Ajaib.co.id – Perang dagang antara AS-China membuat pertumbuhan ekonomi global melambat. Meski demikian industri keuangan Indonesia dipercaya masih kuat dan tetap bertumbuh positif
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Rapat Dewan Komisioner (RDK) menilai bahwa stabilitas di bidang jasa keuangan pada akhir November 2019 masih dalam situasi yang terjaga. Sektor jasa keuangan terus tumbuh positif dan terpantau secara terkendali di tengah lesunya perekonomian Indonesia dan global. Sentimen utama yang mewarnai perlambatan perkembangan ekonomi global tak lepas dari adanya perang dagang dan brexit.
Efek Kebijakan Dovish
Di sisi lain kebijakan dovish yang dilakukan oleh bank sentral di negara-negara maju juga memberi pengaruh positif terhadap likuiditas global, termasuk industri keuangan Indonesia. Tercatat bulan Oktober 2019 lalu, Surat Berhaga Negara (SBN) mengalami kenaikan mencapai 25 basis poin yang diikuti dengan masuknya dana investor non-residen sebesar Rp 29,1 triliun.
Maka dari itu, hingga 22 November 2019 kemarin, secara year to date (YtD) aliran dana investor non-residen ke pasar SBN sudah mencapai angka Rp 175,6 triliun, disertai peningkatan yield sebesar 98,5 bps. Bisa dibilang, industri keuangan Indonesia masih bisa bernafas.
Sementara itu, hingga akhir Oktober 2019, pasar saham tumbuh sebesar 1% mtm menjadi 6.228,3 yang ditopang oleh Investor domestik. Kemudian investor non-residen mencatatkan perolehan net sell yang mencapai Rp 3,8 triliun.
Akan tetapi, menguatnya sentimen pasar global pada akhir November 2019 membuat IHSG turun tipis ke level 6.100,2 dengan net buy oleh investor non-residen mencapai Rp 43,9 triliun YtD.
Intermediasi Lembaga Jasa Keuangan
Meskipun diterjang perang dagang, kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan berdasarkan data bulan Oktober 2019 secara umum masih berjalan searah dengan perkembangan di perekonomian Indonesia. Kredit perbankan juga catatkan peningkatan positif sebesar 6,53% YoY. Hal ini ditopang dari kredit investasi yang masih tumbuh dua digit di angka 11,2% YoY.
Tidak hanya itu, dilihat dari dari segi penghimpunan dana tercatat Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan menguat sebesar 6,29% YoY. Kemudian selama Januari hingga Oktober 2019, asuransi jiwa beserta asuransi umum/reasuransi telah berhasil menghimpun dana premi yang masing-masing mencapai Rp 152,4 triliun dan Rp 82,2 triliun.
Selain itu, sampai pada tanggal 26 November 2019-11-29 lalu, penghimpunan dana yang dilakukan melalui pasar modal terkumpul sebesar Rp 155 triliun, sama seperti di tahun 2018. Di periode tersebut terdapat jumlah emiten baru sebanyak 48 perusahaan dengan pipeline sebanyak. Sementara indikasi penawaran total mencapai Rp 22,8 triliun.
Profil risiko di bulan Oktober pun masih terkendali di tengah peningkatan intermediasi lembaga jasa keuangan. Kemudian rasio NPL terpantau menguat tipis di level 2,73% (dengan NPL net: 1,21%). Akan tetapi angka tersebut masih jauh di bawah thresold.
Rasio NPF Menurun
Tak seperti rasio NPL, rasio NPF justru alami penurunan sejak bulan sebelumnya sebesar 1,25% (dengan NPF net sebesar 0,44%). Sedangkan untuk resiko nilai tukar perbankan ada di level rendah. Di mana rasio Posisi Devisa Neto (PDN) mencapai 1,52% dan masih jauh dari ambang batas yang ditentukan.
Pihak OJK akan terus memantau perkembangan dari ekonomi global dan berusaha untuk memitigasi dampak dari situasi unfavourable terhadap kinerja jasa keuangan. Begitu juga mengenai profil resiko kredit dan resiko likuiditas sektor jasa keuangan. OJK juga akan berkoordinasi dengan stakeholder untuk menjaga kontribusi sektor jasa keuangan dan stabilitas sistem keuangan.
