Ajaib.co.id – DIGI adalah emiten penyedia konten yang mumpuni, salah satu yang terbaik di industrinya, pendapatannya juga cukup baik dan bertumbuh setiap tahun. Sayang sekali secara internal manajemen DIGI punya gaya pengelolaan yang membuatnya merugi. Jika suatu saat DIGI kolaps, yang jelas bukan karena kualitas portal web mereka. Simak selanjutnya mengenai pembahasan kinerja saham DIGI.
Profil Perusahaan
PT Arkadia Digital Media Tbk (DIGI) adalah perusahaan yang memiliki aktivitas bisnis di bidang portal web dan konten multimedia melalui tiga entitas anaknya yakni PT Arkadia Media Nusantara yang mengoperasikan portal berita suara.com; PT Mata Media Nusantara yang memiliki portal matamata.com, bolatimes.com, hitekno.com; dan PT Integra Archipelago Media yang mengoperasikan portal dewiku.com, mobimoto.com, guideku.com, dan HiMedik.com.
Perusahaan didirikan pada tanggal 6 Maret 2012 dan memutuskan untuk melaksanakan penawaran saham perdana pada tanggal 18 September 2018 di papan pengembangan bursa dengan kode saham DIGI. Dengan jumlah saham beredar sebanyak 1.625.000.000 lembar di harga Rp 396 maka kapitalisasi pasarnya adalah sebesar Rp 643,50 Miliar.
Adapun pemegang saham DIGI dengan nilai signifikan adalah Iwa Sukresno Karunia (29,25%), PT Harvest Capital International (46,56%), Suwardjono (5,03%), PT Valbury Sekuritas Indonesia (6,15%).
Kinerja Berdasarkan Laporan Keuangan Terakhir
Meski sudah memasuki bulan Agustus 2021 namun laporan keuangan terakhir yang telah disampaikan adalah laporan keuangan kuartal 1-2021. Berikut ulasannya.
1Q21 | 1Q20 | Change | |
Pendapatan | 6.128.447.277 | 10.123.032.365 | -39,46% |
Laba Kotor | 2.233.776.948 | 6.717.433.745 | -66,75% |
Laba Usaha | -5.167.281.507 | 13.845.035 | -37422,27% |
Laba Bersih | -5.476.745.465 | 31.012.998 | -17759,52% |
Berdasarkan rincian pendapatan, pemasukan DIGI berasal dari jasa penyediaan konten dan portal web. Per Kuartal 1-2021 pendapatan turun 39,46% menjadi sebesar Rp 6,12 miliar saja dibandingkan Rp 10,12 miliar di periode yang sama di tahun 2020.
Dalam public expose-nya di bulan Agustus 2020, pandemi diakui emiten adalah masa-masa sulit di mana pemasukan dari konten menurun. Meski pendapatan hanya turun 39,46% akan tetapi laba kotor turun hingga 66,75% menjadi hanya Rp 2,23 miliar saja. Sebagai informasi, laba kotor diperoleh dengan mengurangi pendapatan dengan beban pokok pendapatan.
Beban pokok pendapatan alias biaya bahan baku yang dikeluarkan DIGI sebagai emiten pembuat konten berita adalah gaji dan tunjangan dan biaya penyedia konten dan portal web. Meski emiten mengaku sedang memasuki masa sulit, anehnya Gaji dan Tunjangan dinaikkan 22,05% menjadi Rp 2,57 miliar di Kuartal 1-2021 dari sebelumnya hanya Rp 2,1 miliar per Kuartal 1-2020.
Setelah dikurangi beban pokok kemudian emiten masih harus menanggung beban pemasaran, beban umum dan administrasi, alhasil laba usaha turun menjadi minus Rp 5,16 miliar. Di kuartal 1-2020 laba usaha emiten masih positif meski nilainya kecil saja yakni Rp 13,84 juta. Di bottom line, emiten merugi bersih sebanyak Rp 5,47 miliar. Analisis dilanjutkan ke rasio profitabilitas.
1Q21 | 1Q20 | |
GPM | 36,45% | 66,36% |
OPM | -84,32% | 0,14% |
NPM | -89,37% | 0,31% |
Marjin laba kotor (GPM) membagi laba kotor dengan pendapatan, kemudian karena beban pokok pendapatan meningkat terutama pada Gaji dan Tunjangan, maka GPM emiten turun menjadi hanya 36,45%, padahal sebelumnya masih 66,36% di Kuartal 1-2020.
