Ajaib.co.id – Pasar saham seringkali disebut sebagai tempat yang tidak rasional di mana harga saham kadang tak mencerminkan nilai sesungguhnya dari sebuah perusahaan.
Jika kamu adalah seseorang yang lebih peduli pada nilai perusahaan itu sendiri ketimbang fluktuasi harganya maka kamu harus pertimbangkan untuk mengkombinasikan analisis fundamental dengan prospek emiten.
Berapakah nilai yang pantas untuk sebuah perusahaan per lembar sahamnya? Itu adalah pertanyaan paling dasar yang berusaha dijawab oleh seorang investor. Pertanyaan sederhana itu ternyata menghasilkan jawaban yang tidak sederhana.
Jika kamu percaya bahwa analisis fundamental saham perusahaan hanya sekedar membaca rasio keuangan saja maka itu adalah cara malas yang bisa seorang investor lakukan. Asal tahu saja, ada banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan sulap akuntansi dalam laporan keuangannya untuk memberikan rasio yang baik. Itulah kenapa kamu tidak boleh hanya mengandalkan rasio saja.
Sebagai informasi saja di tahun 2017-2018 ada lebih dari selusin emiten yang melakukan revaluasi aset. Revaluasi aset adalah ketika sebuah aset dihitung ulang nilainya lalu hasilnya dimasukkan sebagai laba. Padahal jika aset tidak dijual mana mungkin masuk ke dalam laba, bukan? Revaluasi aset kini sudah dilarang, khususnya pada emiten-emiten BUMN, oleh Erick Thohir selaku Menteri BUMN.
Kamu hanya baru akan mengetahui apakah emiten nakal atau tidak dengan mengecek laporan keuangan emiten tersebut dengan cara yang tepat.
Kamu harus teliti untuk pastikan apakah laba yang dibukukan berasal dari kegiatan operasionalnya atau dari hal lainnya. Karena perusahaan baru akan dapat bertahan bertahun-tahun ke depan jika kegiatan usahanya berlangsung baik.
Jika ternyata kinerjanya zonk maka kamu sebaiknya jangan kaget kalau emitenmu dinyatakan bangkrut sewaktu-waktu dan kamu harus kehilangan uangmu.
Kisah Investasi
Sepintas berinvestasi itu seperti hal yang sulit, tak terbayangkan, seperti hendak meluncurkan pesawat luar angkasa saja rasanya. Namun percayalah sesungguhnya berinvestasi itu sangat logis. Kamu tidak perlu analisis rumit, tidak semua rasio pun diperlukan. Logika adalah yang utama di sini.
Bayangkan seperti ini, ada sebuah hotel dengan aset senilai Rp100 miliar. Anggaplah hotel tersebut tidak memiliki utang sehingga seluruh asetnya adalah nilai bukunya.
Nah, ternyata hotel tersebut menerbitkan 1 miliar lembar saham karena pemiliknya membutuhkan dana pinjaman murah dari investor. Dengan begitu nilai buku alias nilai ekuitas per lembarnya adalah Rp100 saja. Sekarang sedang obral, harga sahamnya hanya Rp50 per lembar. “Murah, nih” pikirmu.
Mestinya Rp100 per lembar, sekarang hanya Rp50. Maukah kamu membeli hotel tersebut?
Ketika kamu memutuskan untuk berkunjung, meski asetnya Rp100 miliar ternyata hotel itu dibangun di tengah hutan. Tamunya pun hanya penjelajah-penjelajah yang tersesat.
“Waduh kapan labanya, dong?” pikir kamu dalam hati. Ketika kamu melihat arus kasnya ternyata hotel tersebut juga sedang kebingungan karena kinerja operasional kacau-balau. Pemasukan saja tidak ada apalagi mau laba.
Tapi sahamnya murah, lho! Kinerja kacau, tapi harganya cocok di kantong. Nah lho!
Begitulah investasi. Kadang harga murah juga bukan segalanya. Nilai buku boleh besar, kalau arus kas-nya seret kan bingung juga!
Contohnya saham Ciputra Property yang sudah delisting di tahun 2017. Ternyata nama besar juga tidak menjamin. Saat itu kamu bisa mendengar keluh kesah mereka yang ‘nyangkut’ di saham CTRP di forum-forum saham. “Harga murah, ternyata kualitasnya murahan” begitu rata-rata keluh kesah para investor malas ini.
Warren Buffet pernah berkata dalam sebuah rapat Berkshire Hathaway bahwa investor malas adalah mereka yang berinvestasi saham dengan hanya mengandalkan rasio saja tanpa repot-repot membuka laporan keuangan secara berkala. Padahal normalnya jika uangmu diletakkan di suatu tempat kamu harus cek secara berkala karena aturan investasi itu hanya dua: “Aturan pertama: Jangan pernah kehilangan uangmu. Aturan kedua: Jika kamu kehilangan uangmu maka lihat aturan pertama.”
