

Ajaib.co.id – PT Bukit Asam Tbk (PTBA) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batu bara yang mencakup survei umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, pemurnian, pengangkutan dan perdagangan, pemeliharaan fasilitas pelabuhan batubara khusus untuk keperluan internal dan kebutuhan eksternal, pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap untuk kebutuhan internal dan eksternal dan memberikan jasa konsultasi terkait industri pertambangan batu bara serta produk turunannya, hingga pengembangan perkebunan.
Hampir seperempat dari produksi PTBA telah diekspor ke pasar internasional, di antaranya Jepang, Taiwan, Malaysia, Pakistan, Spanyol, Perancis dan Jerman. PTBA melantai di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2002 dan masuk ke Papan Utama.
Sebanyak 65,93% saham PTBA dimiliki oleh PT. Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang ]uga merupakan Holding pertambangan BUMN Indonesia, kemudian sebanyak 31,20% dimiliki oleh publik, dan saham treasury perusahaan sebesar 2,87%. Sebagai salah satu emiten yang masuk saham papan utama, PTBA memiliki kapitalisasi pasar sebesar 29,95 triliun, bertengger di posisi ke 46 dari total 721 saham hingga kini di BEI.
Mari ikuti pembahasan selanjutnya, karena kita akan bedah saham PTBA lebih dalam lagi untuk mengetahui apakah saham ini layak dikoleksi untuk investasi jangka panjang.
Kinerja Keuangan
Berdasarkan laporan keuangan terbarunya yaitu laporan tahunan 2020. PTBA membukukan laba bersih senilai Rp2,4 triliun sepanjang 2020. Besaran itu turun 41,16% secara tahunan (year on year/YoY) dibanding dengan laba bersih akhir Desember 2019 yang nilainya Rp 4,05 triliun.
Perolehan laba tersebut dapat dikatakan sudah cukup baik. Sebab di tengah pandemi COVID-19, penurunan konsumsi energi akibat diberlakukannya lockdown di beberapa negara tujuan ekspor seperti China dan India.
Dari sisi pendapatan, PTBA mengantongi Rp17,3 triliun, turun 20,4% dibanding Rp21,7 triliun sepanjang tahun 2019. Aset perusahaan per Desember 2020 tercatat berada di angka Rp24,1 triliun juga turun atau mengalami penurunan 7,8%, dengan komposisi kas setara kas dan deposito berjangka di atas 3 bulan sebesar Rp5,5 triliun atau 23% dari total aset.
Turunnya harga batu bara selama 2020 menjadi tantangan tersendiri bagi PTBA. Seperti diketahui, harga batu bara acuan (HBA) berfluktuasi sepanjang 2020 dan sempat menyentuh angka US$65,93 per ton di awal Januari 2020 dan bahkan pernah menyentuh titik di bawah US$50 per ton pada September 2020.
Namun HBA mulai naik dalam 3 bulan terakhir di 2020 dan menyentuh angka US$ 59,65 per ton pada Desember 2020 karena mulai pulihnya permintaan batu bara di pasar global. Meskipun sepanjang 2020 disebut yang terendah selama 4 tahun terakhir dengan berada di level US$ 58,17 per ton.
Sepanjang 2020, beban perusahaan mengalami penurunan. Beban pokok pendapatan turun Rp 12,78 triliun dari Rp 14,17 triliun, beban umum dan administrasi ditekan menjadi Rp 1,43 triliun dari sebelumnya Rp 1,93 triliun, juga beban penjualan dan pemasaran turun ke Rp 692,32 miliar dari Rp 828,67 miliar.
PTBA mampu memproduksi 24,8 juta ton batu bara, atau 99% dari target yang telah disesuaikan menjadi 25,1 juta ton pada 2020. Kapasitas angkutan batu bara tercatat mencapai 23,8 juta ton atau naik 3% dari target tahun ini, sementara kinerja penjualan batubara terealisasi sebesar 26,1 juta ton atau naik 5% dari target 2020.
Riwayat Kinerja
Tingkat pertumbuhan dalam 5 tahun terakhir mencerminkan PTBA mampu menghasilkan keuntungan secara konsisten.


