Analisis Saham

Pandemi Membawa Berkah Bagi Emiten Rumah Sakit Royal Prima

Sumber: RSU Royal Prima Medan

Ajaib.co.id – PT Royal Prima Tbk (PRIM) adalah perusahaan pengelola 2 rumah sakit terbesar di Sumatera yakni Rumah Sakit Royal Prima Medan (RPM) dan Rumah Sakit Royal Prima Jambi (RPJ). Adapun RPM adalah rumah sakit tipe B dengan kapasitas lebih dari 750 tempat tidur pasien dalam satu lokasi,  sedangkan RPJ merupakan rumah sakit tipe C dengan kapasitas lebih dari 170 tempat tidur.

Royal Prima didirikan pada tanggal 14 Februari 2013, namun baru melaksanakan IPO di papan pengembangan bursa pada Mei 2018. Berkat dana yang diperoleh dari IPO, emiten mampu membangun fasilitas berupa satu buah rumah sakit Royal Prima lagi di Marelan.

Saat ini dengan jumlah saham beredar sebanyak 3.393.432.705 lembar di harga Rp 314 per saham, maka kapitalisasi pasarnya adalah Rp 1,07 Triliun. Pemegang saham utama adalah dr. I Nyoman Ehrich Lister (64,55%), kemudian ada 1st Financial Company Limited (14,31%), sisa saham kemudian beredar di masyarakat (21,1%).

Kinerja Berdasarkan Laporan Keuangan Terakhir

Sebagai salah satu rumah sakit yang bekerja sama dengan Kemenkes dalam perawatan atas pasien Covid-19, Royal Prima mendapat kelebihan pendapatan sebesar Rp 169,26 miliar yang akan ditagih kepada Kemenkes. Berikut uraiannya.

2Q21 2Q20 Perubahan
Pendapatan 283.238.256.254 82.840.979.267 241,91%
Laba Kotor 105.502.944.230 27.036.419.275 290,23%
Laba Bersih 63.326.690.039 2.246.281.780 2719,18%

Pendapatan emiten per Kuartal 2-2021 melesat 242% menjadi Rp 283,23 miliar dari sebelumnya hanya Rp 82,84 miliar per periode yang sama di 2020. Pendapatan emiten dibagi berdasarkan tiga kategori yakni pendapatan BPJS, pendapatan Kemenkes dan non-BPJS.

Pendapatan dari Kemenkes adalah yang terbesar yakni Rp 169,26 miliar yang terdiri dari biaya rawat inap pasien Covid-19 sebesar Rp 168,77 miliar sedangkan rawat jalan pasien Covid-19 hanya Rp 495 juta saja. Di tahun 2020 RS Royal Prima belum ditunjuk sebagai salah satu RS yang menangani pasien Covid-19 sehingga pendapatan Kemenkes belum ada.

Pendapatan lainnya datang dari pendapatan BPJS sebesar Rp 29,7 miliar saja, sebelumnya di Kuartal 2-2020 lebih besar yaitu Rp 39,83 miliar. Lain halnya dengan pendapatan non BPJS per Kuartal 2-2020 yang meningkat nyaris 100% dari Rp 43 miliar saja menjadi Rp 84,26 miliar di Kuartal 2-2021.

Berkat adanya peningkatan pendapatan, laba kotor pun meningkat 290% menjadi Rp 105,5 miliar. Peningkatan pendapatan dan laba kotor memang meningkat hingga lebih dari 200%, namun ajaibnya laba bersih bisa melejit hingga 2719%!

Rupanya emiten tidak banyak menaikkan beban administrasi, emiten hanya merekrut sedikit lebih banyak tenaga kerja saja. Bayangkan saja beban administrasi hanya naik 42% dari Rp 23,47 miliar di Kuartal 2-2020 menjadi Rp 33,33 miliar di Kuartal 2-2021.

Sebagai informasi saja, Gaji dan tunjangan pada pos beban administrasi asalnya Rp 13,45 miliar di Kuartal 2-2020 dan meningkat sedikit menjadi Rp 18,9 miliar di Kuartal 2-2021. Padahal beban kerjanya bertambah luar biasa banyaknya hingga angka pendapatan meroket 290%.

Bisa dibayangkan betapa sibuknya para pekerja kesehatan di rumah sakit Royal Prima, beban kerjanya meningkat gegara ada limpahan pasien Covid-19, namun pekerja kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat dan spesialis hanya ditambah sedikit saja.

