Ajaib.co.id – Selama ini, kata ‘wakaf’ identik dengan agama tertentu, yakni Islam. Namun, apakah pengertian wakaf memang hanya berlaku untuk pemeluk agama Islam?
Sebelum menelaah jawabannya, ada baiknya kita pahami pengertian wakaf terlebih dahulu. Kata ‘wakaf’ berasal dari bahasa Arab, yakni ‘waqafa’. Artinya adalah ‘menahan’ atau ‘berhenti’. Dalam Al-Qur’an, tidak ada ayat yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Pada dasarnya, ulama mendefinisikan wakaf berdasarkan keumuman ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah.
Ada sejumlah definisi wakaf. Berbagai pengertian wakaf tersebut menyimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah.
Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 5, yang menyatakan fungsi wakaf ialah merealisasikan potensi dan manfaat ekonomis harta benda untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum.
Menurut para faqih, hukum wakaf adalah mandub (mustahab). Maksudnya, suatu perbuatan yang diberi pahala bagi pelakunya. Bagi yang tidak melakukannya tidak dijatuhi sanksi.
Dalam UU No. 41 Tahun 2004, wakaf memiliki enam unsur. Keenam unsur itu adalah wakif (pihak yang mewakafkan hartanya), nazhir (pengelola harta wakaf), harta wakaf, peruntukan, akad wakaf, dan jangka waktu wakaf.
Jenis Wakaf
Wakaf dapat dibedakan menjadi dua jenis menurut Ahmad Azhar Basyir, seorang ulama ahli fiqih, yaitu
Wakaf Ahli (Keluarga atau Khusus)
Wakaf ahli ditujukan kepada orang-orang tertentu, bisa seorang atau lebih dari seorang. Wakaf ini bisa ditujukan kepada keluarga wakif atau bukan, contohnya mewakafkan buku-buku untuk anak-anak yatim. Wakaf ini sah dengan catatan pihak yang berhak menikmati harta wakaf sesuai dalam pernyataan wakaf.
Wakaf Khairi atau Wakaf Umum
Wakaf khairi ditujukan untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Wakaf khairi ini sejalan dengan jiwa amalan wakaf yang amat dianjurkan dalam.
Jadi, masyarakat luas dapat menikmati harta wakaf tersebut. Harta wakaf ini juga bisa menjadi sarana untuk mendorong kesejahteraan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan, kebudayaan maupun keagamaan.
Wakaf sendiri mengandung sejumlah manfaat bagi orang yang memberikan, mengelola, dan menerima wakaf. Manfaat itu tak hanya bisa dirasakan di dunia, namun juga di akhirat, khususnya bagi yang berwakaf.
Pasalnya, pahala wakaf terus mengalir meskipun orang yang berwakaf tersebut telah meninggal. Selama harta wakaf tersebut bermanfaat, pahala akan terus-menerus mengalir karena harta yang diwakafkan tidak boleh habis atau dijual.
Manfaat Wakaf
Selain pahala, di bawah ini adalah beberapa manfaat wakaf lainnya, yakni
Menumbuhkan Jiwa Sosial
Wakaf dapat melatih kepekaan sosial tak hanya bagi pemberi, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Kepekaan sosial yang terpupuk bisa menimbulkan orang-orang berjiwa sosial tinggi.
Membantu Orang Lain yang Mendapatkan Kesulitan
Wakaf dapat meringankan beban hidup orang yang kurang mampu. Wakaf tanah, misalnya, dapat membantu penduduk di sebuah desa yang belum memiliki masjid untuk perlahan-lahan memilikinya.
Menyadarkan Orang, Harta Tidak Bersifat Kekal
Harta tidak akan dibawa saat seseorang meninggal dunia. Justru yang dibawanya adalah amalannya. Wakaf bisa menumbuhkan kesadaran bahwa yang kekal adalah pahala yang terus mengalir, bukan harta benda. Dengan kata lain, manfaat wakaf bisa menjadi bekal untuk meraih kehidupan akhirat yang lebih baik.
Kembali ke pertanyaan semula, apakah wakaf memang hanya berlaku untuk pemeluk agama Islam? Bagaimana bila pihak yang mewakafkan adalah orang non-Muslim walaupun peruntukkan wakaf itu untuk sarana ibadah umat Islam?
Dalam wakaf tentu ada pihak yang mewakafkan dan harta benda yang diwakafkan. Bisa saja, misalnya, seorang pemeluk agama lain ingin mewakafkan tanah untuk dijadikan lokasi pembangunan masjid.
Menyikapi hal ini, setidaknya ada dua pendapat para ulama. Salah satunya adalah yang memperbolehkan. Pandangan ini dianut oleh para ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i. Dalam kasus ini, fokus perhatian ialah pihak pemberi wakaf.
Dalam kitab Fathul Wahhab, ulama dari kalangan Madzhab Syafi’I berpendapat, syarat pemberi wakaf adalah pihak yang tidak berada di bawah tekanan (al-mukhtar). Jadi, ia secara sadar dan sukarela memberikan harta-bendanya untuk diwakafkan. Selain itu, calon pemberi wakaf juga sebagai orang yang memiliki kecakapan dalam berbuat kebajikan (ahlu tabarru’).
Dalam syarat terkait pemberi wakaf, tidak disebutkan ia harus seorang Muslim. Dengan kata lain, terdapat keabsahan wakaf dari non-Muslim. Dengan tegas, Syekh Zakariya Al-Anshari, seorang ulama mazhab Syafi’i dalam Fathul Wahhab karyanya menyatakan keabsahan wakaf non-Muslim meskipun untuk masjid. Ia menegaskan, sah wakaf dari orang non-Muslim dan walaupun wakaf tersebut untuk masjid.
Pandangan ini tampak jelas melihat dari sisi tujuan fundamental wakaf itu sendiri, yaitu dalam rangka taqarrub. Taqarrub di sini mesti dilihat dari kacamata Islam. Berdasarkan hal ini, apakah pemberi wakaf akan mendapatkan pahala atau tidak menurut keyakinannya tidak menjadi relevan.
Yang terpenting adalah sepanjang wakaf tersebut memiliki nilai qurbah atau ibadah dalam pandangan Islam, maka dapat dibenarkan. Oleh karena itu kemudian dikatakan bahwa yang menjadi acuan dalam soal wakaf adalah sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam pandangan Islam.
Namun, berbeda jika ia mewakafkan tanahnya, misalnya, untuk gereja. Ini jelas tidak sah karena itu bukan termasuk kategori qurbah dalam pandangan Islam.
Jadi, wakaf tidak melulu melibatkan orang yang memeluk agama tertentu. Namun, pemanfaatan wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai atau ketentuan agama Islam. Di samping agama Islam, berbagai ketentuan wakaf juga diatur oleh negara dalam bentuk Undang-Undang yang mengikat seluruh warga negara Indonesia.
Sumber: Pengertian Wakaf, Keutamaan dan Manfaat Wakaf, dan Hukum Wakaf dari Non-Muslim, dengan perubahan seperlunya.