Analisis Saham

Apakah Saham SCPI Layak Dikoleksi Sebelum Delisting?

Sumber: Organon

Ajaib.co.id – Kali ini kita akan membahas sebuah saham yang cukup menarik tapi tidak bisa kamu beli. SCPI adalah perusahaan produsen obat kanker dan vaksin yang sedang on the way untuk delisting sukarela. Jadi sejak Januari 2014 emiten berkode saham SCPI ini telah mendapat restu dari mayoritas pemegang sahamnya untuk menghapus pencatatan saham SCPI dari Bursa Efek Indonesia (BEI).

Biasanya delisting dilakukan secara paksa kepada emiten-emiten yang mengalami kesulitan keuangan yang parah yang membuat sahamnya tidak layak lagi berada di papan bursa. Akan tetapi ada juga emiten-emiten yang sukarela untuk melakukan delisting seperti SCPI dan AQUA misalnya.

Alasan mengapa SCPI hendak go private, tidak lagi menjual sahamnya ke publik, adalah karena dari sisi permodalan sudah dirasa sangat mencukupi sehingga tidak lagi membutuhkan modal tambahan dari masyarakat. Selain itu menjadi perusahaan yang go public memiliki banyak kewajiban yang mesti dipenuhi seperti merilis laporan keuangan ke publik, melakukan paparan publik, membayar keanggotaan, membagikan dividen dan lainnya.

Tetapi meski telah berencana delisting sejak 2014, hingga saat ini per November 2021 proses delisting belum juga bisa terealisasi. Kendalanya adalah di proses negosiasi harga pembelian saham dari para pemegang sagam publik yang jumlahnya 300 orang.

Jadi ketika sebuah saham hendak go private alias tidak lagi diperjualbelikan ke publik, emiten harus membeli semua sahamnya yang dimiliki oleh masyarakat. Setelahnya barulah persetujuan efektif bisa didapat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BEI untuk bisa berubah menjadi perusahaan tertutup.

Sebelumnya air minum dalam kemasan merek AQUA juga melakukan delisting, dan ketika itu sahamnya naik hingga Rp 500.000 per saham. Ketika perusahaan mau go private, berapapun harga sahamnya di publik akan dibeli emiten. Saat ini saham SCPI dihargai oleh publik di harga Rp 29.000 per saham. Dalam sebuah jajak pendapat di sebuah forum saham terbesar di Indonesia beberapa berpendapat SCPI bisa naik ke Rp 80.000.

Sebelumnya telah terjadi transaksi tutup SCPI di harga Rp 338.386 per lembar saham sebesar 3.556.336 lembar saham dan totalnya senilai Rp 1,2 triliun oleh Organon LLC yang kemudian menjadi pengendali saham SCPI.

Sedangkan di pasar reguler saham SCPI bisa dibeli di harga Rp 29.000 saja per saham. Kebayang kan kalau dijual di harga transaksi tutup pastinya cuan melimpah dong! Tapi jangan girang dulu, kamu belum bisa melakukan pembelian saham SCPI karena saat ini SCPI sedang disuspen.

Adapun Organon LLC kini merupakan pemegang saham mayoritas SCPI. Sisanya, sekitar 43.664 lembar saham atau 1,21% saham SCPI dimiliki oleh masyarakat. Yuk, kenal lebih lanjut saham SCPI ini!

Profil Perusahaan

PT Organon Pharma Indonesia Tbk sebelumnya bernama PT Merck Sharp Dohme Pharma Tbk (SCPI) adalah perusahaan farmasi, vaksin, terapi biologis, dan juga produk kesehatan hewani. Berkantor pusat di New Jersey, Amerika Serikat, Merck Sharp Dohme juga beroperasi di 139 negara lainnya termasuk di Indonesia. Pabriknya di Indonesia terletak di Pandaan.

Divisi farmasinya memiliki dua unit bisnis yakni perawatan primer dan khusus. Produk-produknya termasuk produk perawatan kulit, antibiotik, obat alergi dan obat-obatan kardiovaskular. Selain itu perseroan juga memproduksi produk hepatologi dan onkologi serta obat ketergantungan opioid.

