Analisis Saham

Bedah Saham LPKR yang Sedang Berjalan Menuju Kehancuran

Sumber: USS Feed

Ajaib.co.id – Biasanya jika emiten menghasilkan pendapatan yang lebih besar maka laba yang diperoleh juga lebih besar, setidaknya kerugian bisa berkurang kalau pendapatan membesar. Namun semakin besar pendapatan emiten saham LPKR, makin besar pula kerugiannya. Rupanya ada sub-segmen yang selalu “lebih besar pasak daripada tiang”. Simak selengkapnya!

Momen ramadhan dan lebaran biasanya menjadi momentum emas bagi emiten perdagangan ritel karena terdapat penguatan dari sisi pengeluaran oleh masyarakat berkat pembagian Tunjangan Hari Raya oleh para perusahaan. Oleh karenanya emiten ritel yang memiliki mall dan hotel seperti LPKR biasanya panen di musim ramadhan.

Dan lagi emiten saham LPKR punya penghasilan dari segmen rumah sakit juga yang menopang kinerjanya selama pandemi COVID-19. Emiten raksasa yang menjadi induk dari ratusan perusahaan Grup Lippo ini memang cukup menarik perhatian.

Dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp 13,96 triliun, membandingkan dengan aset yang dimiliki, harganya semakin terlihat tak masuk akal. Namun ada yang janggal dari saham Grup Lippo ini. Tren sejak 2017 ialah pendapatan terus bertumbuh tapi bukannya laba, malah kerugian semakin besar. Ada apa kah? Mari kita bedah!

Profil Emiten

PT Lippo Karawaci Tbk awalnya bernama PT Tunggal Reksakencana didirikan oleh Mochtar Riady pada tahun 1990. Mulanya Mochtar Riady memulai kerajaan bisnisnya dari bisnis real estate di Tangerang tahun 1993.

Sejak saat itu beliau mengembang kawasan Urban Development dan Large Scale Integrated Development. Proyek di bawah grup emiten saham LPKR di antaranya adalah Kemang village, st Moritz, CiTo surabaya, Lippo Cikarang, San Diego Hilld, Tanjung Bunga. Yang teranyar adalah proyek Meikarta yang dibesut oleh anak usahanya yakni PT Lippo Cikarang Tbk yang juga sudah IPO dengan kode LPCK.

LPKR kemudian mengembangkan gurita bisnisnya untuk memperoleh pendapatan berulang dari jasa hotel, pusat perbelanjaan, rumah sakit dan lainnya. Kelihaian emiten dalam bertumbuh secara anorganik membuatnya piawai dalam bisnis Real Estate Investment Trust (REIT), yakni Hospital REIT dan Mall REIT (LMIRT).

Perlahan-lahan tampuk kekuasaan kini sudah turun hingga ke generasi ketiga. Kini emiten saham LPKR selaku induk Grup Lippo dipimpin oleh John Riady selaku cucu dari Mochtar Riady. Dengan jumlah saham beredar sebanyak 70.898.018.369 lembar di harga Rp 197 maka Kapitalisasi pasar LPKR adalah Rp 13,97 Triliun.

Adapun pemegang saham utama dari LPKR adalah PT Inti Anugerah Pratama (27.42%), Sierra Inc. (16.83%), PT Primantara Utama Sejahtera (10.4%), Masyarakat (45.09%). PT Inti Aguerah Pratama dikuasai oleh keluarga Riady.

Cakupan Usaha

PT Lippo Karawaci Tbk adalah induk dari Grup Lippo dengan fokus pada tiga segmen yakni Real  Estate Development, Real Estate Management & Services dan Fund Management. Berikut kompilasi pendapatan emiten saham PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR):

Sebagai informasi, informasi di atas adalah dalam jutaan rupiah. Jadi dari ketiga sumber pendapatan emiten saham LPKR, pendapatan berulang alias Real Estate Management and Services (REMS) memberikan kontribusi utama pada total pendapatan. Kenaikannya pun cukup baik, dari Rp 6,61 triliun di tahun 2017 menjadi Rp 8,14 triliun di 2018 dan naik ke Rp 9,22 triliun di tahun 2019.