Perang Dagang Terus Berlanjut
Perang dagang antara AS dan China memberi dampak yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi dunia, tak terkecuali Indonesia. Bahkan IMF sendiri sudah menyatakan pertumbuhan ekonomi global diprediksi merosot 0,8% di tahun 2020. Angka tersebut bisa setara dengan perekonomian Swiss.
Padahal perang dagang ini sudah berlangsung lebih dari 18 bulan dan diyakini masih akan berlanjut. Meskipun kedua negara berupaya melakukan negosiasi. Entah sampai kapan akan berakhir, namun para pejabat dan anggota parlemen dari kedua negara terlihat mengisyaratkan jika hubungan dagang Amerika Serikat dengan China semakin menjadi tidak jelas.
Makin Memanas
Terlebih Presiden Donald Trump telah menandatangani Undang-Undang penegakan hak asasi manusia di Hong Kong. Ini merupakan usulan dari Kongres semakin memicu bola panas diantara kedua negara tersebut.
Tak terima dengan hal tersebut, China membalas serangan dengan menerapkan larangan masuk ke wilayahnya. Ini diberlakukan kepada orang-orang yang terlibat di dalam penyusunan undang-undang tersebut. Melihat semakin memanasnya kedua penguasa ekonomi dunia itu membuat banyak pihak yakin tidak akan ada ‘fase kedua’. Terkhusus untuk perjanjian damai perang dagang.
Jangan tahap kedua bisa terjadi, fase satu saja masih belum terselesaikan dengan baik. Apalagi ditambah dengan adanya UU pelanggaran Ham dan Demokrasi Hong Kong.
Seperti diketahui dalam trade war AS dan China, keduanya saling menetapkan harga barang satu sama lain sampai ratusan miliar dolar USD. Tentu harga tersebut tidak hanya merugikan AS dan China, tetapi juga memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia.
Selain itu, perang dagang diantara kedua negara tersebut juga berpengaruh terhadap pergerakan pasar saham. Oleh karena itu para pelaku pasar sangat berhati-hati untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam hubungan dagang Amerika dan China.
Investor Asia Khawatir
Selain menimbulkan kekhawatiran di dalam negeri, para investor luar terutama Asia pun dibuat khawatir. Faktornya tak lain karena langkah Donald Trump dan serangan balik yang dilakukan China, sehingga diyakini jadi penghambat dalam penyelesaian kesepakatan dagang AS-China di akhir tahun ini. Bahkan situasi antara kedua negara itu bisa semakin memburuk. Terlebih perang dagang yang terjadi akan mengarah pada penurunan harga-harga di pasar saham.
Update: Perlambatan Ekonomi Akibat Wabah Virus Corona (Covid-19)
Berdasarkan informasi yang dikutip dari Katadata.co.id, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memproyeksikan pertumbuhan perekonomian Indonesia hanya mencapai 4,5%. Hal ini dikarenakan, pandemi virus corona menyebabkan kepanikan yang berkepanjangan. Menurut Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani, jika dalam beberapa bulan ke depan kepanikan yang terjadi membuat daya beli masyarakat lesu, maka dapat dipastikan target pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan sebelumnya tidak tercapai. Apalagi sebentar lagi bulan Ramadan dan Idulfitri datang.
Bukan hanya perekonomian Indonesia, dampak wabah virus corona juga memengaruhi perekonomian di luar negeri, salah satunya sektor industri manufaktur yang menjadi industri pada karya.
Bacaan menarik lainnya:
Sadono Sukirno. (2012). Makroekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta: Rajawali Pers
Ajaib merupakan aplikasi investasi reksa dana online yang telah mendapat izin dari OJK, dan didukung oleh SoftBank. Investasi reksa dana bisa memiliki tingkat pengembalian hingga berkali-kali lipat dibanding dengan tabungan bank, dan merupakan instrumen investasi yang tepat bagi pemula. Bebas setor-tarik kapan saja, Ajaib memungkinkan penggunanya untuk berinvestasi sesuai dengan tujuan finansial mereka. Download Ajaib sekarang.