Analogi Investasi
Cara berinvestasi yang benar itu mirip seperti memprediksi nilai anak sekolah. Misalnya begini, ada seorang anak sebut saja Atep. Di ujian pertama Atep memperoleh nilai 100, di ujian kedua nilai Atep adalah 90. Di ujian ketiga dan keempat nilai ujian Atep adalah 95 dan 85. Berikutnya nilai Atep di ujian kelima adalah 100.
Nah, jika ada ujian keenam kira-kira nilai Atep berapa? Rasa-rasanya dengan track record seperti itu nilai Atep tidak akan jauh-jauh dari 85-100. Akan sangat aneh sekali jika tiba-tiba nilai Atep menjadi 30 saja.
Hal yang sama berlaku sebaliknya. Teman Atep yaitu Rinda dalam lima ujian memiliki nilai masing-masing 30, 40, 10, 50 dan 30. Jika tiba-tiba di ujian keenam mendadak Rinda dapat 100 bukankah itu aneh sekali?
Sekarang begini, jika ada emiten yang bertahun-tahun merugi tiba-tiba cetak laba besar apakah itu tidak aneh? Apakah itu benar-benar laba yang datang dari operasionalnya? Laba dicetak bukan dari kerja dalam semalam. Pastinya ada usaha di balik itu semua selama setahun penuh yang kemudian dibukukan dalam laporan tahunan.
Itulah kenapa kamu harus cek laporan keuangannya dan bukan hanya rasionya saja. Setelah itu kamu bisa buat track record-nya dalam sebuah lembar kerja excel. Analisis fundamental adalah untuk melihat kinerjanya selama ini dalam beberapa waktu ke belakang. Seperti halnya Rinda dan Atep, penilaian emiten juga dilihat dari track record-nya.
Namun bisa saja Atep memberikan kinerja buruk di ujian keenam. Misalnya karena Atep kurang sehat, ia alergi udang dan kebetulan tidak sengaja menyantap sambal udang di kantin. Lalu ketika ujian karena ia tidak enak badan maka ia tidak fokus dan nilainya turun jadi 40. Bisa saja bukan? Tapi kita tahu itu bukan performa Atep yang sesungguhnya. Nilai 40 di ujian keenam tidak menggambarkan keseluruhan kemampuan Atep karena ia selama ini mendapat nilai 85 hingga 100.
Atau ketika Rinda yang tiba-tiba mendapat nilai 100, bisa saja hal itu terjadi karena Rinda berusaha keras belajar karena tidak mau terus-terusan tertinggal dari Atep. Tapi benarkah itu kenyataannya? Atau jangan-jangan Rinda menyontek dari Siska karena kebetulan Rinda duduk di sebelah Siska yang adalah juara satu di kelasnya. Kita harus pastikan kinerja Rinda apakah itu murni hasilnya atau bukan. Karena kita sedang mencari tahu kemampuan sesungguhnya.
Itulah mengapa kita harus pastikan kinerja emiten dengan melihat laporan keuangan. Kita ingin bukti bahwa laba memang benar-benar datang dari operasionalnya. Laba yang datang bukan dari operasional, misalnya datang dari jual aset seperti mesin, atau datang dari hasil investasinya sang emiten, maka kita tidak bisa harapkan akan terjadi lagi di lain waktu. Alias laba yang semacam itu hanya terjadi sekali waktu saja.
Kita tentu tidak bisa mengharapkan ia akan mencetak laba sebesar itu di masa depan jika ternyata kinerjanya datang bukan dari operasional. Tapi jika laba benar-benar datang dari hasil kerja keras emiten, mungkin kamu sedang menemukan mutiara terpendam.
Melihat prospek emiten adalah sebuah seni juga karena hanya mata yang jeli saja yang bisa melihat peluang. Peluang itu datang dari berbagai hal, misalnya untuk emiten tambang maka prospek datang dari kenaikan harga komoditas. Jika emiten berganti manajemen dan pimpinan yang baru membawa angin segar, maka kamu sebaiknya perhatian.
Kamu baru akan bisa melihat prospek dengan baik jika kamu memahami faktor-faktor apa saja yang bisa menjadi katalis sahammu. Kamu bisa mendapat pandangan tentang itu jika kamu sering membaca berita.
Jadi kombinasi antara analisis fundamental dan prospek emiten dibutuhkan. Analisis fundamental adalah tentang track record selama ini, sedangkan prospek emiten adalah tentang peluang emiten di masa depan. Kemampuanmu akan terasah seiring waktu dalam melakukan analisis fundamental dan mencari tahu prospek emiten. Kamu hanya butuh waktu dan pengalaman.