Selanjutnya karena kegiatan operasional menghasilkan rugi maka marjin laba usaha (OPM) dan marjin laba bersih (NPM) keduanya bernilai negatif. Dari seluruh beban yang diemban emiten, ada satu akun yang besarnya sangat signifikan yakni gaji dan tunjangan dan gaji karyawan. Berikut informasi kedua beban tersebut.
1Q21 | 1Q20 | Change | |
Gaji dan Tunjangan | 2.571.535.000 | 2.107.017.000 | 22,05% |
Gaji Karyawan | 2.706.925.449 | 2.749.046.942 | -1,53% |
Total Gaji | 5.278.460.449 | 4.856.063.942 | 8,70% |
Total Pendapatan | 6.128.447.277 | 10.123.032.365 | -39,46% |
Total Gaji/ Total Pendapatan | 86,13% | 47,97% |
Jadi informasi mengenai gaji dalam laporan keuangan DIGI dipisah dalam dua macam beban. Yang pertama Gaji dan Tunjangan yang dimasukkan ke dalam Beban Pokok Pendapatan. Nilai gaji dan tunjangan meningkat sebesar 22,05% menjadi Rp 2,57 miliar dari sebelumnya Rp 2,1 miliar saja.
Dan yang kedua gaji karyawan yang dimasukkan ke dalam beban umum dan administrasi yang nilainya justru menurun 1,53% saja menjadi hanya Rp 2,7 miliar. Gabungan kedua jenis gaji adalah sebesar Rp 5,27 miliar, jika dibandingkan dengan total pendapatan maka total gaji adalah 86,13% dari pendapatan. Ini adalah angka yang luar biasa besar jika dibandingkan dengan pendapatannya.
Emiten selain harus menggaji karyawan dan pembuat konten kan juga mesti harus membayar administrasi seperti listrik, biaya utilitas lain dan pajak dan yang terpenting di bottom line harus dapat menghasilkan laba.
Emiten merugi secara operasional karena ternyata beban total gaji yang mesti diembannya, angkanya sudah tidak masuk akal. Seperti biasa, jika sebuah perusahaan merugi maka akan ada aset yang dikurangi nilainya alias dijual sebagian dan liabilitas ditambah. Mari kita lihat neraca DIGI.
1Q21 | 1Q20 | Change | |
Aset | 42.762.363.242 | 46.699.647.241 | -8,43% |
Liabilitas | 20.841.802.215 | 19.227.234.364 | 8,40% |
Ekuitas | 21.920.561.027 | 27.472.412.877 | -20,21% |
Per kuartal 1-2021 total aset turun 8,43% menjadi hanya Rp 42,76 miliar dari sebelumnya Rp 46,69 miliar di periode yang sama tahun 2020. Di sisi lain liabilitas meningkat 8,40% menjadi Rp 20,84 miliar dari sebelumnya Rp 19,22 miliar. Dan karenanya rasio kesehatan emiten bergeser menjadi kurang sehat.
1Q21 | 1Q20 | |
DER | 95,08% | 69,99% |
Current Ratio | 421,17% | 742,67% |
Rasio utang per ekuitas (DER) emiten menjadi 95,08%, masih dalam batas sehat namun sebelumnya kondisi kesehatan keuangan emiten pernah lebih baik yakni 69,99% saja di Kuartal 1-2020. Rasio lancar juga terkoreksi namun masih sangat baik di mana aset lancar nilainya masih 4,21x lipat dari utang jangka pendeknya.
Adapun utang jangka pendek emiten berasal dari MDIF yang menyalurkan pendanaan senilai $250,000 yang diberikan dengan bunga 10% per tahun dibayarkan secara mencicil sebanyak 10 kali. Dengan operasional yang merugi tentu pembayaran utang takkan datang dari kegiatan operasionalnya, melainkan dari yang lain seperti mengurangi kas dan berutang lagi.
Namun tak adil sepertinya untuk menilai performa hanya dari laporan keuangan terkini saja, oleh karenanya informasi tentang riwayat kinerja akan dipaparkan berikut ini.
Riwayat Kinerja
Pendapatan | Laba Kotor | Laba Usaha | Laba Bersih | |
2017 | 27.873.687.290 | 10.871.179.094 | -6.131.329.102 | 516.525.433 |
2018 | 27.802.491.998 | 14.202.065.395 | 601.638.792 | 110.350.260 |
2019 | 37.661.955.056 | 23.538.979.579 | 59.309.670 | 139.717.879 |
2020 | 35.104.535.899 | 19.521.536.752 | -9.615.008.922 | – 10.188.124.644 |
CAGR | 7,99% | 21,55% | 16,18% | -370,19% |
Sebagai pembuat konten, DIGI adalah pemain yang diperhitungkan di industrinya. Suara.com dan portal-portal web milik DIGI sudah dikenal luas dan telah menerima pemasukan yang menjanjikan. Pendapatan DIGI dari 2017 hingga 2020 telah bertumbuh rata-rata sebesar 7,99% per tahun.