Sedangkan pendapatan dari investasi/fund management dan pendapatan non-berulang/Real Estate Development (RED) nilainya semakin turun dari waktu ke waktu. Total pendapatan, ditopang oleh tren positif dari pendapatan berulang naik dari Rp 10,18 triliun di 2017 menjadi Rp 11,56 triliun di 2018 dan akhirnya menyentuh Rp 12 triliun lebih di 2019. Detil berdasarkan sumber pendapatannya telah dirangkum dalam grafik yang lebih mudah dipahami di bawah ini:

Jadi sumber pendapatan non-berulang/ Real Estate Development (RED)  alias penjualan putus LPKR bersumber dari usaha-usaha real estate atas pembangunan dan pengembangan township berupa industri dan perumahan komersial, pemakaman beserta sarana dan prasarananya dan juga food business, dan lainnya. Segmen usaha ini dinamakan dengan Real  Estate Development (RED).

Sebagaimana data yang ditampilkan dalam laporan keuangan yang dikompilasi dalam grafik di atas, segmen usaha RED menghasilkan rugi bersih yang rutin terjadi setiap tahunnya sejak 2017.

Jadi segmen RED terdiri dari sub-segmen Urban Development dan Large Scale Integrated Development. Nah, Urban Development ini biang keroknya! Sebagai informasi laba yang diperoleh dari sub-segmen Large Scale Integrated Development (LSID) nyatanya tidak banyak membantu, tidak bisa mengimbangi besarnya kerugian yang datang dari Urban Development.

Membedah laporan keuangan emiten saham LPKR dari tahun ke tahun kamu bisa lihat bahwa sub-segmen Urban Development selalu lebih besar pasar daripada tiang. Di tahun 2017 sub-segmen Urban Development menghasilkan sekitar dua triliun namun beban penjualan dan beban umum administrasi jika dijumlahkan nilainya 113,6% dari pendapatan alias lebih dari dua triliun rupiah.

Begitupun dengan di tahun 2018. Kamu jangan terkecoh dengan laba yang dihasilkan segmen ini di 2018 karena nyatanya keuntungan di tahun 2018 didapat dari Laba Pelepasan Entitas Anak sebesar Rp 2,42 triliun. Jadi segmen pendapatan non-berulang ini bisa laba di tahun 2018 karena menjual anak usaha. Sedangkan jika akun tersebut tidak ada maka di tahun 2018 segmen ini akan merugi Rp1,2 triliun.

Di tahun 2019 pun kejadian “lebih besar pasak daripada tiang” terjadi lagi namun sumbernya kini tak diketahui karena informasi sub-segmen telah dimasukkan ke dalam segmen RED secara umum. Namun ada kecurigaan bahwa sumber beban yang lebih besar daripada pemasukan masih sama yakni dari Urban Development. Hal ini karena sub-segmen LSID tidak menghasilkan cukup banyak laba yang dapat mengkompensasi kerugian dari Urban Development.

Mari kita lanjutkan!

Emiten juga memiliki pendapatan berulang/ Real Estate Management and Services (REMS)  yang didapatnya dari pembangunan dan pengelolaan  pusat belanja,  pelayanan  kesehatan, perhotelan  dan restoran, pengelolaan kota dan air, jasa rekreasi, jasa transportasi, dan jasa perbaikan.

Di bawah segmen ini terdapat RS Siloam yang telah mengoperasikan puluhan rumah sakit seluruh Indonesia dan Hotel Aryaduta. Segmen ini adalah sumber pendapatan berulang dari LPKR yang dinamakan dengan segmen Real Estate Management & Services (REMS).

Di sini emiten menunjukkan bahwa usahanya membuahkan laba, meski tipis setidaknya masih laba. Namun jika kita perhatikan ada yang salah dengan manajemen efisiensi bebannya LPKR. Di tahun 2017 dari Rp6,16 triliun yang dihasilkan oleh segmen REMS menghasilkan laba bersih sebesar Rp371 miliar, artinya marjin laba 5,61%.

