Saham

Jokowi; Saham Freeport Lunas Dibayar Jadi Momen Bersejarah

https://ajaib.co.id/wp-content/uploads/2019/10/2015_ACF_and_President_Jokowi_10-26-121-e1570640712635.jpg

Ajaib.co.id – Bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi), saham freeport sangat layak diperjuangkan. Butuh proses panjang hingga 3,5 tahun sampai akhirnya 51 persen sahamnya jadi milik Indonesia. Namun bagi khalayak umum mungkin tidak terlalu memahami apa yang jadi alasan saham perusahaan tambang ini begitu penting.

Pada masa kampanye, Jokowi sempat menjanjikan untuk menasionalisasi sejumlah tambang yang kini dikuasai asing. Hal ini agaknya dengan susah payah mulai terwujud. Salah satu capaian terbesar yang kerap dibanggakan adalah penguasaan mayoritas saham PT Freeport Indonesia (PTFI) oleh induk perusahaan pelat merah di sektor pertambangan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum.

Setelah melalui proses negosiasi yang panjang, Inalum akhirnya berhasil mengempit 51,23 persen saham Freeport Indonesia pada Desember 2018 lalu. Sejak tahun 1967, Freeport McMoran (FCX), perusahaan tambang asal Amerika Serikat memegang Kontrak Karya (KK) penambangan di Papua.

KK tersebut diperpanjang pada tahun 1991, untuk jangka waktu 30 tahun sampai dengan 2021. Pada Kontrak Karya 1991 tercantum bahwa setelah 2021 pemerintah Republik Indonesia akan memberikan perpanjangan hak penambangan 2×10 tahun (hingga 2041) – dan tidak akan melakukan penghentian kontrak tanpa alasan yang wajar.

Dengan berbekal KK tersebut, FCX bahkan sejak 7 tahun lalu sudah meminta proses pembahasan untuk mendapatkan persetujuan perpanjangan KK hingga 2041. Alasan mereka adalah keputusan perpanjangan kontrak harus dilakukan jauh hari – agar kepastian Investasi ke depan dan kontinyuitas operasi penambangan dapat dijaga dan tidak berhenti. 

Alasan lain, kebutuhan untuk divestasi saham ini juga diperkuat dengan terbitnya Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) hingga Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Namun, selama puluhan tahun hingga 2011, kewajiban divestasi saham PT Freeport hanya tercantum di atas kertas. Pembangunan smelter juga sudah diupayakan semenjak masa lalu, namun tidak pernah terjadi dengan berbagai alasan.

Dalam praktiknya, realisasi divestasi berjalan lamban dan terkesan setengah hati. Bahkan, hingga Jokowi menjabat sebagai presiden pada 2014, pemerintah Indonesia baru menguasai 9,36 persen saham Freeport.

Sementara, sedangkan kepemilikan mayoritas dikuasai oleh Freeport-McMorran, di mana sebanyak 9,36 persen saham di antaranya milik PT Indocopper Investama yang 100 persen sahamnya dikuasai oleh Freeport Mc-Morran. Guna mewujudkan penguasaan 51 persen saham Freeport inilah maka kemudian pemerintah mulai menyusun berbagai skema untuk menguasai saham PTFI.

Negosisasi yang dipimpin oleh Sri Mulyani dengan bantuan laporan dari seluruh menteri ini akhirnya membuahkan hasil. Hingga akhirnya, pada 21 Desember 2018, Inalum dinyatakan resmi menjadi pemegang saham mayoritas dari perusahaan asal AS itu. Hal itu diikuti dengan terbitnya IUPK Freeport yang berlaku 2×10 tahun atau hingga 2041.

Pemerintah mengalokasikan 10 persen kepemilikan saham untuk pemerintah daerah (Pemda Papua). Selain itu Papua juga akan mendapatkan pemasukan melalui pajak daerah. Tambang emas ini kini akhirnya bisa memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat Indonesia.

Pemerintah Indonesia pun kini pemegang mayoritas saham Freeport. Artinya, pemasukan pemerintah dari sektor pajak maupun non pajak, akan jauh lebih baik dari sebelumnya.

Janji Jokowi, saham Freeport akan memberkan pendapatan yang berasal dari pajak dan non pajak akan dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Proses pengambilalihan perusahaan pertambangan yang telah beroperasi sejak 1973 dipastikan telah selesai seluruhnya.

