Ajaib.co.id – Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, kota semakin menjorok ke laut. Sejumlah rencana sedang dilakukan untuk membangun pulau-pulau besar buatan atau pulau reklamasi di wilayah pesisir, yang tentunya membutuhkan pengerukan dan pembuangan jutaan ton material.
Apa implikasinya bagi kehidupan laut dan ekosistem ketika kita terus membangun pulau buatan di lautan, seperti halnya kasus reklamasi Teluk Benoa dan reklamasi Teluk Jakarta? Mengapa banyak yang tidak setuju?
Semakin ke sini, semakin banyak kota yang terus mengarah ke laut. Membangun pulau reklamasi adalah adalah bisnis besar saat ini, dan banyak negara memutuskan untuk mengambil kembali tanah dari laut untuk memperluas garis pantai dan wilayah mereka.
Misalnya, hampir setiap provinsi pesisir di China memiliki proyek yang sedang berlangsung untuk membangun garis pantai, baik membuang tanah dari daratan, mengeruknya dari jauh ke laut, atau dengan memblokir muara sungai dan membiarkan lumpur mengendap.
Contoh lain adalah negara pulau, Singapura telah menambah 22% ukurannya selama 50 tahun terakhir dengan membangun perairan di sekitarnya menggunakan pasir, tanah, dan batu yang digali dan dibeli di tempat lain. Semangat mereka untuk membuat pulau reklamasi sedemikian rupa sehingga mereka disebut-sebut sebagai negara pengimpor pasir terbesar di dunia.
Namun dari semua negara yang membangun pulau buatan, Dubai lah juaranya. Negara Timur Tengah ini merupakan area reklamasi paling terkenal.
Kepulauan Palm Jumeirah yang secara visual begitu spektakuler merupakan pulau buatan secara keseluruhan, rumah bagi orang-orang kaya raya. Pulau tersebut dibangun dari sekitar 110 juta meter kubik pasir kerukan.
Selain Dubai, sebagai salah satu negara dengan populasi terdapat di Bumi, dataran rendah Belanda telah lama terdorong untuk mengambil kembali area pesisirnya untuk menampung lonjakan populasi yang terus bertambah.
Apa Efek Buruknya?
Apapun isunya, akan selalu ada pro dan kontra. Di satu sisi, mungkin reklamasi daratan adalah solusi alternatif yang tepat dan ekonomis untuk membangun properti, lalu menampung populasi manusia yang membludak, tapi di sisi lain ada dampak buruk yang telah menunggu di masa depan. Untuk ekosistem laut, tentunya.
Emma Johnston dari University of South Wales speakers di World-Changing Ideas Summit BBC Future berpendapat bahwa kita harus berpikir lebih banyak tentang dampak “urban sprawl”. Bahkan konstruksi pantai yang lebih kecil dapat mengubah kondisi laut.
Beberapa peneliti dari University of South Wales memperkirakan bahwa beberapa muara di Australia, Amerika, dan Eropa telah lebih dari 50% garis pantai alami dimodifikasi dengan struktur buatan.
Dalam artikel The Conversation, Emma Johnston mengatakan urban sprawl bukan lagi masalah tentang lahan. Perkembangan pulau reklamasi yang mengambil area lautan, menciptakan struktur kusut di bawah permukaan air.
Hal ini menyebabkan mimpi buruk bagi organisme laut dan habitatnya, merusak terumbu karang yang menyuburkan perikanan dan melindungi garis pantai dari dampak ombak yang keras, serta merusak banyak ekosistem pesisir yang berharga seperti dataran garam dan hutan bakau.
Membangun di atas sedimen hasil kerukan juga memiliki risiko bagi penghuni di masa yang akan datang, karena pada dasarnya struktur pulau buatan ini tidak sestabil batuan dasar di darat. Ada sejumlah laporan bahwa Kepulauan Juan Jumeirah Dubai benar-benar tenggelam.
Selain itu, lahan reklamasi juga berisiko di daerah rawan gempa. Guncangan yang berkepanjangan dapat memicu proses yang disebut likuifaksi, di mana sedimen padat di daerah reklamasi dapat mencair. Ini adalah kontributor signifikan pada kehancuran gempa bumi besar San Fransisco tahun 1906.
Apakah Ada Permainan Politik?
Mengingat bahwa reklamasi berada di antara ujung garis antara bumi dan laut, sengketa kedaulatan membuat semuanya menjadi lebih rumit. Misalnya, upaya China untuk membangun pulau karang menggunakan pasir, dan merebut kembali lebih dari 3.200 hektar tanah di Tenggara Laut China Selatan menjadi kontroversial, paling tidak banyak dari pulau-pulau baru di area tersebut menjadi tempat fasilitas militer.
Meskipun China telah mengklaim kedaulatan atas pulau-pulau baru ini, banyak negara termasuk Indonesia, Amerika Serikat, dan Australia tidak mengakui hal tersebut. Pada bulan Juli 2015, Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda, memutuskan bahwa China tidak memiliki klaim atas wilayah tersebut, tapi percekcokan terus berlanjut dan tidak ada tanda-tanda kesepakatan di depan mata.
Kenapa Kita Tidak Membangun Struktur Terapung di Permukaan?
Bukan tidak mungkin, desa terapung sudah ada sejak lama. Di Kamboja, penduduk danau air tawar Tonie Sap tinggal di rumah terapung, begitupun dengan desa terapung di Wakatobi, penduduknya hidup di area terapung dan mengandalkan perikanan sebagai mata pencaharian utama.
Selain itu, masyarakat Uros di Danau Perus Titicaca hidup di pulau-pulau terapung yang terbuat dari alang-alang. Di seluruh dunia, arsitek membangun rumah terapung yang lebih modern, terutama di negara-negara seperti Belanda yang rentan terhadap banjir.
Kota terapung berteknologi tinggi atau habitat berskala besar belum benar-benar menjadi kenyataan, tetapi itu tidak menghentikan organisasi seperti Seasteading Institute dari menentang desainer untuk menghasilkan visi mereka tentang kota terapung futuristik.
Niat mereka tidak hanya untuk menciptakan komunitas baru yang berkelanjutan, tetapi juga untuk menyediakan lingkungan rumah panas bagi ‘kota-kota baru’, yang membawa mentalitas permulaan dalam perkembangan perkotaan.
Apapun alasannya menciptakan pulau reklamasi, pemerintah sebuah negara harus memperhatikan efek domino yang bisa mempengaruhi lautan dan ekosistem bawah laut di masa depan.