Faktor lain yang ikut berkontribusi terhadap kenaikan laba bersih adalah hilangnya beban bunga alias semua utang berbunga sudah dibayarkan lunas! Sebelumnya di Kuartal 2-2020 emiten masih membayar bunga pinjangan sebesar Rp 342,19 juta. Dan lagi ada penghasilan lain-lain sebesar Rp 4,28 miliar, yang mana sebelumnya hanya Rp 483,35 juta saja.

Alhasil laba bersih naik dari Rp 2,24 miliar saja di Kuartal 2-2020 menjadi Rp 63,32 miliar di Kuartal 2-2021. Yang menarik adalah laba emiten meningkat bukan hanya secara nilai namun secara marjin laba pun lebih besar, emiten memang benar-benar memanfaatkan momen pandemi Covid-19 ini.

2Q21 2Q20
GPM 37,25% 32,64%
NPM 22,36% 2,71%

Jadi sebelumnya di Kuartal 2-2020 emiten membukukan laba kotor sebesar 32,64% dari pendapatannya, marjin laba kotor kemudian meningkat menjadi Rp 37,25% di Kuartal 2-2021.

Di masa pandemi ini beberapa obat memang naik harganya, terutama beberapa yang menjadi kebutuhan para pasien Covid-19. Dengan demikian emiten mampu menjual obat yang sudah ada dalam stok opname nya dengan harga lebih tinggi.

Marjin laba bersih meroket jadi 22,36% dari pendapatannya di Kuartal 2-2021 ini berkat penambahan jumlah tenaga kerja yang jauh lebih sedikit dari beban kerjanya, dan faktor-faktor lainnya yang telah disebutkan.

2Q21 2Q20 Perubahan
Aset 1.133.211.701.989 896.817.123.342 26,36%
Liabilitas 180.394.223.064 43.399.702.335 315,66%
Beban Keuangan 0 342.196.188 -100,00%
Ekuitas 952.817.478.925 853.417.421.007 11,65%

Berkat  IPO di tahun 2018, emiten berhasil mendapat suntikan dana segar dari masyarakat sebesar Rp 600 miliar. Di tahun 2021 emiten telah menggunakan seluruh dana untuk membeli aset tambahan, memperluas kepemilikan tanah, membeli alat kesehatan dan infrastruktur IT, dan biaya operasional dan modal kerja di rumah sakit Royal Prima yang baru di Marelan.

Oleh karenanya nilai total aset emiten meningkat berkat RS Royal Prima Marelan yang telah selesai dibangun dan mulai beroperasi di tahun 2021 ini. Per Kuartal 2-2021 aset emiten seluruhnya meningkat 26,36% menjadi Rp 1,13 triliun.

Beban keuangan emiten di Kuartal 2-2021 menjadi nol, dengan kata lain emiten sudah tidak memiliki utang berbunga. Sementara itu total liabilitas meningkat 315% menjadi Rp 180,39 miliar dari sebelumnya hanya Rp 43,39 miliar saja di Kuartal 2-2020. Biasanya beban keuangan alias bunga pinjaman naik ketika liabilitas naik, tapi ini malah sebaliknya.

Rupanya peningkatan liabilitas terjadi akibat meningkatnya utang usaha ke pemasok dan ke tenaga kerja medis. Lonjakan utang usaha wajar sekali terjadi seiring dengan peningkatan pendapatan. Dan sebagai informasi, utang usaha tidak mengandung bunga.

Sebelumnya emiten juga memiliki utang berbunga sama seperti perusahaan-perusahaan lainnya. Akan tetapi di tahun 2020 emiten membayar semua pinjaman bank-nya senilai Rp 55 miliar.

Utang berbunga yang tersisa yakni Consumer Loan senilai Rp 29 miliar juga dilunasi sebelum Juni 2021. Alhasil emiten sekarang tidak memiliki utang berbunga sama sekali! Berikut rasio kesehatan keuangan emiten.

2Q21 2Q20
DER 18,93% 5,09%
Current Ratio 241,11% 181,72%

Rasio utang per ekuitas emiten per Kuartal 2-2021 meningkat menjadi 18,93% dari semula hanya 5% saja di Kuartal 2-2020. Peningkatan ini disebabkan oleh naiknya utang usaha dari pemasok dan dokter.

Meski meningkat namun masih sangat aman karena nilainya lima kali lipat lebih kecil dari ekuitasnya. Secara jangka pendek kesehatan keuangan emiten justru membaik dengan aset lancar porsinya lebih besar 241% dari utang jangka pendeknya yang kebanyakan terdiri dari utang usaha.