Di Indonesia perseroan didirikan sejak 7 Maret 1972, kemudian pada tanggal 8 Juni 1990 perseroan melakukan penawaran saham perdana di papan pengembangan bursa dengan kode saham SCPI. Saat ini dengan jumlah saham beredar sebesar 3.600.000 lembar di harga Rp 29.000 per saham, kapitalisasi pasarnya adalah sebesar Rp 104,40 Miliar. Dari seluruhnya sebanyak 98,78% saham SCPI dikuasai oleh Organon LLC. Dan sisanya 1,21% beredar di masyarakat.

Riwayat Kinerja

Untuk mengenal emiten lebih lanjut maka peninjauan riwayat kinerja dapat dilakukan. Penelusuran di laman resmi IDX bagian laporan keuangan tahunan dan kuartal ternyata hanya menghasilkan laporan keuangan hingga tahun 2019 saja. Oleh karenanya analisa kinerja SCPI hanya dapat dilakukan hingga tahun 2018 saja.

(Ribuan Rp) Aset Liabilitas Ekuitas Persediaan
2018 1.635.702.779 1.133.297.452 502.405.327 456.974.105
2019 1.417.704.185 800.703.906 617.000.279 510.327.418
2020 1.598.281.523 766.072.367 832.209.156 278.895.042
CAGR -1,15% -17,78% 28,70% -21,88%

Jadi aset secara umum naik turun di kisaran Rp 1,4-1,6 triliun per tahun, jika dirata-ratakan maka diperoleh informasi bahwa aset turun sebesar 1,15% per tahun. Di akhir 2020 aset SCPI adalah Rp 1,59 triliun. Meski turun rata-rata 1,15% per tahun, namun emiten sangat pandai dalam mengelola kesehatan keuangannya.

Liabilitas setiap tahunnya konsisten turun, rata-rata sebesar 17,78% per tahun. DI akhir 2020 liabilitas emiten hanya Rp 766 miliar saja. Dengan demikian ekuitas, sebagai hasil dari selisih aset dengan liabilitas, bertumbuh 28,7% per tahun!

Pantas saja manajemen SCPI mengaku bahwa modal mereka sangat cukup untuk beroperasi sehingga memutuskan untuk delisting sukarela. Per tahun 2020 ekuitas alias modal kerja SCPI adalah Rp 832,2 miliar.

Sebagaimana biasanya emiten manufaktur dalam hal ini produksi farmasi, dapat diketahui bagus atau tidaknya dari sisi produksi. Persediaan turun sebesar 21,88% per tahun. Sebagai informasi turunnya angka persediaan biasanya disebabkan oleh dua hal: produksi menurun, atau penjualan melejit. Maka berikutnya yang akan dibahas adalah tentang pendapatannya.

(Ribuan Rp) Pendapatan Laba Kotor Laba Bersih
2018 2.205.541.657 416.883.957 127.091.642
2019 1.841.268.073 304.251.722 112.652.526
2020 2.893.298.079 429.214.917 218.362.874
CAGR 14,54% 1,47% 31,08%

Karena yang hanya bisa ditelusuri hanya sampai tahun 2018 maka informasi yang didapat terbatas saja. Dari sisi pendapatan, setiap tahunnya bervariasi akan tetapi di tahun 2020 emiten mengalami kenaikan pendapatan sebesar Rp 1,5 triliun menjadi Rp 2,89 triliun. Wajar saja emiten mendulang untung besar di 2020 sebagaimana perusahaan farmasi dan vaksin pada umumnya di tengah-tengah pandemi.

Meski pendapatan bertumbuh rata-rata 14% per tahun, laba kotor dari tahun ke tahun hanya meningkat 1,47% saja rata-rata. Mengingat bahan baku farmasi masih sebagian besar diimpor dan kurs rupiah melemah maka wajar saja beban pokok pendapatan meningkat. Hal ini pula yang menjadi masalah efisiensi laba kotor di seluruh perusahaan farmasi.

