Analisis Saham

Menilik Saham CSMI: Melejit Meski Kinerja Belum Menjanjikan

Sumber: Texas Indonesia

Ajaib.co.id – Sektor konsumsi memang selalu menarik, pasalnya semua orang memerlukan bahan pokok sebagai penunjang kehidupan. Oleh karenanya sebagian besar emiten barang konsumsi biasanya cocok untuk investasi jangka panjang. Per April 2020 sektor konsumsi kedatangan emiten baru penghuni papan pengembangan bursa yakni PT Cipta Selera Murni Tbk dengan kode saham CSMI. 

CSMI mengoperasikan waralaba restoran ayam krispi dengan merek Texas Chicken yang sudah berdiri sejak tahun 1983 di tanah air. Saham restoran yang satu ini menarik sekali dilihat dari pergerakan harganya. Sejak April 2020 hingga kini Agustus 2021, saham CSMI telah naik 1681% dari Rp197 menjadi Rp3510 per lembar.

Kenaikan saham CSMI menjadi menarik karena seperti yang kita ketahui bahwa sepanjang 2020 semua restoran tidak dapat beroperasi penuh dikarenakan pandemi COVID-19. Dan restoran waralaba seperti Texas Chicken biasanya menderita paling parah karena rata-rata di hari-hari biasa saja sulit melakukan efisiensi beban, dan ketika pandemi melanda beberapa gerai mesti ditutup dan sebagian karyawan mesti dirumahkan.

Ketika itu semua terjadi, saham CSMI malah melejit dan belum terkoreksi, tak tanggung-tanggung CSMI melesat naik 1681% dalam waktu satu tahun empat bulan saja.

Tapi bursa saham adalah tempat di mana prospek masa depan diperjual-belikan. Ketika performa masa kini belum baik namun jika publik melihat emiten memiliki sentimen atau prospek yang baik maka bukan tak mungkin sahamnya naik. Berikut pembahasan saham CSMI. 

Profil Emiten

PT Cipta Selera Murni Tbk (CSMI) adalah pemegang master waralaba restoran cepat saji Texas Chicken untuk wilayah Indonesia. Perusahaan didirikan pada tahun 1983 dan menginduk ke restaurant chain Church’s Chicken dari Amerika Serikat. 

Cipta Selera memiliki franchise agreement yang beroperasi di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, seluruh gerai Texas Chicken yang dioperasikan emiten hingga kini adalah sebanyak 30 gerai. Dalam mengoperasikan franchise-nya, Cipta Selera mengimpor bumbu atau bahan dasar untuk menunjang operasional Texas Chicken. Sedangkan pasokan ayam potongnya diperoleh dari dalam negeri dengan garansi label halal. 

Selain mengoperasikan waralabanya, perusahaan juga memiliki kegiatan usaha pendukung yang mencakup usaha perdagangan besar peralatan dan perlengkapan rumah tangga, elektronik konsumen, perlengkapan stereo, konsol video game, alat penerangan, bermacam peralatan makan minum porselen dan gelas, peralatan sendok, pisau, garpu, peralatan dari kayu, barang dari anyaman dan barang dari gabus, wallpaper, karpet dan sebagainya.

Meski sudah berdiri lama namun emiten baru melaksanakan IPO di tanggal 9 April 2020 di papan pengembangan bursa dengan kode saham CSMI. Adapun jumlah saham beredar CSMI adalah sebanyak 816.061.500 lembar. Dengan harga saham Rp 3510 per lembar, maka kapitalisasi pasarnya adalah Rp 2,86 Triliun. Saham CSMI utamanya dipegang oleh Lisa Muchtar (56,15%) dan Husni Muchtar (21,3%), sedangkan yang beredar di masyarakat adalah sebesar 22,55%.

Kinerja CSMI

Dalam gelaran Public Expose insidentilnya di bulan Februari 2021 emiten mengakui bahwa kini, se-Indonesia per tahun 2021, hanya tinggal 29 gerai saja yang bertahan. Dan menyusul beberapa gerai lagi yang akan ditutup. Penutupan gerai berhubungan dengan pandemi COVID-19 yang menyebabkan penjualan memburuk sehingga gerai-gerai yang tidak berpotensi ditutup. 