Riwayat Kinerja

Mengenal emiten tentu tidak lengkap jika hanya mengulas kondisi terkini. Berikut pembahasan mengenai riwayat kinerja dimulai dari kemampuannya menghasilkan laba.

Pendapatan Laba Kotor Laba Bersih
2017 177.595.506.808 48.076.592.364 20.268.062.393
2018 204.794.915.533 66.781.291.923 17.300.872.944
2019 174.217.485.575 44.547.681.222 2.183.422.760
2020 260.590.702.914 92.636.574.795 38.092.794.692
CAGR 13,63% 24,44% 23,41%

Adapun pendapatan naik-turun sejak 2017 hingga 2020, hal ini menimbulkan pertanyaan jangan-jangan pendapatan naik-turun karena kualitas para tenaga medis, alat kesehatan dan fasilitas di Royal Prima kurang baik. Oleh karenanya penelusuran dilakukan dan berikut temuan yang dapat disampaikan.

Jadi pendapatan oleh emiten dibagi ke dalam tiga kategori, pendapatan BPJS, pendapatan non-BPJS, dan pendapatan Kemenkes. Sebelum 2021 Royal Prima belum ditunjuk sebagai salah satu rumah sakit perawatan pasien Covid-19 sehingga pendapatan Kemenkes baru ada di kuartal 3-2020 sampai tahun 2021.

Sebelumnya hanya ada pendapatan BPJS dan non-BPJS. Pendapatan BPJS di tahun 2017 dan 2018 mendominasi total pendapatan, namun ternyata pemerintah sering menunggak reimbursement sehingga menjadi piutang usaha dengan nilai yang meresahkan.

Di tahun 2017 total pendapatan adalah Rp 177 miliar, sebesar Rp 140 miliar nya adalah pendapatan BPJS. Kala itu pemerintah menunggak reimbursement BPJS hingga Rp 36,62 miliar sedangkan piutang lainnya hanya sbeesar satu hingga enam miliar saja. Hal yang sama juga terjadi di 2018.

Pada 2018 total pendapatan adalah Rp 204 miliar, sebesar 150 miliar nya datang dari pendapatan BPJS. Bayangkan saja dari Rp 150 miliar pendapatan BPJS di 2018, sebesar Rp 43,54 miliar ditunggak pembayarannya oleh pemerintah dan menjadi piutang.

Berikutnya di tahun 2019 emiten tidak begitu berhasrat melayani pasien dengan BPJS. Dari total pendapatan sebesar Rp 174 miliar, pendapatan BPJS adalah sebesar Rp 104 miliar sedangkan non-BPJS adalah Rp 69 miliar.

Di tahun 2019 emiten lebih mengutamakan pasien non-BPJS. Bila dibandingkan dengan tahun 2018, pendapatan dari pasien non-BPJS meningkat sedangkan pendapatan dari pasien BPJS turun hingga sepertiganya.

Hal ini benar-benar dapat dipahami karena dari Rp 104 miliar pendapatan BPJS, sebesar Rp 40 miliarnya ditunggak pembayarannya oleh pemerintah di tahun 2019.

Selanjutnya di 2020, sejak kuartal 3-2020 emiten mulai melayani pasien Covid-19 dalam kerjasamanya dengan departemen Kemenkes RI. Di tahun 2020, RS Royal Prima benar-benar membatasi penerimaan dari pasien BPJS dan lebih condong melayani pasien non-BPJS dan pasien Covid-19.

Pendapatan BPJS di 2020 pun turun drastis menjadi Rp 67,27 miliar, sebesar 34 miliar ditunggak pembayarannya oleh pemerintah. Jika mengandalkan pendapatan BPJS, pasti operasional terganggu.

Pilihan RS Royal Prima untuk lebih condong melayani pasien non-BPJS sangat dapat dipahami. Berikut pembahasan marjin labanya.

  GPM NPM
2017 27,07% 11,41%
2018 32,61% 8,45%
2019 25,57% 1,25%
2020 35,55% 14,62%

Pada tahun 2018 segera setelah emiten IPO di bursa, emiten segera menambah staf ahli seperti dokter dan spesialis. Emiten melakukan pembelian aset berupa alat kesehatan dan peralatan kantor tambahan.

Efeknya beban administrasi meningkat menghasilkan marjin laba bersih yang lebih tipis dibandingkan tahun 2017. Di 2019 emiten masih melakukan hal yang sama.