Kemudian penelusuran berikutnya menemukan bahwa terdapat efisiensi alias penghematan di bagian biaya penjualan dan beban keuangan. Jadi dari tahun ke tahun emiten menekan beban penjualan dan membayar liabilitas sehingga bunga pinjaman yang ditulis sebagai beban keuangan bisa terus ditekan.

Di tahun 2020 beban keuangan hanya sebesar Rp 22 miliar saja. Di tahun 2019 beban keuangan emiten adalah sebesar Rp 26 miliar, sebelumnya di 2018 lebih besar lagi yakni Rp 31 miliar. Dengan pengurangan terus menerus di bagian beban keuangan dan beban penjualan maka diperoleh laba bersih yang bertumbuh rata-rata sebesar 31% per tahun. Di akhir 2020 laba bersih emiten adalah sebesar Rp 218,36 miliar. Meski biaya bahan pokok meningkat tapi efisiensi tetap bisa diterapkan alhasil laba bersih bertumbuh lebih besar dari pertumbuhan pendapatan, Mantap khan?

  GPM NPM
2018 18,90% 5,76%
2019 16,52% 6,12%
2020 14,83% 7,55%

Pembahasan efisiensi tentunya dapat terlihat dengan jelas dari besaran marjin laba setiap tahunnya. Adapun marjin laba bersih naik dari 5,7% saja di 2018 menjadi 6% di 2019 dan akhirnya di 2020 mencapai 7,55%.

Jika kamu belum tahu, memang pada umumnya marjin laba bersih perusahaan farmasi tidaklah besar di bawah 10% saja. Namun tidak menjadi soal asalkan manajemen efisien dalam mengelola beban-beban dan masih bisa menunjang operasionalnya. Pembahasan berikut adalah seputar kesehatan keuangan emiten.

  DER Current Ratio
2018 225,57% 268,98%
2019 129,77% 594,24%
2020 92,05% 150,28%

Diketahui emiten dari tahun ke tahun telah mengurangi liabilitasnya terutama yang mengandung bunga. Alhasil rasio utang per ekuitas (DER) emiten terus turun, yang semula 225% di 2018 menjadi 92% saja di 2020. Kamu harus tahu kalau rasio DER yang dianjurkan adalah di bawah 100%, dengan demikian jika terjadi pailit maka modal kerjanya saja sudah bisa menutup semua utang.

Sayangnya rasio lancar mesti turun ke 150%, adapun rasio lancar mengukur kesehtana keuangan secara jangka pendek dengan membagi aset lancar dengan utang lancar. Oleh karenanya semakin besar semakin baik. Meski turun ke 150%, namun masih tergolong baik karena berada di atas 100%.

Kinerja Berdasarkan Laporan Keuangan Terakhir

Berikutnya baru kita akan membahas kinerja emiten dari laporan keuangan terakhir yang dirilis pada kuartal 2-2021.

(Ribuan Rp) 2Q21 2Q20 Perubahan
Pendapatan 867.907.871 1.329.408.145 -34,71%
Laba Kotor 125.479.461 179.806.183 -30,21%
Laba Bersih 72.047.916 127.613.008 -43,54%

Adapun pendapatan kembali normal selama pemulihan pandemi di tahun 2021, maka pendapatan terkoreksi 34% menjadi hanya Rp 867,9 miliar per Kuartal 2-2021. Seiring turunnya pendapatan, laba kotor dan laba bersih juga terkoreksi di kisaran yang sama. Per Kuartal 2-2021 ini laba bersih yang berhasil dibukukan emiten hanya sebesar Rp 72 miliar saja. Sedangkan di periode yang sama di tahun 2020 adalah sebesar Rp 127 miliar.

(Ribuan Rp) 2Q21 2Q20 Perubahan
Aset 1.579.628.397 1.762.702.209 -10,39%
Liabilitas 655.404.798 1.018.088.922 -35,62%
Beban Keuangan 3.809.516 13.434.362 -71,64%
Ekuitas 924.223.599 744.613.287 24,12%

Adapun aset turun sebesar 10,39% menjadi hanya Rp 1,57 triliun saja karena emiten mengurangi sebagian liabilitasnya. Per kuartal 2-2020 liabilitas emiten adalah Rp 1,01 triliun sedangkan di kuartal 2-2021 liabilitas hanya sebesar Rp 655,4 miliar saja atau turun 35%.

