Saham

Kenali Saham Zombie dan Beragam Risikonya bagi Investor

Ajaib.co.id – Pernahkah kamu mendengar istilah saham zombie saat chatting antar investor atau membaca ulasan pakar? Ada yang mengira saham zombie itu sinonim dengan saham tidur atau saham gocap. Padahal, ada banyak saham zombie yang tetap ramai diperdagangkan oleh bandar dalam aksi goreng-menggoreng saham. Saham zombie lebih mengacu pada latar belakang fundamental perusahaan yang bobrok.

Istilah “saham zombie” bersumber dari julukan bagi perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki cukup dana untuk beroperasi. Perusahaan-perusahaan ini mungkin hanya mampu memenuhi biaya overhead, tetapi tidak punya modal untuk berekspansi. Mereka bertahan dengan bantuan utang bank, serta memiliki beban bunga yang makin lama makin besar. Perusahaan-perusahaan ini diberi predikat “zombie”.

Predikat “zombie” pertama kali disematkan pada perusahaan-perusahaan yang jatuh pada era Dasawarsa yang Hilang di Jepang (1990-an). Istilah ini sempat tenggelam, tapi menjadi populer lagi menyusul krisis keuangan 2007/2008. Pemerintah Jepang maupun AS pada lini sejarah masing-masing sempat menghadapi dilema antara membiarkan perusahaan zombie untuk gulung tikar saja, atau memberikan bailout agar perusahaan mampu melewati masa-masa krisis.

Ada beberapa emiten di bursa efek Indonesia yang tergolong “perusahaan zombie”. Pemerintah Indonesia tak punya wacana untuk memberikan bailout kepada perusahaan-perusahaan ini, tetapi ada perdebatan tentang apakah mereka layak dipertahankan di bursa atau sebaiknya dipaksa delisting saja. Saham-saham perusahaan inilah yang dijuluki “saham zombie”.

Ciri-ciri Saham Zombie

Secara sederhana, kita dapat menyimpulkan saham zombie adalah saham dari perusahaan-perusahaan yang arus kas atau cash flow-nya tidak dapat menutup tanggungan utangnya. Pendapatan perusahaan mungkin hanya cukup untuk membayar biaya overhead dan bunga utang saja.

Ada kemungkinan perusahaan memperbaiki kinerja, tetapi probabilitasnya sangat kecil. Masa depan perusahaan makin suram seiring dengan membesarnya pokok dan bunga pinjaman. Perusahaan biasa mungkin dapat memperoleh tambahan modal dari penerbitan obligasi baru, tetapi kondisi keuangan perusahaan zombie sering kali tidak cocok untuk alternatif ini. Penjamin emisi (underwriter) pun enggan mensponsori penerbitan obligasi dari perusahaan yang memiliki kinerja keuangan compang-camping.

Ada empat karakteristik utama saham zombie, yakni:

  1. Perusahaan tidak dapat melunasi utang, sehingga Debt-to-Equity Ratio (DER) cenderung membesar dari waktu ke waktu.
  2. Perusahaan membiayai operasional dengan praktik gali lubang dan tutup lubang, sehingga ketergantungan pada pinjaman bank. 
  3. Perusahaan tidak dapat berekspansi, atau bahkan terpaksa menjual aset secara bertahap demi menunaikan kewajiban-kewajiban finansialnya.
  4. Perusahaan tidak menghasilkan laba, sehingga tidak dapat membagikan dividen bagi investor.

Investor tentu tak menyukai perusahaan-perusahaan seperti itu. Siapa yang bersedia mempercayakan uangnya dalam saham perusahaan bermasa depan suram? Inilah sebabnya mengapa transaksi jual/beli pada saham zombie biasanya sangat sepi, kecuali ketika saham-saham tersebut sedang digoreng bandar.

Kadang-kadang, ada investor yang berani mengakumulasi saham zombie. Tujuannya agar untung berlipat ganda kalau perusahaan kelak berhasil mengubah nasib dengan menciptakan inovasi atau menggarap proyek baru yang sangat menguntungkan. Namun, saham zombie tetaplah berisiko tinggi dan tidak cocok untuk semua investor.

Risiko Saham Zombie

Mari ambil contoh, umpamanya sebuah perusahaan farmasi sudah tergolong zombie. Mereka mengerahkan seluruh sumber daya untuk meriset vaksin virus Corona (COVID-19) dengan menggandeng sebuah perusahaan lain yang memiliki modal lebih besar. Tak berapa lama kemudian, kerja sama riset itu sukses menghasilkan vaksin yang laris manis di seluruh dunia.

Situasi seperti itu menggambarkan bagaimana saham zombie bisa “hidup kembali”. Banyak sekali investor membeli saham zombie dengan menyimpan harapan tersebut. Namun, kemungkinannya sangatlah kecil.

Perusahaan terkemuka jarang bersedia untuk bekerjasama dengan perusahaan zombie yang berstatus “hidup enggan, mati tak mau”. Peneliti top cenderung memilih untuk bekerja pada perusahaan terbaik di bidangnya daripada di perusahaan yang sedang sekarat. Riset pun bisa jadi membutuhkan sumber daya jauh lebih besar dibanding aset perusahaan yang masih ada. Sedangkan kalau risetnya gagal, perusahaan sudah pasti bakal pailit.

Terdapat sedikitnya lima risiko saham zombie, yakni:

  1. Saham tidak membagikan dividen.
  2. Saham mengalami suspensi dalam kurun waktu sangat lama.
  3. Saham jatuh ke level Rp50 per lembar dan tidak bisa bangkit lagi.
  4. Saham menerima instruksi delisting paksa dari otoritas bursa.
  5. Saham menghadapi tuntutan pailit.

Inilah alasan mengapa saham zombie dikatakan tidak cocok bagi mayoritas investor. Saham zombie hanya cocok untuk spekulan atau investor yang memiliki toleransi risiko sangat tinggi. Mereka biasanya akan memburu saham zombie ketika muncul indikasi akumulasi bandar atau menerima kisi-kisi tertentu yang memperbaiki prospek perusahaan. Berita yang dapat mengubah nasib saham zombie antara lain temuan baru yang revolusioner dan suntikan dana dari perusahaan lebih besar. 

Apabila kamu bukan termasuk golongan spekulan maupun investor agresif, maka sebaiknya menghindari saham zombie. Walaupun ada berita baik terkait inovasi baru dan injeksi modal, perusahaan zombie tetap menghadapi tantangan dahsyat untuk memperbaiki kondisi keuangannya. Ingat, pinjaman bank itu bersifat akumulatif. Beban bunga semakin besar selama utang pokoknya belum lunas.

Untuk menghindari saham zombie, ada dua parameter utama dalam kinerja keuangan emiten yang perlu diamati oleh investor. Pertama, Debt-to-Equity Ratio (DER). Kedua, arus kas (cash flow). Kedua data dapat dilihat dalam laporan keuangan emiten yang diterbitkan secara berkala. Aplikasi Ajaib juga sudah memuat data-data tersebut dalam informasi per emiten yang dapat dicermati investor sebelum membeli saham. Bandingkanlah fundamental perusahaan yang diminati dengan saham-saham lain dalam sektor yang sama, untuk menentukan apakah kinerja emiten tergolong zombie atau bukan.

Artikel Terkait