Obligasi

Obligasi Global dan Prospek Arus Masuk Dana Asing 2021

Ajaib.co.id – Pada awal tahun 2021 ini pemerintah merilis obligasi global atau global bond dengan denominasi dolar AS dan Euro. Sebagaimana diungkap dalam keterangan resmi DJPPR ( itjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko) Kementerian Keuangan, tujuan penerbitan obligasi global kali ini akan digunakan untuk memenuhi pembiayaan APBN secara umum, termasuk untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19 dan penguatan reformasi struktural.

Penjelasan Singkat Tentang Obligasi dan Yield

Jika kamu belum tahu, obligasi adalah surat utang yang diterbitkan untuk mendapatkan pendanaan tambahan. Oleh karenanya posisi para pembeli obligasi adalah sebagai pemberi utang. Penerbit obligasi kemudian diwajibkan membayar pokok pinjaman beserta bunga tahunan yang sudah disetujui kepada para kreditur/investor obligasi.

Bunga tahunan dari jumlah yang diinvestasikan akan dibayarkan secara berkala kepada para kreditur. Kupon adalah istilah untuk bunga tahunan yang dibayarkan kepada kamu secara berkala. Kupon bisa dibagikan sekali atau dua kali dalam setahun hingga tenor/masa investasi berakhir. Di akhir kontrak pokok pinjaman akan dikembalikan seluruhnya.

Ada empat seri obligasi global yang diterbitkan pemerintah Indonesia dalam dolar AS dan Euro. Total dana yang dicari dari obligasi global adalah senilai Rp60 triliun. Untuk obligasi global tenor 10 tahun, yield-nya adalah sebesar 1,9%.

Sebagai informasi Yield obligasi adalah persentase perbandingan besar kupon yang kamu dapat dengan nilai obligasinya saat ini. Yield obligasi juga dikenal sebagai tingkat kupon atau imbal hasil obligasi.

Misalnya kamu membeli obligasi sebesar Rp200 juta dengan pembayaran kupon sebesar Rp20 juta per tahun dan akan jatuh tempo selama sepuluh tahun.  Dengan begitu yield obligasimu adalah:

Rp20.000.000/ Rp200.000.000 X 100% = 10%

Prospek Obligasi Global Republik Indonesia

Pandemi virus Corona telah memaksa bank sentral di banyak di banyak negara seluruh dunia, termasuk Indonesia, untuk menurunkan suku bunganya.

Hal ini benar-benar  dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah Indonesia dengan menerbitkan obligasi global dengan format SEC-Registered Shelf Take-Down. Obligasi global yang diterbitkan disesuaikan kupon-nya sehingga negara bisa memperoleh pinjaman dengan beban biaya yang rendah.

Berikut profil obligasi global milik pemerintah Indonesia yang dikutip dari Bisnis Indonesia.

Pemerintah menyebut bahwa sejauh ini tingkat yield yang didapatkan merupakan yang terendah sepanjang penerbitan global bond. Namun masih lebih baik dengan acuannya yaitu US Treasury Bond/obligasi federal Amerika Serikat.

US Treasury Bond

Name                                                    Coupon                                Yield

GT2:GOV             2 Year                    0.13                        0.14%

GT5:GOV             5 Year                    0.38                        0.46%

GT10:GOV           10 Year                 0.88                        1.10%

GT30:GOV           30 Year                 N/A                        1.85%

Meski tingkat yield /imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun telah naik menyentuh 1,1 persen akan tetapi Global Bond Indonesia tetap lebih menarik karena untuk Indonesia menawarkan 1,9% untuk obligasi global tenor 10 tahun. Terlebih lagi  untuk yang tenor 30 tahun, jelas Global Bond Indonesia lebih menarik dengan yield 3,1% sementara US Treasury bond hanya 1,85% saja.

Kemenarikan Global Bond Indonesia bukan hanya terletak dari besarnya yield saja. Jikalau mau diperingkat maka negara lain seperti Argentina jelas menawarkan global bond dengan yield lebih tinggi. Tentunya dengan risiko gagal bayar yang lebih besar juga. 

Namun ada hal-hal lain seperti keamanan berinvestasi, rasio kesehatan keuangan negara dan lain sebagainya yang berpotensi mengundang lebih banyak dana asing masuk ke Indonesia melalui global bond:

Prospek Masuk Dana Asing

Ada kecenderungan dana asing mengalir masuk melalui surat berharga negara dikarenakan faktor-faktor berikut ini:

  • Peringkat utang yang bagus

Kemampuan membayar utang juga dapat tercermin berdasarkan peringkat obligasi yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat seperti Moody’s, Standar & Poor’s dan Fitch Ratings.Untuk obligasi yang diterbitkan secara lokal maka Pefindo yang bertugas sebagai lembaga pemeringkat utang lokal yang akan memberi peringkat obligasi.