Laba kotor emiten pun meningkat setiap tahunnya, meski terkoreksi kecil di tahun 2020, dan bertumbuh rata-rata sebanyak 21,55% per tahun. Selanjutnya mengenai laba usaha, di tahun 2017 laba usaha emiten sempat minus Rp 6,13 miliar, namun telah menjadi positif Rp 601,6 juta di tahun 2018 tahun di mana emiten melantai di bursa. Sayangnya laba usaha emiten kembali menciut menjadi hanya Rp 59 juta saja di 2019 dan menjadi minus Rp 9,61 miliar di 2020.
Pada laba bersih, ada sulap yang sulit dimengerti pada tahun 2017 di mana laba usaha minus Rp 6,13 miliar namun menghasilkan laba bersih Rp 516 juta. Emiten hanya menyampaikan laporan keuangan 2018 dalam bentuk excel data saja sehingga tidak bisa digali lebih dalam lagi mengenai apa yang terjadi di tahun 2017.
Di tahun 2018 Laba bersih emiten turun menjadi Rp 110,37 juta dan menjadi Rp 139,71 juta di 2019. Kemudian di 2020 emiten seketika merugi Rp 10,18 miliar. Tahun 2020 adalah tahun yang sulit, ditandai dengan turunnya pendapatan sebanyak 6,79%. Namun tindakan emiten tidak sinkron dengan apa yang mereka keluhkan dalam public expose di Agustus 2020. Perhatikan tabel di bawah ini!
2020 | 2019 | Change | |
Gaji dan Tunjangan | 9.080.610.364 | 7.848.016.666 | 15,71% |
Gaji Karyawan | 12.131.298.048 | 9.641.359.477 | 25,83% |
Total Gaji | 21.211.908.412 | 17.489.376.143 | 21,28% |
Total Pendapatan | 35.104.535.899 | 37.661.955.056 | -6,79% |
Gaji/Pendapatan | 60,42% | 46,44% |
Ketika keadaan dirasa sulit, emiten malah meningkatkan pos gaji dan tunjangan di beban pokok pendapatan sebesar 15,71% menjadi Rp 9,08 miliar. Tidak berhenti di sana, gaji karyawan dalam beban usaha dan administrasi juga ditingkatkan hingga 25,83% menjadi 12,13 miliar. Total gaji yang dibayarkan DIGI adalah Rp 21,21 miliar atau setara dengan kenaikan sebesar 21,28% dibandingkan tahun 2019.
Jika dibandingkan dengan total pendapatan maka total gaji menyedot 60,42% pendapatan yang diperoleh emiten di tahun 2020. Sedangkan total gaji di tahun 2019 adalah 46,44% dari pendapatan.
Kenaikan total gaji yang dibayarkan di tahun 2020 sungguh tak dapat dipahami mengingat emiten berkeluh kesah bahwa tahun 2020 adalah tahun yang sulit. Berikut adalah informasi mengenai marjin laba emiten:
GPM | OPM | NPM | |
2017 | 39,00% | -22,00% | 1,85% |
2018 | 51,08% | 2,16% | 0,40% |
2019 | 62,50% | 0,16% | 0,37% |
2020 | 55,61% | -27,39% | -29,02% |
Marjin laba kotor (GPM) emiten dari tahun ke tahun memperlihatkan kemajuan yang patut diapresiasi. Kenaikan pada GPM menandakan ada efisiensi dalam beban pokok pendapatan, sayangnya di tahun 2020 GPM terkoreksi kecil menjadi 55,61% saja namun masih bisa dipahami karena pandemi COVID-19 tak dapat dikira kedatangannya.
Adapun marjin laba usaha (OPM) dan marjin laba bersih (NPM) emiten menunjukkan pelemahan yang konsisten setelah tahun 2017. Penyebab marjin laba usaha dan bersih melemah adalah karena pembayaran gaji yang sangat besar dibandingkan dengan perolehannya. Berikutnya riwayat neraca akan dibahas.