Secara keuangan, akuisisi Freeport diyakini Inalum bakal memberikan untung besar. Berdasarkan prognosa perusahaan, Freeport bakal mencetak laba bersih hingga US$4,5 miliar pada 2023, setelah tambang bawah tanah Grasberg beroperasi. Setelah itu, laba bersih Freeport akan stabil di kisaran US$2 miliar.

Meski dulu hanya memiliki saham 9,36 persen, sumbangan PTFI terhadap pendapatan negara terbilang besar, baik langsung maupun tidak langsung. PTFI juga menjadi salah satu penyumbang terbesar penerimaan pajak negara dari korporasi.

Berdasarkan data PTFI, sumbangan mereka terhadap penerimaan langsung ke negara terdiri dari pajak, royalti, fee, dan bentuk pembayaran lainnya. Total dana yang disetorkan PTFI sejak 1992 hingga 2017 mencapai 17,3 miliar dolar.

Maka usai pemerintah punya 51,23 persen saham, dividen yang didapat akan meningkat drastis jadi 739 juta dolar. Jika ditambah dengan penerimaan dari royalti dan pajak sebesar 621 juta dolar (sama seperti penerimaan pada 2017), maka hitungan kasar pendapatan pemerintah akan mencapai 1,36 miliar dolar. Jumlah itu naik 80 persen dari penerimaan 756 juta dolar pada 2017.

Hitung-hitungan kasarnya, jika pemerintah bisa meraup 1,36 miliar dolar per tahun, modal 3,85 miliar dolar yang dikeluarkan pemerintah melalui Inalum sudah bisa balik modal dalam waktu tiga tahun. Sementara untuk kontribusi tidak langsung PTFI yang meliputi lapangan pekerjaan, pengembangan wilayah sekitar tambang, investasi dalam negeri, dan sebagainya, mencapai angka 38,8 miliar dolar sepanjang 1992-2017.

Khusus untuk 2017, sumbangan langsung PTFI ke negara mencapai 756 juta dolar yang terdiri dari dividen sebesar 135 juta dolar, royalti sebesar 151 juta dolar, dan pajak (termasuk bentuk pembayaran lainnya) sebesar 470 juta dolar.

Bagi Jokowi, saham Freeport menjadi bentuk capaian yang tidak bisa dianggap remeh. Mungkin prosesnya masih panjang namun diyakini hal ini akan menjadi jalan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia lebih baik lagi di masa depan.

Jokowi, Saham Freeport dan Isu Asing yang Tak Pernah Berhenti Merebak

Anti Asingkah Jokowi, saham Freeport Dibeli Indonesia? Kaitan anatar Jokowi, saham Freeport dan isu akan campur tangan asing agaknya tak akan pernah usai dibahas.

Setelah puluhan tahun dinanti akhirnya tambang emas dan tembaga terbesar yang ada di bumi Papua itu bisa dikuasai oleh Indonesia. Namun, sampai saat ini masih ada saja yang menilai negatif soal langkah pemerintah tersebut. Mulai dari ekonom, mantan menteri, hingga netizen masih ramai membahas.

Banyak yang menggap kesuksesan ini sebagai pencapaian tersendiri dengan kembalinya salah satu SDA terbesar di Indonesia ini. Ada pula yang memandang miring bahwa kepemilikannya tetap kuat dengan campur tangan asing. Terlebih lagi mengenai dana yang dipakai untuk mengambil alih saham Freeport.

Selain itu, meski saham mayoritas Freeport telah dikuasai Inalum, posisi strategis dalam mengendalikan kebijakan, seperti Komisaris Utama dan Direktur Utama Freeport Indonesia masih berasal dari Freeport-McMorran.

Belum lagi, isu ketenagakerjaan terkait pemutusan hubungan kerja (phk) pekerja, isu lingkungan yang menyisakan tanggung jawab pembayaran denda sejumlah Rp 460 miliar atas penggunaan hutan lindung seluas 4.535,93 hektare (ha) tanpa izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta minimnya progres pembangunan fasilitas dan pengolahan (smelter).

Ada 2 kisah yang hingga kini terpampang di internet tentang sumber dana kepemilikan 51% saham Freeport oleh Indonesia. Di akhir Desember 2018, sebuah berita memberitakan bahwa dana berasal dari Global Bond (surat utang internasional), sehingga kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi membeli saham Freeport Indonesia itu sebenarnya pro asing, meski “ngecapnya” anti asing.