Keempat seri SUN yang diterbitkan pada transaksi obligasi global kali ini sudah memperoleh peringkat utang Baa2 dari Moody’s, BBB dari Standard & Poor’s, dan BBB dari Fitch serta akan dicatatkan pada Singapore Stock Exchange dan Frankfurt Stock Exchange.

Peringkat Baa2 diberikan atas dasar kebijakan makro negara Indonesia yang berorientasi pada ketahanan terhadap guncangan. Peringkat tersebut didukung defisit fiskal yang tergolong kecil dan rasio utang pemerintah yang rendah. Skala ekonomi dan pertumbuhan yang sehat serta stabil juga mendukung prospek kredit Indonesia.  

  • Rasio kesehatan keuangan negara

Rasio kesehatan keuangan negara menjadi indikator seberapa jauh Indonesia gagal bayar obligasi negaranya. Rasio Debt to GDP atau utang berbanding dengan produk domestik bruto kita berada pada 38,13 persen dan akan meningkat di akhir tahun 2021 mengingat kita masih terus mencari pendanaan berupa utang.

Melalui Undang-Undang  Keuangan Negara, rasio utang telah ditentukan dibatasi maksimal sebesar 60 persen dari GDP. 

Dari sisi kesehatan, Indonesia jauh lebih aman bahkan jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki rasio Debt to GDP mencapai 136 persen di akhir kuartal II-2020. Dengan demikian Indonesia memiliki peluang yang cukup besar untuk menarik minat investor. Paling dari sisi peringkat saja mereka lebih unggul daripada Indonesia.

  • Rekam jejak penerbitan SBN Indonesia yang baik

DJPPR mengungkap bahwa Indonesia berhasil mendapatkan order book yang rendah dan berkualitas sehingga yield yang harus dibayarkan cukup rendah namun masih lebih baik dari acuannya. Yaitu 1,9% untuk tenor 10 tahun; 3,1% untuk tenor 30 tahun dan 3,4% untuk tenor 50 tahun. Hal ini dikarenakan profil kredit Indonesia sangat baik di mata investor.

Sangat baik dalam hal kepatuhan membayar. Yang harus diapresiasi adalah bahwa sejak Indonesia berdiri, pemerintah tidak pernah mangkir dari pembayaran obligasi,  atau bahkan mengalami gagal bayar,  baik obligasi yang dirilis secara lokal maupun global.

  • Faktor eksternal

Bhima Yudhistira, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), melihat propek masuknya arus modal asing berkat stimulus di Amerika Serikat (AS) dan progres vaksin yang semakin positif.

Dalam rangka pemulihan nasional Amerika Serikat (AS) mengeluarkan paket stimulus dengan total USD 1,9 triliun. Paket stimulus tersebut adalah bansos tunai, peningkatan upah minim, akselerasi produksi vaksin dan untuk menutup defisit anggaran federal.

Penolakan besar-besaran terjadi atas stimulus yang dikeluarkan Joe Biden, banyak yang menilai bahwa stimulus yang didanai dari utang akan memicu kenaikan beban utang. Aksi jual obligasi AS telah membuat sebagian investor mengurangi kepemilikan surat utang dari Amerika dan beralih masuk ke aset-aset berisiko di emerging market seperti Indonesia.

  • Pemanfaatan momentum yang tepat

DJPPR menyebutkan bahwa penerbitan global bond kali ini memanfaatkan peluang di awal tahun ketika investor umumnya memiliki lebih banyak dana yang akan diinvestasikan di awal tahun. Juga sentimen positif di pasar keuangan sebagai respon atas perkembangan vaksin COVID-19 akan dimanfaatkan untuk menarik minat pembelian global bond.

DJPPR Kementerian Keuangan RI mencatat jual bersih sepanjang tahun 2020 yang dilakukan investor asing pada surat utang negara adalah sebesar Rp88,9 triliun. Hal ini dikarenakan adalanya pelebaran defisit anggaran mencapai 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto.

Tercatat, porsi kepemilikan asing atas surat utang negara per akhir 2020 hanya sekitar 30 persen, sebelumnya di tahun 2019 porsi dana asing di obligasi mencapai sekitar 45 persen.

Namun sejak November 2020 dana asing mulai kembali mengalir masuk ke pasar keuangan domestik. Menyambut masuknya dana asing, pemerintah menggelontorkan paket obligasi global untuk memenuhi minat asing. 

Global Bond Besutan Korporat Domestik

Tak mau ketinggalan beberapa perusahaan, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), baik yang sudah listing di bursa maupun belum kompak menerbitkan surat utang global mengikuti langkah pemerintah. Hal ini dilakukan atas datangnya kebutuhan dana segar yang diakibatkan seretnya pendapatan yang dihasilkan akibat pandemi COVID-19.