Eminten batubara milik pemerintah ini juga termasuk perusahaan yang sehat, tercermin dari rasio-rasio keuangannya berikut ini.


PTBA tergolong saham dengan kinerja istimewa di sektornya, terlihat dari rasio ROA sebesar 12,05% yang menempati peringkat ke-6 dibandingkan 52 emiten pertambangan lainnya, ROE sebesar 22,19% peringkat ke-10, NPM sebesar 14,7% peringkat ke-9, dan EPS sebesar 207 peringkat ke-9.
Secara valuasi, PER dan PBV PTBA relatif murah jika dibandingkan valuasi kinerjanya di tahun sebelumnya. PER PTBA saat ini berada di 12,26X, meskipun PER tahun 2019 sebesar 9,5X dan PER 2018 di 9,4X, tetapi PTBA pernah mencapai PER 20,5X di tahun 2016.
Adapun PBV juga menempati peringkat ke-37 dibandingkan emiten pertambangan lainnya, yang rasanya tidak murah. PBV terkini PTBA sebesar 1,75, lebih murah dari rata-rata PBV 2019 yang berada di angka 3,33X dan PBV 2018 di 3,32X.
Track Record Pembagian Dividen untuk Pemegang Saham
Tahun | Dividen per Saham | Jumlah yang dibayarkan (Rp Juta) |
2016 | 289 | 611 |
2017 | 285 | 602 |
2018 | 318 | 3350 |
2019 | 339 | 3767 |
2020 | 326 | 3650 |
Dari data di atas tampak PTBA membagikan dividen setiap tahun dengan rasio dividen dibandingkan dengan laba bersih (dividend payout ratio/DPR) bervariasi dengan rentang 30%-75%. Dalam dua tahun terakhir, DPR PTBA mencapai 75%.
Pada 5 April 2021 lalu, Manajemen PTBA memutuskan membagikan dividen sebesar Rp835 miliar atau 35% dari laba bersih perusahaan pada 2020. Dividen yang dibagi adalah sebesar Rp74,55 per lembar. Keputusan itu diambil dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan. Dalam periode 2016-2019, dividen selalu dibayarkan pada bulan Mei.
PTBA Menjadi salah satu saham yang masuk ke indeks High Dividend 20 bukan tanpa alasan. Selama 5 tahun berturut-turut, perusahaan tambang batu bara ini rutin membagikan dividen ke investor dengan yield yang tinggi, bahkan lebih dari 10%.
Hal ini menjadikan salah satu alasan mengapa PTBA digemari oleh investor jangka panjang, sebab pembagian dividen rutin merupakan cerminan dari perusahaan yang sehat.
Prospek Bisnis PTBA
Seperti diketahui, tidak sedikit negara yang kini meninggalkan batubara karena dianggap merusak lingkungan. Situasi itu berdampak terhadap permintaan batubara yang diproduksi di berbagai negara produsen, salah satunya Indonesia.
Namun, di tengah berbagai ketidakpastian masa depan industri batubara, perusahaan batubara tidak tinggal diam. Aneka keputusan dilakukan perusahaan mulai saat ini untuk menjaga keberlangsungan bisnis batubara di masa depan.
Salah satu keputusan itu adalah menjalankan proyek gasifikasi atau mengubah batubara menjadi gas serta bahan baku industri kimia. Dengan kata lain, batubara yang dijual oleh perusahaan bukan lagi hanya produk hulu (batubara mentah), melainkan produk hilir (produk bernilai tambah).
Anak usaha BUMN yang kini bergabung dalam holding BUMN MIND ID ini telah mempersiapkan proyek gasifikasi sejak beberapa tahun lalu.
Sebagai gambaran, hilirisasi batubara yang dilakukan oleh PTBA adalah mengembangkan batubara berkalori rendah menjadi Dimethyl Ether (DME) dan produk kimia seperti urea polypropylene. Untuk apa DME? DME dapat digunakan sebagai bahan pengganti atau substitusi gas cair (LPG).
Dalam pengembangan DME, PTBA telah menandatangani nota kesepahaman dengan BUMN minyak dan gas yaitu Pertamina yang kelak akan bertindak sebagai off taker (pembeli produk) serta perusahaan asal Amerika Serikat yaitu Air Products yang memiliki teknologi gasifikasi batubara pada 2018.