Sedangkan di 2018 pendapatan berulang emiten adalah Rp8,14 triliun dengan laba bersih hanya Rp359 miliar atau marjin laba 4,42%. Dan di tahun berikutnya yakni 2019 emiten menghasilkan pendapatan berulang sebesar Rp9,22 triliun namun laba bersih makin kecil saja yakni Rp66,9 miliar atau setara dengan marjin laba 0,73%.

Tren penurunan pada marjin laba menunjukkan jelas ada yang salah dengan kemampuan emiten dalam efisiensi beban sehingga menyisakan laba yang semakin tipis saja. Pendapatan yang meningkat menunjukkan bahwa proses marketing berjalan baik, penjualan meningkat naik mengimbangi demand masyarakat.

Segmen lainnya adalah Fund Management alias investasi pengelolaan aset. Grup Lippo terkenal akan kelihaiannya dalam akuisisi dan investasi, kadang dengan cara tak sehat yang berujung perkara di pengadilan niaga. Bisnis pengelolaan asetnya terdiri dari First REIT, REIT Kesehatan, dan LMIR Trust, REIT yang terkait dengan ritel di Indonesia.

Segmen ini membukukan marjin laba yang sehat dengan nilai yang cukup gemuk. Sebagai informasi laba bersih per nilai pendapatan dari fund management (NPM) nilainya cukup besar. Di tahun 2017 NPM di segmen ini 28,98%, menjadi 41,95% di 2018 dan naik menjadi 60,37% di tahun 2019.

Sayangnya nilai perolehan segmen ini semakin kecil saja, di tahun 2017 segmen ini memperoleh Rp441,8 miliar, turun menjadi Rp213 miliar di tahun 2018 dan menjadi Rp 125,17 miliar di tahun 2019. Segmen ini tentu akan sangat menarik jika kinerjanya meningkat.

Review Laporan Keuangan Terakhir

(dalam jutaan Rp) Sep-20 Sep-19
Total Pendapatan 8.581.843 8.560.326
Rugi Bersih -2.340.487 -1.724.934
Ekuitas 31.237.572 35.128.412
Total Aset 60.085.262 56.810.832
Total Liabilitas 28.847.690 21.682.420

Dalam laporan keuangan terakhir yakni September 2020 terdapat informasi bahwa total pendapatan emiten meningkat jadi Rp8,58 triliun dari yang sebelumnya Rp8,56 triliun di periode yang sama di 2019. Tapi meski pendapatan meningkat, ruginya malah semakin besar.

Per kuartal III-2020 kerugian LPKR adalah Rp2,34 triliun sedangkan sebelumnya hanya merugi Rp1,7 triliun. Di sisi lain ekuitas turun menjadi Rp31,23 triliun, di Kuartal III-2019 nilainya adalah Rp35,12 triliun padahal dari segi aset meningkat. Per September 2020 total aset adalah sebesar Rp60 triliun sedangkan di periode yang sama tahun 2019 adalah Rp56,8 triliun.

Ekuitas menurun padahal aset meningkat, hal ini lantaran total utang yang meningkat jadi Rp28,84 triliun, sebelumnya hanya Rp 21,68 triliun. Mengapa mesti menambah utang kalau pendapatan meningkat? Mari kita lihat detilnya di bawah ini:

Data di atas disajikan dalam jutaan rupiah. Tahun 2020 adalah tahun yang unik bagi LPKR karena kalau biasanya emiten lain pendapatan non-berulang yang terdiri dari penjualan properti mengecil selama pandemi, pendapatan non-berulang LPKR malah naik.

Keanehan terjadi lagi, pendapatan non-berulang yang membesar namun bukannya menghasilkan laba tapi malah membuat kerugian semakin besar.

Per Kuartal III-2019 pendapatan dari segmen RED alias yang berulang adalah Rp1,73 triliun dengan rugi bersih sebesar Rp2,12 triliun. Di kuartal III-2020 naik pendapatan di segmen ini saja naik menjadi Rp2,46 triliun dan ruginya bertambah besar menjadi Rp2,36 triliun.