Perusahaan-perusahaan ini memanfaatkan momentum biaya pinjaman yang lebih murah dengan menerbitkan obligasi dengan kupon yang lebih rendah. Meski kupon obligasi yang ditawarkan lebih rendah dari biasanya namun kebanyakan suku bunga global saat ini jauh lebih rendah lagi.

Ditambah lagi dengan rating yang berhasil dipertahankan dengan baik akan membuat obligasi global yang dikeluarkan perusahaan dalam negeri terlihat menarik dari sisi investor.

Perusahaan-perusahaan yang akan menerbitkan obligasi global di antaranya; PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang akan merilis obligasi hingga US$2 miliar, PT Barito Pacific Tbk. (BRPT) melalui anak usahanya senilai US$1,11 miliar dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) senilai US$700 juta.

Lalu ada PT Surya Esa Perkasa Tbk. (ESSA) akan menerbitkan US$650 juta dan PT Indika Energy Tbk. (INDY) yang akan menerbitkan obligasi senilai US$450 juta melalui anak usahanya. Holding BUMN pertambangan negara pun tak mau ketinggalan. PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero)/Inalum atau MIND ID menerbitkan obligasi global senilai US$ 2,5 miliar.

Mandiri juga melakukan penerbitan surat utang jangka menengah dalam Euro atau Euro Medium Term Notes (EMTN)  senilai  US$ 500 juta atau setara dengan Rp 7,5 triliun dengan yield sebesar 4,75% per tahun dengan tenor 5 tahun. Dengan skema yang sama Hutama Karya juga menerbitkan surat utang global senilai US$ 600 juta atau Rp 9 triliun dengan kupon 3,75% per tahun.

Catatan untuk Global Bond Indonesia

Moody’s sebagai lembaga pemeringkat yang memberi peringkat obligasi global Indonesia kali ini memberikan catatan bahwa Indonesia setelah ekonominya terpukul oleh virus corona berpotensi kehilangan pendapatan yang cukup signifikan.

Meski defisit anggaran Indonesia rendah, ketergantungan terhadap utang luar negeri dapat menjadi beban di kemudian hari. Dan lagi dana investasi asing yang cukup besar membuat Indonesia rentan terhadap arus keluar-masuk modal asing.

Risiko lain datang dari defisit anggaran yang melebar ingga 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto diiringi kenaikan beban pembayaran utang dan upaya pemerintah untuk menurunkan defisit.

Diharapkan dana yang didapat dari global bond benar-benar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi positif pada 2021. Aliran dana asing yang masuk tentu akan menstabilkan nilai tukar rupiah.

Prospek Keberhasilan Global Bond

Sejauh ini global bond yang dikeluarkan perusahaan-perusahaan dalam negeri mencetak kesuksesan. Misalnya MIND ID alias Inalum yang merupakan holding pertambangan Indonesia sukses berat dalam menerbitkan obligasi global.

Semula hanya menargetkan pendanaan senilai US$ 2,5 miliar, namun ternyata terjadi kelebihan permintaan dari investor sebanyak 6,4 kali dari jumlah yang dicari. Sebelumnya juga PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) dan PT Hutama Karya (Persero) sukses menerbitkan surat utang global berdenominasi dolar AS. Mandiri tercatat mendapat dana yang dicarinya. Hutama Karya sendiri mencatat kelebihan permintaan hingga enam kali dari nilai yang diterbitkan.

Junior global bond terbitan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) juga sukses dengan kelebihan permintaan hingga 12,3 kali dari dana yang dicari. Tingginya minat pembelian surat utang BBTN adalah karena pasar optimis dengan outlook industri perumahan dalam negeri. Pahala N. Mansury selaku Direktur Utama BTN menyatakan kesuksesannya dalam mencari pendanaan dalam mata uang asing adalah karena kualitas perusahaan yang dipimpinnya.

Suku bunga acuan yang diturunkan oleh bank sentral negara-negara di seluruh dunia belum menunjukkan tanda-tanda akan dinaikkan. Dengan begitu peluang untuk obligasi Indonesia bisa tetap ramai peminat terbuka lebar.

Sejauh ini Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa neraca dagang Indonesia sudah mencetak surplus dalam 8 bulan beruntun hingga Desember 2020. Tercatat sepanjang tahun 2020 surplus neraca dagang adalah sebesar US$ 21,74 miliar. Ini adalah angka tertinggi sejak tahun 2011 lalu. Dikatakan surplus adalah apabila angka ekspor lebih besar dari nilai impor yang kita lakukan.

Dengan penguatan ekonomi yang sudah mulai nampak maka prospek dana asing yang masuk ke Indonesia akan cukup baik. Terlihat dari animo pasar terhadap global bond yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan baik yang sudah listing maupun belum. Diharapkan global bond terbitan pemerintah juga akan sukses dan dana yang didapat bisa digunakan sebaik mungkin untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang positif.

Artikel Terkait