Karena yang dikurangi sebagian besar adalah liabilitas berbunga maka beban keuangan turun menjadi hanya Rp 3,8 miliar saja dari semula Rp 13,43 miliar. Karena penurunan liabilitas lebih besar dari penurunan aset maka ekuitasnya meningkat menjadi Rp 924,22 miliar dari semula Rp 744,6 miliar saja per Kuartal 2.

2Q21 2Q20
DER 70,91% 136,73%
Current Ratio 167,49% 257,15%

Dengan dibayarkannya sebagian besar utang maka rasio utang per ekuitas turun ke 70,91% di Kuartal 2-2021 dari semula 136,73% di Kuartal 2 tahun 2020. Adapun rasio lancar juga ikut turun namun masih terbilang baik, yakni di angka 167%.

Kesimpulan

Mari kita flashback sebentar. Emiten menyatakan hendak delisting sukarela karena dari sisi permodalan sudah merasa mencukupi sehingga tidak lagi membutuhkan dana masyarakat untuk menopangnya. Oke, sampai disitu mari kita lanjut.

Ternyata hal ini bukan hanya sebatas jargon, emiten benar-benar mengurangi liabilitasnya besar-besaran dari tahun ke tahun. Semula liabilitas emiten mencapai lebih dari Rp 1,13 triliun di 2018, kemudian semakin lama semakin kecil dan menyisakan hanya Rp 766 miliar saja liabilitas di 2020.

Pengurangan liabilitas berdampak pada turunnya beban keuangan yang pada akhirnya memperbesar laba bersih. Kenaikan laba bersih rupanya juga ditunjang dari efisiensi beban penjualan yang juga terus menurun. Alhasil marjin laba bersih terus meningkat meski marjin laba kotor turun dari 18% di 2018 menjadi 14% saja di akhir 2020.

Turunnya laba kotor sangat bisa dimaklumi karena semua emiten farmasi juga mengalaminya. Jadi bahan baku farmasi di tanah air masih diimpor dari luar negeri. Dengan melemahnya kurs rupiah sedangkan penjualan dilakukan di dalam negeri maka marjin laba kotor tidak bisa meningkat.

Beberapa emiten farmasi mengalami stagnasi dalam marjin laba kotornya, beberapa lainnya malah menurun termasuk SCPI. Oleh karenanya penurunan marjin laba kotor masih sangat bisa dimaafkan. Yang penting adalah efisiensi beban-beban dan permodalan sehingga marjin laba usaha dan bersih masih bisa meningkat.

SCPI termasuk kategori emiten farmasi yang sangat baik dalam melakukan efisiensi dari tahun ke tahun. Yang dihemat adalah beban penjualan dan beban keuangan, dengan demikian laba bersihnya semakin baik.

Jika SCPI dibuka suspensinya untuk ditransaksikan lagi, penulis yakin banyak yang mau. Alasannya adalah karena emiten akan delisting sukarela dan harga transaksi tutup (crossing) adalah Rp 338.386 per saham, sedangkan saat ini di reguler dijual Rp 29.000 per saham, cuan melimpah dong pastinya! Jika sudah koleksi di harga 29 ribu, dijual 338 ribu artinya cuan 1000% lebih, siapa yang tidak mau?

Skenario kedua jika emiten tak jadi delisting sukarela, emiten ini sangat bagus dalam hal peningkatan kinerja. Masih lebih baik TSPC, tapi sudah sangat baik dalam progress kinerja dan oleh karenanya layak koleksi.

Disclaimer: Investasi saham mengandung risiko dan seluruhnya menjadi tanggung jawab pribadi. Ajaib membuat informasi di atas melalui riset internal perusahaan, tidak dipengaruhi pihak manapun, dan bukan merupakan rekomendasi, ajakan, usulan ataupun paksaan untuk melakukan transaksi jual/beli Efek. Harga saham berfluktuasi secara real-time. Harap berinvestasi sesuai keputusan pribadi.

Artikel Terkait