Aneh bukan? Pendapatan yang meningkat malah membuatnya merugi lebih dalam. Hal ini berarti ada kelebihan beban yang mesti dibayarkan. Sebagai informasi rincian laba-rugi sub-segmen telah dihentikan emiten sejak 2019 dan kini hanya diberikan informasi umum tentang total perolehan REMS, RED dan Fund Management.  

Penulis berasumsi kasar bahwa kasus “lebih besar pasak daripada tiang” alias lebih besar pengeluaran beban dibandingkan pemasukan pendapatan ini bersumber masih dari sub-segmen yang sama yakni Urban Development yang mana sudah lama punya penyakit “beban lebih besar dari perolehan pendapatan”.

Sedangkan Pendapatan Berulang yang terdiri dari perolehan hotel, mall dan rumah sakit milik LPKR angkanya mengecil namun tidak signifikan menjadi Rp6,14 triliun saja dari sebelumnya di Kuartal III-2019 sebesar Rp6,84 triliun.

Penyakit lama di segmen ini juga masih sama yakni efisiensi beban yang semakin jelek saja yang menyebabkan marjin laba makin ciut saja. Jika pendapatan hanya turun sedikit kenapa laba bersih turun sampai setengahnya dari Rp381 miliar menjadi Rp143,2 miliar saja.

Peroleh dari Fund Management juga mengecil namun marjin labanya tetap gemuk, sejauh ini hanya segmen ini saja yang pengelolaan efisiensi bebannya berjalan dengan baik. Sayangnya pendapatan yang datang dari segmen ini terus mengecil sejak 2017.

Review Kinerja

Kinerja laba-rugi telah ditampilkan dengan lebih baik pada Cakupan Usaha di atas. Kali ini kita akan bahas tentang utang emiten.

Utang emiten meski masih berada pada kisaran sehat, yaitu di bawah angka ekuitasnya namun secara nilai terus meningkat. Emiten jelas punya masalah dalam hal pengelolaan efisiensi bebannya, hal ini membuatnya melakukan beberapa kali penjualan anak usaha sejak 2010 dan melakukan penerbitan obligasi, right issue dan aksi-aksi lainnya untuk menunjang operasionalnya.

Jika tidak ada perubahan, khususnya pada sub segmen Urban Development maka kita tidak bisa berharap banyak pada masa depan emiten LPKR karena cepat atau lambat akan berakhir pada likuidasi aset yang lebih banyak lagi, utang yang lebih menumpuk dan tidak menutup kemungkinan akan benar-benar bangkrut.

Dividen

Tanggal Dividen
Jun 22, 2018 2,14
Apr 03, 2017 1,53
Apr 04, 2016 2,77
Jun 22, 2015 13,23
Dec 03, 2014 11,15
Dec 02, 2013 9,4
Aug 28, 2012 6,18
Oct 06, 2011 3,43
Nov 12, 2010 2,17
Dec 05, 2007 1,39
Dec 04, 2006 3,014

Emiten cukup rutin membagikan dividen tapi itu dulu, hanya sampai tahun 2018 saja. Sejak tahun 2019 emiten sudah tidak membagikan dividen lagi.

Prospek

Sejak COVID-19 diumumkan sebagai pandemi emiten mengalami kesulitan dalam hal beroperasi khususnya mall, hotel dan lainnya karena adanya pembatasan jam operasional yang tunduk pada protokol kesehatan. LPKR cukup diuntungkan dengan adanya peningkatan pendapatan RS Siloam sepanjang pandemi sehingga Pendapatan Berulangnya di segmen REMS hanya turun sedikit saja.

Di tahun 2021 vaksinal masal menjadi harapan karena membukakan peluang kembali beroperasinya mall dan hotel seperti sedia kala. Ditambah lagi dengan masih rendahnya suku bunga dan bantuan pemerintah untuk mendorong masyarakat mengambil kredit perumahan, tentu hal ini akan mem-boosting pendapatan non-berulang milik LPKR.