Pandemi memang membuat kondisi keuangan Texas Chicken berdarah-darah. Sebanyak 425 orang karyawan telah dirumahkan dengan tanpa pesangon karena 15 gerainya ditutup. Penjualan juga turun karena hanya dibolehkan beroperasi satu shift saja karena mesti tunduk pada protokol kesehatan. 

Public Expose Insidentil Februari 2021: Kondisi Keuangan

Penurunan kinerja selama pandemi cukup dapat dimaklumi karena semua perusahaan restoran juga mengalami penurunan pendapatan secara signifikan. Berikut informasi laba-rugi yang bisa disampaikan:

Rp PenuhPendapatanLaba KotorLaba/Rugi UsahaLaba Bersih
2019202.243.724.680118.756.292.290-8.270.582.146-11.571.843.125
202077.316.577.23742.548.462.309-29.210.886.964-37.930.606.984
Perubahan-61,77%-64,17%-253,19%-227,78%

Emiten pemegang master franchise Texas Chicken ini diketahui mengalami penurunan penjualan sebesar 61,77% dari Rp 202,24 miliar di tahun 2019 menjadi hanya Rp 77,31 miliar saja di tahun 2020. Di bottom line emiten membukukan rugi bersih sebesar Rp 37,93 miliar atau anjlok 227,78% dibandingkan sebelumnya di 2019 yang kerugiannya hanya Rp11,57 miliar saja. 

emiten membukukan rugi bersih sebesar Rp 37,93 miliar atau anjlok 227,78% dibandingkan sebelumnya di 2019 yang kerugiannya hanya Rp11,57 miliar saja. 

Akan tetapi jika ditelusuri lebih lama, ternyata penurunan kinerja emiten tak hanya terjadi di tahun 2020 saja. Berikut laporan yang diambil dari Public Expose terbaru per Februari 2021.

Public Expose Insidentil Februari 2021: Laba-Rugi

C:\Users\BISMILLAH\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\CSMI Laba-Rugi.png

Di atas adalah laporan laba-rugi CSMI sejak tahun 2016 hingga September 2020. Sebagaimana ditampilkan bahwa penjualan direpresentasikan oleh batang merah, sedangkan laba kotor dan laba bersih tahun berjalan direpresentasikan oleh batang kuning dan ungu. 

Dengan menggabungkan data di atas dengan data yang sebelumnya ditampilkan maka diketahui per 2016 emiten membukukan penjualan sebesar Rp 251,99 miliar, angka ini terus turun setiap tahunnya. Dan di akhir tahun 2019 pendapatan yang berhasil dicapai di 2019 saja hanya Rp 202,24 miliar.

Di tahun 2020 penjualan turun menjadi hanya Rp 77,31 miliar. Namun emiten meminta investor untuk maklum bahwa tahun 2020 akan dianggap sebagai keadaan luar biasa di luar kuasa, jadi performa di tahun 2020 akan dikeluarkan dari analisa. 

Setiap tahunnya, dari 2016 ke 2019, pendapatan emiten turun dengan rata-rata penurunan sebesar 7,02% sedangkan laba bersih turun hingga 258,63% per tahun. Penurunan pada penjualan mengindikasikan ada masalah dalam produk atau kegiatan marketing.

Normalnya penurunan di bottom line mengikuti besar penurunan yang terjadi di top line. Namun di CSMI penurunan laba bersih lebih besar, jauh lebih besar dibandingkan penurunan yang terjadi pada pendapatannya. 

Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam tubuh manajemen emiten terdapat beban-beban yang besarnya sangat membebani sehingga penurunan laba bisa lebih dahsyat dari penurunan penjualannya. 

Seperti biasa, jika sebuah perusahaan terus merugi maka emiten akan melakukan dua hal agar bisa terus beroperasi yakni memperbesar utang atau menjual aset atau kedua-duanya. Mari kita lihat bagian neraca: 

Public Expose Insidentil Februari 2021: Neraca

Data diatas memperlihatkan bahwa pada tahun 2016 emiten memiliki aset senilai Rp 150,17 miliar dengan liabilitas atau utang sebesar Rp 79,22 miliar. Di akhir tahun 2019 aset emiten menciut menjadi hanya Rp 132,36 miliar dengan liabilitas sebesar Rp 93,92 miliar. Sebagai informasi di tahun 2020 aset emiten telah menjadi Rp 125,39 miliar saja dengan liabilitas Rp 94,39 miliar. 

