Ajaib.co.id – Efek dari pandemi virus corona rupanya tak hanya terasa dari sisi kesehatan jasmani saja namun juga dari sisi ekonomi. Pukulan yang diberikannya tidak main-main. Secara umum ekonomi terkoreksi, konsumsi mayarakat turun dan selama pandemi ratusan bisnis terpaksa gulung tikar atau mendekati itu.
Untuk mengatasinya kemudian pemerintah dan Bank Indonesia memutuskan untuk mencetak uang lebih banyak dalam kebijakan Quantitative Easing untuk kemudian dibagikan dalam bentuk tunjangan prakerja, dan tunjangan-tunjangan lain.
Selain itu ekonomi secara umum juga dirangsang untuk bisa pulih dengan mendorong orang-orang mengambil lebih banyak pinjaman untuk memulai usaha atau melakukan kegiatan konsumtif agar kehidupan ekonomi secara umum bisa terangkat kembali.
Untuk mendorong orang-orang mengambil pinjaman maka suku bunga pinjaman diturunkan, caranya adalah dengan menggerakkan suku bunga acuan ke level yang lebih rendah. Yang bisa melakukannya adalah bank sentral.
Kebijakan Bank Indonesia (BI), bank sentral kita, dalam menaik-turunkan suku bunga tentu akan berpengaruh terhadap bursa saham kita. Hubungannya adalah ketika kegiatan usaha bisnis-bisnis mulai pulih maka laba bisa dihasilkan dan sahamnya juga akan diburu investor dan oleh karenanya pasar saham kembali bergeliat.
Pengaruh perubahan suku bunga acuan BI terhadap pasar saham Indonesia tentu mudah dimengerti. Namun ternyata perubahan suku bunga acuan di Amerika Serikat juga konon turut berpengaruh terhadap pasar saham kita, kok bisa? Yuk, kenali Fed Fund Rate/suku bunga Amerika dan pengaruhnya terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)!
Fed Fund Rate
Dalam pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) terakhir, yakni pada tanggal 16 Juni 2021, Federal Reserve (The Fed) mempertahankan Fed Fund Rate alias suku bunga acuan Amerika Serikat di kisaran 0% hingga 0,25% saja. Artinya jika sudah menyentuh ke level konsumen langsung, masyarakat Amerika bisa menikmati pinjaman nyaris tanpa bunga sama sekali. The Fed memang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi yang terpukul oleh pandemi virus Corona.
Suku bunga 0%-0,25% memang terdengar gila, bagaimana perusahaan pembiayaan bisa untung daripadanya? Namun komite, dalam pertemuan FOMC, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memang sedang dirangsang untuk bisa pulih dengan mendorong bisnis-bisnis mengambil pinjaman, memperluas usaha dan menyerap tenaga kerja sehingga ada lebih banyak orang yang memiliki gaji untuk menyejahterakan dirinya dan keluarga masing-masing.
Tak hanya bisnis-bisnis, masing-masing orang yang dianggap layak kredit juga didorong untuk mengambil pinjaman konsumtif seperti kredit kendaraan, perumahan, dan lain sebagainya.
Dengan naiknya konsumsi diiringi serapan tenaga kerja maka dengan kata lain diturunkannya suku bunga acuan akan memberikan manfaat dalam meningkatkan ekonomi. Dengan naiknya ekonomi, maka harga barang-barang pokok dan lainnya akan naik dan inilah yang disebut dengan inflasi.
Komite dalam pertemuan FOMC memang sedang menantikan inflasi naik mencapai sedikitnya 2% dalam jangka pendek. The Fed memperkirakan inflasi akan mencapai 3,4% di tahun 2021 dengan pulihnya ekonomi dan mencapai target serapan tenaga kerja yang diinginkan. Setelah target tercapai rencananya Fed Fund Rate/suku bunga acuan akan dinaikkan di tahun 2022 agar inflasi turun ke 2,1% saja.
Suku bunga acuan memang sengaja diubah naik atau turun untuk memengaruhi suku bunga yang dikenakan pada konsumen seperti bunga bank, bunga pinjaman, KPR, dan bunga deposito dan lainnya. Jika kondisi sudah lebih baik, inflasi kemudian ditekan agar tak terlalu tinggi dengan menaikkan kembali suku bunga acuan.
Efek dinaik-turunkannya suku bunga acuan memang tidak langsung terasa, sebagai informasi suku bunga acuan dipangkas ke level 0% – 0,25% sejak bulan Maret 2020. Terakhir kali The Fed memangkas suku bunga ke level ini adalah pada bulan Desember 2008 dan baru dinaikkan kembali pada bulan Desember 2015. Artinya pada krisis sebelumnya ekonomi secara umum baru dinyatakan pulih tujuh tahun sejak suku bunga diturunkan.
Jadi kali ini berapa lama ya efeknya akan terasa? Jawabannya tidak tahu, tapi semoga cukup cepat terjadi.
Fed Fund Rate Terhadap IHSG
Perubahan pada suku bunga Amerika Serikat akan memengaruhi selera investor dalam membeli surat utang dan melakukan investasi. Sebagai informasi aset keuangan terutama surat utang negara Amerika Serikat dianggap sebagai surat utang terbaik karena didukung kemampuan ekonomi adidaya nomor satu di dunia.
Ketika Fed Fund Rate dinaikkan, meski hanya tipis saja, maka investor seringkali menjual aset-asetnya di negara berkembang seperti Indonesia dan beralih membeli aset-aset keuangan, termasuk surat utang, Amerika Serikat karena dianggap berkualitas tinggi. Oleh karenanya kenaikan suku bunga di Amerika sana berpengaruh pada penurunan selera investor asing atas aset-aset keuangan di negara-negara berkembang seperti di Indonesia.
Nah, itu kalau Fed Fund Rate dinaikkan. Bagaimana kalau kasusnya terbalik, Fed Fund Rate diturunkan?
Ketika Fed Fund Rate diturunkan maka investor akan kehilangan selera untuk berinvestasi di aset-aset keuangan Amerika Serikat karena bunganya yang rendah.
Jadi suku bunga acuan itu tak hanya diterapkan pada pinjaman tetapi juga pada suku bunga bank, deposito dan surat utang juga. Deposito dengan bunga 0% tentu tidak menarik, bukan? Meski kualitas asetnya nomor satu namun untuk apa repot-repot menitipkan dana kalau tidak ada selisih keuntungannya, begitu pikir investor.
Oleh karenanya investor enggan untuk berinvestasi di pasar Amerika jika suku bunganya sedang rendah. Sebagai alternatif, kemudian para investor biasanya melirik pasar finansial negara berkembang seperti Indonesia.
Masuknya investor asing ke pasar finansial Indonesia memberikan asupan dana segar untuk membiayai ekspansi bisnis-bisnis, termasuk obligasi-obligasi korporat emiten-emiten di bursa! Dengan masuknya dana segar, emiten punya tambahan amunisi untuk belanja modal dan meningkatkan potensi laba yang bisa dicapainya.
Potensi laba identik dengan potensi kenaikan dividen tunai dan oleh karenanya saham-saham diburu ketika sentimen ‘Asing masuk bursa’. Ketika permintaan akan saham-saham meningkat, harga saham kemudian akan meningkat. Dan kolektivitas harga-harga saham kemudian membentuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan demikianlah hubungan bagaimana Fed Fund Rate bisa berpengaruh terhadap IHSG.