Proyek pengembangan konversi batubara menjadi DME ini direncanakan akan dimulai pada 2024 (atau 3 tahun lagi). Dalam produksi tersebut, PTBA memperkirakan batubara yang dibutuhkan mencapai 6,5 juta ton dengan produksi DME sebanyak 1,4 juta ton.
Sementara itu, PTBA juga telah menandatangani perjanjian dengan sejumlah perusahaan seperti Pertamina, Pupuk Indonesia dan Chandra Asri Petrochemical pada 2017 untuk membangun pabrik konversi batubara menjadi urea, DME dan polypropylene di salah satu lokasi tambang yaitu Tambang Tanjung Enim, Sumatera Selatan.
Dalam proyek ini, batubara yang dikonsumsi diperkirakan mencapai 8,1 juta ton per tahun. Urea yang diproduksi diperkirakan dapat mencapai 570 ton per tahun, DME 400.000 ton per tahun dan polypropylene 450.000 ton per tahun. Berbagai langkah ini menunjukkan rencana PTBA bukan isapan jempol semata.
Proyek ini memiliki sejumlah arti penting bagi PTBA di masa depan. Proyek ini setidaknya berusaha memastikan adanya permintaan terhadap batubara yang diproduksi oleh PTBA di masa depan. Sampai saat ini, PTBA memproduksi dan menjual lebih dari 20 juta ton batubara setiap tahunnya.
Pada 2019, misalnya, PTBA memproduksi 29 juta ton batubara yang meningkat 10% dibandingkan dengan 26 juta ton pada 2018. Dari produksi itu, PTBA menjual 27 juta ton batubara pada 2019 atau meningkat 12% dibandingkan dengan 24 juta ton pada 2018. Volume produksi dan volume penjualan itu berfluktuasi setiap tahunnya yang disebabkan sejumlah faktor.
Jika proyek gasifikasi ini berjalan lancar, permintaan batubara untuk keperluan dalam negeri akan kian kuat. Pada saat ini, penjualan batubara PTBA terbagi untuk pasar dalam negeri dengan porsi 60% dan ekspor 40%. Jika pasar ekspor suatu saat menurun karena penurunan permintaan akibat kebijakan negara pengimpor batubara, PTBA perlu memperkuat pasar dalam negerinya jika ingin bertahan di masa depan.
Proyek gasifikasi ini setidaknya menjadi salah satu langkah perseroan untuk “mengamankan” potensi pendapatan di masa depan. Pada saat ini, PTBA memiliki cadangan batubara lebih dari 3,24 miliar ton dan sumberdaya 8,28 miliar ton. Cadangan tersebut merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia.
Proyek ini bukan hanya ambisi perusahaan semata tanpa dukungan pemerintah. Pemerintah mendukung pengembangan proyek gasifikasi batubara ini dengan menetapkannya sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam Peraturan Presiden Nomor 109/2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres No.3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN.
Dengan ditetapkan sebagai PSN, pemerintah berupaya supaya proyek ini dapat terselesaikan setidaknya sebelum masa kepempimpinan Presiden Joko Widodo berakhir pada 2024. PSN merupakan bagian dari “janji politik” pemerintahan Presiden Jokowi.
Jika gasifikasi dapat menjadi katalis bagi saham PTBA di masa depan, pelaku pasar juga perlu mengamati perkembangan harga batu bara di 2021 yang dapat menjadi katalis bagi saham ini dalam jangka pendek. Sebab saham sejumlah emiten batubara tidak jarang bergerak segendang seirama dengan pergerakan dengan harga batubara.
Kesimpulan
Prospek bisnis PTBA masih cerah untuk beberapa tahun ke depan, ditambah konsistensi perusahaan yang selalu membagikan dividen selama 5 tahun terakhir berturut-turut.
Secara valuasi, harga saham PTBA masih undervalue, terlihat dari rasio PER dan PBV yang dapat dikatakan secara relatif harganya masih murah sehingga masih cocok untuk investasi jangka panjang.