Maka jelas telah terjadi penciutan dari sisi aset dan pembengkakan dari sisi liabilitas disebabkan oleh turunnya kinerja dari top line (penjualan) hingga ke bottom line (laba-rugi). Ini adalah performa tidak sehat yang terjadi dalam tubuh emiten. Penelusuran kinerja kemudian dilanjutkan ke rincian laporan keuangan emiten dan diperoleh data sebagai berikut:

Rp PenuhPendapatanBeban Pokok PendapatanBeban UsahaLaba-Rugi
2018227.546.678.41992.084.739.508146.955.279.522-12.255.621.415
2019202.243.724.68083.487.432.390127.026.874.436-11.571.843.125
202077.316.577.23734.768.114.92871.759.349.273-37.930.606.984

Perhatikan bagian Beban Pokok Pendapatan dan Beban Usaha!

Jadi dalam menjalankan operasionalnya sebuah bisnis mesti menanggung beban pokok pendapatan berupa bahan baku produk, dalam hal ini daging ayam potong dan bumbu yang mesti diimpor dari induk franchise. 

Selain itu sebuah bisnis mesti menanggung beban usaha berupa gaji karyawan, bayar sewa, listrik dan lain sebagainya. Kamu bisa perhatikan bahwa total kedua beban setiap tahunnya selalu lebih besar dari pendapatan itu sendiri! 

Di tahun 2018 ketika pendapatan yang dicapai sebesar Rp 227,54 miliar ternyata total beban pokok dan beban usahanya senilai Rp 239,03 miliar, belum lagi pajak mesti dibayarkan oleh emiten. Setelah semuanya akhirnya emiten merugi Rp 12,25 miliar. 

Kegiatan “besar pasak daripada tiang” ini terus berlanjut di tahun 2019 di mana total kedua beban mencapai Rp 210 miliar sedangkan pendapatan hanya Rp 202 miliar saja. Keadaan memburuk di tahun 2020 di mana kerugian mencapai Rp 37,93 miliar. Jelas ada yang salah dari cara emiten mengelola beban-bebannya. Singkat kata, pengelolaan beban-beban emiten tidak efisien. 

Berikut rasio-rasio yang menarik untuk disampaikan: 


DERGPMOPMNPM
2018207,73%59,53%-5,05%-5,39%
2019244,31%58,72%-4,09%-5,72%
2020304,57%55,03%-37,78%-49,06%

Karena emiten selalu merugi sejak tahun 2017 maka rasio-rasio profitabilitas selain marjin laba tidak disampaikan karena semuanya dalam keadaan minus. Dari marjin laba kotor (GPM) yang diperoleh dari pengolahan data laporan keuangan diketahui bahwa biaya bahan baku seperti ayam potong dan impor bumbu adalah sebesar sekitar 40-an persen dari pendapatan. 

Pendapatan yang dikurangi beban pokok pendapatan menghasilkan laba kotor. Kemudian laba kotor akan dikurangi beban usaha berupa gaji karyawan, bayar sewa, listrik dan lain sebagainya. Laba kotor yang dikurangi beban usaha menghasilkan laba usaha. 

Nah beban usaha CSMI besarnya sudah sedemikian tidak sehat, bahkan lebih besar dari laba kotornya sehingga menghasilkan laba usaha yang negatif alias rugi usaha. Alhasil marjin laba usahanya (OPM) selalu minus. 

Kok bisa minus? Ya minusnya ditutup dengan jual aset dan berutang, itulah sebabnya aset dari tahun ke tahun terus turun nilainya sedangkan utang nilainya terus merangkak naik. Alhasil emiten tidak membukukan laba, sebaliknya emiten selalu merugi. 