Kesimpulan

Boleh disimpulkan bahwa kinerja LPKR sedang berada dalam tren turun yang mengkhawatirkan. Kinerja dari Pendapatan Non-Berulang segmen Real Estate Development (RED) yang terdiri dari penjualan dan pengembangan sektor properti selalu “Lebih besar pasak daripada tiang” dan biang keroknya berasal dari sub-segmen Urban Development.

Jadi kendati pendapatan semakin besar dari segmen ini tapi beban yang dihasilkan selalu lebih besar lagi dan hal ini terus terulang setiap tahunnya, itu yang terlihat sejak 2017.

Di tahun 2018 segmen RED ini membukukan laba, itupun berkat Laba Penjualan Entitas Anak, kalau tidak ada itu maka kerugian emiten di 2018 dari segmen RED adalah Rp1,2 triliun.

Pengungkapan detil pendapatan sub-segmen telah ditutup oleh emiten sejak 2019, sehingga kini tidak diketahui apakah Urban Development masih jadi sumber masalah dalam segmen usaha Pendapatan Non-Berulang milik LPKR.

Tapi melihat fakta “makin besar pendapatan makin besar ruginya” membuat kita deja vu pada apa yang terjadi sebelum-sebelumnya dan menguatkan asumsi bahwa Urban Development masih jadi biang kerok kerugian di segmen RED.

Kinerja dari segmen usaha Non-Berulang alias segmen RED telah berhasil menyeret seluruh kinerja emiten. Hal itu karena segmen lainnya yakni REMS dan Fund Management hanya menghasilkan sedikit saja, tak mengkompensasi kerugian segmen RED.

Dari pendapatan segmen REMS alias yang berulang sebesar Rp6 triliun di tahun 2017, hanya menghasilkan laba bersih Rp371 miliar saja. Artinya marjin laba 5% saja. Di tahun-tahun setelah 2017 pendapatan Berulang LPKR semakin besar hingga mencapai Rp9,22 triliun namun laba bersih malah makin kecil saja yakni Rp66,9 miliar atau setara dengan marjin laba 0,73%. Segmen ini sudah marjinnya tipis, semakin mengecil pula.

Padahal segmen REMS/pendapatan berulang adalah harapan emiten. Sejak 2010 emiten mengupayakan agar pendapatan yang didapat dari segmen ini bisa terus membesar. Pendapatan berulang LPKR memang membesar sih, tapi kok marjin labanya semakin kecil. Hal ini menandakan ada yang tidak beres dengan efisiensi beban sehingga marjin laba kian tergerus. 

Segmen Fund Management juga punya cerita. Pendapatan dari segmen ini kecil, hanya beberapa ratus miliar saja. Kalah besar jika dibandingkan dengan segmen RED dan REMS yang nilainya triliunan.

Yang menarik segmen ini marjin labanya tebal, bahkan kian tebal hingga lebih dari 50%. Sayang perolehan dari segmen ini kian mengecil dari tahun ke tahun.

Jadi emiten mengalami banyak masalah mulai dari “Lebih Besar Pasak Daripada Tiang” di segmen Real Estate Development (RED) atau yang dalam artikel ini disebut dengan Pendapatan Non-Berulang. Sampai penciutan marjin laba di segmen Real Estate Management and Services (REMS) yang terus terjadi, hingga penurunan pendapatan yang terus terjadi di segmen Fund Management.

Tren turun dalam kinerja berpotensi menyebabkan emiten mesti jungkir balik mencari pendanaan, menjual aset dan menjual anak usaha dan tidak menutup kemungkinan akan menuntun kepada kebangkrutan suatu hari ini.

Selama emiten tidak melakukan perubahan pada Urban Development-nya, dan pada kacaunya efisiensi beban di REMS dan pendapatan terus melemah di segmen Fund Management maka emiten sedang berjalan pelan tapi pasti menuju jurang kehancuran.

Disclaimer: Tulisan ini berdasarkan riset dan opini pribadi. Bukan rekomendasi investasi dari Ajaib. Setiap keputusan investasi dan trading merupakan tanggung jawab masing-masing individu yang membuat keputusan tersebut. Harap berinvestasi sesuai profil risiko pribadi

Artikel Terkait