Setelahnya, pemberitaan lain memaparkan bahwa dana berasal dari Penyertaan Modal BUMN, jadi terbukti pemerintahan Jokowi Anti Asing. Tak ada orang awam yang bisa memastikan mana fakta sesungguhnya, kecuali tentunya tim yang menanganinya dan politisi. 

Reputasi Freeport Sebagai Pro Asing

Bermula dari catatan Kapten Johan Carstensz, penjelajah dunia yang pada 16 Februari 1623 menggambarkan puncak pegunungan bersalju di Papua Barat Daya, lalu jadi obyek penasaran panjang penjelajah Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundig Genootschap (Lembaga Geografi Kerajaan Belanda) di 1904-1905, dan akhirnya penemuan cadangan bijih Ertsberg pada 1936 oleh pegawai perusahaan minyak Belanda NNGPM – Colijn dan Dozy, yang selanjutnya diolah oleh Oost Maatchappij (penambang batu bara di KalTim dan SulTeng) bersama Freeport Sulphur Company (penambang belerang dasar laut).

Sejak lahirya Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I) Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967), Papua menjadi “tiket terusan” pemerintah Indonesia untuk mengundang modal asing, demi membiayai negri tercinta yang ekonominya (selalu tampak) tertekan karena kesibukan politik, korupsi, pergantian rejim, dan ledakan (terus-terusan) penduduk. Tahun 1970-71 pemerintah Indonesia dan Freeport membangun Timika dan Tembagapura. Faktanya, Papua memang anak asuh Freeport sejak lama, karena orang tua kandungnya belum mampu mandiri, hingga kini.

Semangat Anti Asing – Rasisme Atau Sovereignty?

49 tahun berlalu, perut Ibu Pertiwi di Papua sudah bolong terlalu dalam, juga problem kemiskinan Indonesia. Ketika sebuah bangsa mulai menemukan semangat kemandirian di dalam hatinya, ia bagaikan ABG millenial yang tidak sabar ingin memiliki startup. Berapi-api hingga kadang kurang “mikir”.

Kalau anak pribumi tiba-tiba males “ngopi-ngopi” dengan orang tua asuhnya yang kebetulan “bule”, apakah itu rasisme? Atau Sovereignty (otoritas sebuah negara untuk mengatur dirinya sendiri)?Semua organisme di bumi punya naluri otorisasi atas dirinya demi bertahan hidup (survival). Begitu pun bangsa.

Indonesia bukan lagi “anak singkong”, ia sudah remaja dewasa yang baru menyadari bahwa ia memang rupawan, kaya, jenius, dan tangkas seperti pernah dituliskan buku-buku kuno, yang sedang euphoria menggali potensi dirinya dan ingin gaul dengan warga dunia.

Sovereignty bukan semangat anti asing. Indonesia hanya perlu semangat anti asing ketika mitra asing melanggar etika kemitraannya. Saat Indonesia ingin mengasuh Papua dan Freeport-nya sendiri, itu hanyalah perkembangan alamiahnya sebagai bangsa, bukan anti asing. Anak asuh, akan selalu menghormati jasa orang tua asuhnya.

Niat Baik Vs Keterbatasan = Upaya Terbaik di Situasi Memburuk

Semoga pro asing atau anti asing tidak lagi jadi topik sexy pergunjingan minum kopi. Kecintaan semua bangsa terhadap pertumbuhan populasinya memang sering melupakan kemampuan alam untuk mensupport-nya.

Saat akhirnya kita sama-sama tahu bahwa bumi dan angkasa Indonesia, dan dunia, ternyata sudah lelah, kehabisan isi perut serta nafasnya, yang bisa dilakukan hanyalah berupaya sebaik mungkin memeras akal, logika dan nurani, untuk membagi rata remah-remah kehidupan yang tersisa, kepada sesama. Semoga pemerintahan Presiden Joko Widodo diberi kemudahan ya, dalam melaksanakannya.

Sebagai warga Indonesia yang baik dan ingin membantu perekonomian dan perkembangan bangsa, kamu bisa menjadi salah satu pemilik saham freeport. Namun, jika dirasa harga sahamnya masih terlalu tinggi, kamu bisa menjadi salah satu pemilik saham di perusahaan milik anak bangsa Indonesia seperti Indofood, Telkom, dan masih banyak lagi. Jadi tunggu apalagi? Apapun jenis investasimu, mulailah sekarang!

Artikel Terkait