Di tahun 2020 nampaknya beban usaha emiten sudah sangat-sangat membebani karena penjualan menurun disebabkan pembatasan jam buka restoran oleh pemerintah. Dengan beban usaha yang kurang lebih sama, marjin laba usaha dan laba bersih anjlok dua digit dalam persentase. 

Berkaitan dengan hal itu manajemen memberikan penjelasan sebagaimana yang disimpulkan di bawah ini:

Public Expose Insidentil Februari 2021: Respon Manajemen

Dari uraian di atas setidaknya kita mengetahui bahwa emiten rupanya sudah menyadari masalah internal mereka berasal dari lemahnya efisiensi beban terutama beban usaha dalam hal gaji karyawan. 

Oleh karenanya emiten menyatakan bahwa mereka kini sedang mengefisiensi jumlah karyawan dan upahnya sekaligus. Mereka juga berencana menegosiasi biaya sewa dan servis. Untuk gerai-gerai dengan penjualan rendah maka akan ditutup. 

Dalam Public Expose Insidentil bulan Februari 2021 manajemen CSMI mengatakan bahwa saat ini emiten sedang berfokus pada daerah-daerah yang memberikan potensi yang cukup baik yakni Medan, Kendari, Banjarmasin dan Banjarbaru. 

Public Expose Insidentil Februari 2021: Rencana Strategis

Diungkapkan langsung oleh manajemen CSMI bahwa target penjualan di tahun 2021 adalah sebesar Rp 98 miliar dengan strategi membuat harga lebih terjangkau dan mempertahankan pangsa pasar dengan berbagai promo di Medan, Kendari, Banjarmasin dan Banjarbaru. Emiten akan menganggarkan Rp 1 miliar per gerai untuk belanja modal dalam mengubah menu dan dana rencananya akan didapat melalui penjualan aset dan pinjaman bank. 

Rencana emiten untuk melakukan efisiensi beban gaji karyawan dan ekspansi ke daerah-daerah potensial perlu diacungi jempol. Jika berbuah hasil maka bukan tidak mungkin di tahun-tahun berikutnya emiten dapat membuat beban usaha CSMI tidak lebih besar dari laba kotornya. Jika sudah demikian maka kita mungkin saja dapat berharap emiten bisa membukukan laba bersih. 

Kesimpulan

Manajemen CSMI meminta investor agar maklum bahwa di tahun 2020 terjadi penurunan kinerja disebabkan oleh pembatasan jam buka restoran selama pandemi COVID-19. Namun fakta mengatakan bahwa sejak 2016 pendapatan dan laba emiten emiten terus menurun.

Faktanya emiten terakhir kali membukukan laba adalah di tahun 2016. Jadi penurunan kinerja bukan hanya terjadi ketika pandemi COVID-19 saja namun sudah lama sejak 2016.

Rupanya penurunan kinerja disebabkan oleh beban usaha yang selama ini besarnya sudah diluar akal sehat melampaui laba kotor. Di bottom line emiten selalu membukukan rugi bersih sejak tahun 2017. 

Selama ini emiten bisa terus beroperasi meski terus merugi berkat penjualan aset dan penambahan utang. Kedua hal tersebut adalah cara tidak sehat untuk mempertahankan sebuah bisnis. Namun rupanya emiten sudah tahu letak kesalahannya dan berencana untuk melakukan efisiensi beban dan fokus di daerah-daerah potensial saja. 

Saat ini kinerja emiten masih carut-marut namun karena emiten sudah tahu kesalahannya di mana maka kita bisa berharap emiten melakukan koreksi dan dapat memperbaiki kinerja di kemudian hari. Mungkin introspeksi diri emiten lah yang menyebabkan banyak orang tertarik mengoleksi CSMI meski kini masih merugi. 

Disclaimer: Investasi saham mengandung risiko dan seluruhnya menjadi tanggung jawab pribadi. Ajaib membuat informasi di atas melalui riset internal perusahaan, tidak dipengaruhi pihak manapun, dan bukan merupakan rekomendasi, ajakan, usulan ataupun paksaan untuk melakukan transaksi jual/beli Efek. Harga saham berfluktuasi secara real-time. Harap berinvestasi sesuai keputusan pribadi.

Artikel Terkait