Manajemen PRIM mengatakan dalam press release-nya bahwa mereka siap melayani lebih banyak pasien di tahun-tahun mendatang.

Rupanya tak perlua lama menunggu, di tahun 2020 virus Corona menjadi pandemi dan mulai Kuartal 3-2020 emiten mendapat limpahan pasien Covid-19 dalam kerjasamanya bersama departemen Kemenkes RI.

DI akhir 2020 marjin laba emiten meningkat karena ternyata rekrutan staf ahli masih terlalu sedikit untuk menangani banyaknya pasien Covid-19. Akibatnya di 2020 beban administrasi emiten terbilang kecil dibandingkan beban kerja para pekerja kesehatan ini. Alhasil di 2020 marjin laba bersih meningkat.

Peningkatan pendapatan dengan marjin laba yang lebih tebal tak disia-siakan emiten. Segera emiten melunasi seluruh utang-utang berbunganya dan hanya menyisakan utang usaha dan utang lainnya yang tak menghasilkan beban keuangan.

Aset Liabilitas Ekuitas
2017 305.475.286.925 54.444.164.867 251.031.122.058
2018 912.296.806.454 63.429.761.146 848.867.045.308
2019 911.548.353.995 60.377.339.769 851.171.014.226
2020 950.302.859.353 60.950.770.358 889.352.088.995
CAGR 45,98% 3,83% 52,45%

Jadi RS Royal Prima melantai di bursa dengan kode saham PRIM sejak tahun 2018. Sejak itu emiten fokus pada pembangunan fasilitas kesehatan tambahan.

Di tahun 2021 RS Royal Prima resmi bertambah satu, semula hanya RSU Royal Prima dan RS Royal Prima Jambi, kini bertambah RS Marelan. Oleh karenanya total aset di tahun 2020 dan 2021 meningkat.

Kesimpulan

Royal Prima Tbk adalah satu dari sedikit sekali perusahaan yang sudah tidak punya beban keuangan alias sudah tidak memiliki utang berbunga!

Jadi liabilitas berbunga emiten terdiri dari dua macam saja yakni pinjaman bank serta pinjaman tanpa agunan Consumer Loan.

Pada tahun 2020 arus kas pendanaan positif sebesar Rp 10 miliar, namun segera pinjaman bank dilunasi oleh emiten seluruhnya menyisakan Consumer Loan saja. Dan di tahun 2021 ini pinjaman Consumer Loan emiten telah dilunas seluruhnya sebesar Rp 29 miliar.

Liabilitas emiten memang meningkat namun peningkatan itu berkualitas bagus, alias tak berbunga karena berupa utang usaha.

Pendapatan emiten naik turun namun bukan masalah karena strategi emiten sudah sangat tepat untuk mengutamakan pendapatan yang lebih mudah ditagih, tak ditunggak, yakni pendapatan Non-BPJS.

Selama pandemi emiten menghasilkan pendapatan yang luar biasa besar berkat limpahan pasien Covid-19, terutama di tahun 2021 ini.

Tenaga kerja tambahan yang sudah direkrut sejak IPO di 2018 masih tidak cukup untuk seluruh limpahan pasien selama pandemi.

Akibatnya beban administrasi nilainya jauh lebih kecil dibandingkan pendapatan totalnya, dan marjin laba bersih pun menebal hingga 22% padahal di kuartal 2-2020 sebelum menerima limpahan pasien Covid-19 hanya 2% saja marjin labanya.

Sejauh ini emiten sangat baik dalam beroperasional, kesehatan keuangan pun sempurna karena sudah tidak memiliki utang berbunga. Utang usaha selalu lebih baik karena pembayarannya seringkali dapat dinego dan tidak berbunga sama sekali.

Sejauh ini hingga Juni 2021 laba bersih tumbuh 241% dibandingkan periode yang sama di 2020. Siap-siap saja di akhir laporan tahunan 2021 kamu akan dapati laba bersih Royal Prima naik ratusan persen dibandingkan laba bersih tahun 2020.

Disclaimer: Investasi saham mengandung risiko dan seluruhnya menjadi tanggung jawab pribadi. Ajaib membuat informasi di atas melalui riset internal perusahaan, tidak dipengaruhi pihak manapun, dan bukan merupakan rekomendasi, ajakan, usulan ataupun paksaan untuk melakukan transaksi jual/beli Efek. Harga saham berfluktuasi secara real-time. Harap berinvestasi sesuai keputusan pribadi.

Artikel Terkait