Aset | Liabilitas | Ekuitas | |
2017 | 16.126.817.162 | 10.411.234.175 | 5.715.582.987 |
2018 | 39.871.224.745 | 2.049.529.687 | 37.821.695.058 |
2019 | 41.591.235.088 | 3.644.952.045 | 37.946.283.043 |
2020 | 46.699.647.241 | 19.227.234.364 | 27.472.412.877 |
CAGR | 42,54% | 22,69% | 68,76% |
Aset emiten per tahun 2017 adalah Rp 16,12 miliar sedangkan liabilitas adalah Rp 10,41 miliar. Setelah emiten IPO di 2018 perbaikan kondisi terlihat, ditandai dengan meningkatnya aset menjadi Rp 39,8 miliar dan liabilitas turun 82% menjadi hanya Rp2,04 miliar saja.
Selanjutnya di 2019 aset terus bertumbuh menjadi Rp 41,59 miliar, diiringi dengan pertumbuhan liabilitas menjadi Rp 3,64 miliar. Kemudian di 2020 nilai liabilitas meroket menjadi Rp 19,22 miliar.
DER | Current Ratio | |
2017 | 182,16% | 164,86% |
2018 | 5,42% | 1724,09% |
2019 | 9,61% | 848,60% |
2020 | 69,99% | 742,67% |
Sejauh ini secara rasio, kesehatan emiten masih baik-baik saja. Rasio utang per ekuitas emiten sampai tahun 2020 masih berada di bawah 100% yang artinya ekuitas emiten sangat mampun menutup seluruh liabilitas apabila ada masalah. Rasio lancar juga menunjukkan bahwa utang lancar emiten tak menjadi masalah dan dapat segera diatasi dengan aset lancar yang dimiliki emiten.
Namun tentu kita tak mengharapkan likuidasi ekuitas ataupun aset lancar untuk membayar utang, bukan? Kita tentu menginginkan emiten yang sehat dan profitabel yang mampu membayar utang-utang dan beban-bebannya dari kegiatan operasionalnya. Oleh karenanya pemantauan berdasarkan rasio saja tidaklah cukup.
Kesimpulan
Emiten sangat baik dalam menghasilkan pendapatan, di mana pendapatan bertumbuh sebesar 7,99% per tahun. Pendapatan sempat terkoreksi tipis di tahun 2020 karena pandemi namun bukan menjadi masalah karena Arkadia adalah penyedia konten portal web yang cukup mumpuni dengan pertumbuhan jumlah pembaca yang terus meningkat. Arkadia diperkirakan akan dapat segera bangkit dan menghasilkan pendapatan lebih besar lagi ke depannya.
Akan tetapi Arkadia alias DIGI punya masalah serius dalam hal efisiensi beban terutama dalam hal remunerasi. Bayangkan saja di kuartal 1-2021 sebesar 86,13% dari pendapatan dikucurkan dalam bentuk gaji dan tunjangan dan gaji karyawan.
Dampaknya, setelah emiten membayar seluruh beban-bebannya, hanya ada sedikit sekali laba yang tersisa bagi entitas induk dan pemegang saham. Bahkan di tahun 2020 mereka mesti menelan kerugian untuk pertama kalinya yakni sebesar Rp 10,18 miliar.
Emiten menunjukkan tren pelemahan kinerja secara internal dalam hal profitabilitas dari tahun ke tahun. Laba usaha dan laba bersih emiten sebelum pandemi pun terlalu tipis, laba usaha 0,16% saja dan laba bersih 0,37% saja, sehingga emiten takkan bisa punya cukup amunisi untuk menambah kas dari kegiatan operasionalnya. Ditambah datangnya pandemi dan peningkatan gaji, emiten pun menderita kerugian di 2020.
Tren penurunan kinerja yang ditampilkan DIGI berasal dari dalam, dari cara manajemen mengkompensasi pekerja-pekerjanya. Singkat kata untuk saat ini DIGI tidak memiliki nilai investasi yang layak berdasarkan cara manajemen melakukan efisiensi karena emiten terlalu murah hati dalam sistem penggajiannya dan telah menyebabkan emiten membukukan kerugian operasional dan kerugian tahun berjalan.
Disclaimer: Investasi saham mengandung risiko dan seluruhnya menjadi tanggung jawab pribadi. Ajaib membuat informasi di atas melalui riset internal perusahaan, tidak dipengaruhi pihak manapun, dan bukan merupakan rekomendasi, ajakan, usulan ataupun paksaan untuk melakukan transaksi jual/beli Efek. Harga saham berfluktuasi secara real-time. Harap berinvestasi sesuai keputusan pribadi.