jepang telah menciptakan permintaan komoditas lainnya.

Tahun 1970-an supercycle terbentuk dari naiknya jumlah kaum kelas menengah terutama dari Asia yang menciptakan lonjakan permintaan komoditas pertanian seperti daging, jagung dan minyak nabati.

Di tahun 2000-an motor penggeraknya adalah pertumbuhan populasi, meningkatnya industrialisasi dan terjadinya urbanisasi masif di China dan India.

Kedua negara tersebut, dengan jumlah penduduk masing-masing lebih dari 1 miliar orang, menyebabkan episode demand-driven atas energi, logam dan mineral yang luar biasa. Permintaan tersebut disandingkan dengan kekurangan kapasitas produksi yang menyebabkan harga bahan-bahan mentah bertahan di harga tinggi selama beberapa tahun.

Supercycle paling anyar di tahun 2000-an dan telah berlangsung selama kurang lebih 15 tahun lamanya. Di awal tahun 2000-an terjadi lonjakan pertumbuhan populasi dunia, industrialisasi dan urbanisasi khususnya di China dan India, yang mendorong permintaan bahan mentah, energi dan makanan yang luar biasa besar.

Keberhasilan China dalam menumbuhkan PDB-nya, bahkan hingga menjadi negara pengekspor kedua terbesar di dunia, juga turut meningkatkan permintaan atas komoditas. Kita telah menyaksikan naiknya harga-harga komoditas berpuluh kali lipat. Bahkan krisis finansial yang terjadi di tahun 2008 tidak mampu menahan laju kenaikan harga komoditas yang berlangsung hingga tahun 2011.

Kemudian di tahun 2014 commodity supercycle mulai memasuki periode apati di mana jumlah pasokan dari kegiatan produksi sudah hampir mengimbangi permintaan yang ada sehingga harga-harga komoditas mulai turun ke titik normal. Selanjutnya siklus komoditas berikutnya merupakan siklus biasa saja yang berlangsung sebentar dari 2016 hingga 2018.

Supercycle Berikutnya

Pada tahun 2020, karantina wilayah di seluruh dunia telah mendisrupsi rantai pasokan, menciptakan permintaan yang unik dan volatilitas harga-harga meningkat. Covid-19 telah memberikan dampak hebat pada pasar komoditas. Minyak mentah Brent turun ke harga terendah selama 17 tahun terakhir yakni $26 per barel pada 18 Maret 2020 bahkan sempat menyentuh minus selama pandemi.

Di tahun 2021 lonjakan permintaan komoditas timbul berkat stimulus fiskal skala besar untuk mendukung ekonomi yang terkapar akibat Covid-19, adanya pergeseran ke alternatif energi yang lebih ramah lingkungan dan sekali lagi industrialisasi dan urbanisasi di India dan terutama di China.

  • Energi Ramah Lingkungan

Permintaan akan komoditas logam dasar dan logam industri datang dari rencana komitmen besar dari ekonomi terbesar dunia. Amerika Serikat berencana untuk mendekarbonisasi sektor listrik pada tahun 2035 dan memiliki ekonomi karbon-netral pada tahun 2050. Hal ini bertepatan dengan rencana China untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060.

Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan mengurangi emisi di sektor transportasi. Kendaraan listrik dan e-mobilitas adalah pergeseran industri global yang signifikan. Menurut Badan Energi Internasional (IEA), sektor transportasi bertanggung jawab atas 24 persen emisi pembakaran bahan bakar per tahun 2019.

Narasi ‘Build Back Better‘ dapat menyebabkan penjualan kendaraan listrik (EV) meningkat pada tahun 2021 karena dukungan kebijakan baru yang mempromosikan kendaraan energi baru. Kemudian hal ini menciptakan permintaan untuk logam dasar dan logam industri.

Sentimen bullish di komoditas pada awal tahun 2021 kemudian terjadi setelah Green New Deal Presiden Biden ditandatangani dan Rencana Pembangunan Lima Tahun China ke-14. Kedua rencana Biden dan China sama-sama menekankan pada energi terbarukan, penyimpanan energi, kendaraan listrik (EV), dan perumahan sosial.

Logam-logam yang menjadi bullish berkaitan dengan sentimen EV adalah nikel, tembaga, dan lithium. Asosiasi Tembaga Internasional memperkirakan konsumsi tembaga akan mencapai 250.000 ton per tahun.

Tembaga dibutuhkan untuk kumparan di motor listrik, selain itu kendaraan baterai-listrik juga mengkonsumsi 83kg tembaga. Sebelumnya kendaraan bertenaga minyak bumi hanya menggunakan 23 kg tembaga untuk mesin pembakaran internal.

Sedangkan nikel dan lithium digunakan untuk bereaksi secara kimia pada katoda baterai. Saat ini katoda nikel oksida tinggi menjadi kebutuhan utama dalam pemanfaatan baterai EV. Sayangnya perdebatan masih berlangsung mengenai produksi nikel yang tidak ramah lingkungan.

  • Ekonomi China

Ketika kebanyakan bank-bank sentral di berbagai negara menurunkan suku bunganya untuk membangkitkan usaha-usaha kecil, tingkat suku bunga yang relatif tinggi justru dipertahankan oleh People’s Bank of China.

Pemerintah China kini berupaya memberikan dukungan yang kuat untuk ekonomi pada tahun 2021 untuk menandai peringatan 100 tahun Partai Komunis Tiongkok. Impor komoditas China yang besar telah membantu pasar komoditas pulih dari hari-hari tergelapnya selama pandemi.

China mengalami pemulihan PDB yang sangat baik pada tahun 2020 (bertumbuh 2,3 persen dibandingkan dengan penurunan sebesar 3,5 persen secara global).

Para analis, termasuk Bank Dunia, telah memperkirakan China akan mengalami pertumbuhan PDB sekitar 8-9% di tahun 2021. Dan oleh karenanya konsensus menduga permintaan komoditas dari China akan meningkat seperti LNG, produk olahan, logam strategis, dan produk pertanian.

Riset Eikon juga memprediksi tingkat pertumbuhan PDB di China di akhir 2021 akan lebih tinggi 160 basis poin dari pertumbuhan PDB global, dan 310 basis poin lebih tinggi dari pertumbuhan PDB Amerika Serikat.

Kemajuan di China diiringi oleh kemunduran di Amerika dengan paket stimulus tambahannya dan dengan suku bunga acuan China yang lebih tinggi dari Amerika Serikat. Gabungan hal yang telah disebutkan akan menyebabkan apresiasi mata uang renminbi Tiongkok versus dolar AS.

China, karena ukurannya ditambah fundamental ekonomi 2021 yang kuat dan kekuatan mata uang yang berkelanjutan, total impor komoditas China akan tetap sangat tinggi, mendorong harga komoditas memasuki siklus super baru. Para pelaku pasar sudah memperkirakan masa depan China lebih cerah, didorong oleh distribusi vaksin yang sukses.

Supercycle Atau Siklus Komoditas Biasa?

Beberapa bulan terakhir telah terlihat kenaikan harga komoditas, hal ini memicu spekulasi bahwa kita sedang mendaki puncak siklus komoditas super yang baru. Gembar-gembor ini memicu perdebatan yang berlangsung di kalangan analis bank investasi dan pusat riset Reuters Eikon.

Seperti semua hal yang sudah terprediksi, jika sesuatu sudah diprediksi sedari awal maka lonjakan permintaan akan diantisipasi dengan genjotan produksi lebih dini. Peningkatan produksi pada semua sektor komoditas kemungkinan akan memenuhi semua permintaan yang diantisipasi, dan oleh karenanya siklus super tidak akan terjadi.

Siklus super selama ini terjadi karena lonjakan permintaan tak terprediksi dan dari sisi pasokan terdapat kekurangan produksi, namun kali ini berbeda. Siklus super kali ini telah dibicarakan di mana-mana, kenaikan harga komoditas kemungkinan akan ditanggapi dengan semangat supplai yang segera akan menyamai jumlah permintaan komoditas yang meningkat.

Oleh karenanya peningkatan harga acuan dasar komoditas saat ini, dipandang secara skeptis oleh sebagian analis, tidak akan berlangsung lama dan akan segera mengempis.

Siklus komoditas yang hanya berlangsung sebentar bukanlah siklus super, melainkan hanya siklus biasa seperti yang terjadi selama ini. Dunia perlu kejutan permintaan yang tak diantisipasi oleh para supplier bahan mentah, karena itulah motor penggerak Commodity Supercyle.

Bagaimana menurutmu?

Artikel Terkait