Banking

Ini Dia yang Dimaksud Dengan Lintah Darat Digital

Sumber: Freepik

Ajaib.co.id – Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata ‘lintah darat’? Besar kemungkinan konotasinya negatif ya. Kalau selama ini lintah darat identik dengan rentenir yang meminjamkan uang tunai yang berbunga tinggi kepada orang lain, maka kini muncul istilah baru, yakni ‘lintah darat digital’. 

Lintah darat tak sepenuhnya terdisrupsi di zaman digital seperti sekarang. Mereka bermutasi menjadi lintah yang bergerak secara online. Berbungkus financial technology (fintech), lebih spesifiknya peer to peer (P2P) lending, lintah darat digital beroperasi. 

Tak dipungkiri, keberadaan lintah darat digital tak terlepas dari hukum demand-supply. Terlebih saat ini pandemi COVID-19 telah mengakibatkan guncangan terhadap berbagai sendi kehidupan manusia, termasuk ekonomi. 

Memang, pemerintah telah menggulirkan berbagai instrumen subsidi atau bantuan kepada masyarakat di tengah pandemi COVID-19. Gelontoran dana bansos, bantuan langsung tunai (BLT) COVID-19, dana desa, bantuan keuangan BUMDes hingga kuota internet adalah beberapa contohnya. 

Tapi, harus diakui, itu belumlah cukup bagi sebagian masyarakat. Padahal, kucuran dana-dana tersebut salah satunya untuk menjadi penangkal fintech ilegal.

Dalam hal permodalan atau sekadar memenuhi kebutuhan hidup, misalnya, sebagian masyarakat masih mencari opsi-opsi lain. Hal inilah yang dimanfaatkan betul oleh penyedia jasa fintech. 

Mereka umumnya menyasar calon nasabah yang belum terjangkau layanan bank (unbankable). Lintah darat digital berpromosi secara gencar. Tak hanya melalui website, mereka tak ‘malu-malu’ berpromosi melalui media sosial hingga jalur pribadi. 

Lintah darat digital menebar iming-iming peminjaman uang mudah hanya melalui ponsel yang tersambung internet. Tanpa proses administrasi berbelit, nasabah bisa menerima pinjaman uang dalam waktu relatif cepat.

Kalau yang terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mungkin sepak terjangnya bisa dipertanggungjawabkan. Namun, yang ilegal memunculkan masalah. Jumlahnya pun tidak sedikit.

Apakah tidak terlalu ekstrem menjuluki penyedia layanan P2P lending ilegal sebagai lintah darat digital? Sekilas, penyedia layanan P2P lending ilegal menjadi ‘juru selamat’ bagi orang yang mendesak memerlukan pinjaman uang.

Sayangnya, nasabah kerap kurang memperhitungkan bunga utangnya yang sangat mencekik. Maka, tak berlebihan bila , penyedia layanan P2P lending ilegal dijuluki lintah darat digital karena mereka bisa menerima margin berlipat-lipat.

Satu contoh kasus di Solo bisa menjadi gambarannya. Seorang debitur meminjam uang Rp5 juta dari beberapa aplikasi P2P lending. Debitur tersebut baru menunggak pinjamannya selama dua bulan. Ternyata, tagihannya melambung menjadi Rp75 juta. Jumlah ini akumulasi bunga, biaya perpanjangan tenor, hingga denda dari beberapa aplikasi.

Untuk urusan penagihan, P2P ilegal pun bisa melewati batas. Kasus lain di Solo, sebuah P2P ilegal menyebarkan foto nasabahnya yang menunggak Rp1.054.000. Padahal, debitur tersebut telah memberikan informasi lambat bayar dan baru menunggak dua hari.

Tentu, masih banyak lagi kasus pelecehan nasabah yang tidak terungkap, mengingat betapa banyaknya lintah darat digital yang beredar di jagat maya. Bahkan, sudah ada kasus bunuh diri yang dugaan penyebabnya ialah tunggakan pinjaman P2P ilegal.

Sejauh ini, OJK dan Satgas Waspada Investasi (SWI) sudah melakukan banyak cara untuk meredam peredaran fintech ilegal. Langkah-langkah tersebut antara lain mengumumkan kepada masyarakat, mengajukan blokir website, dan aplikasi secara rutin kepada kementerian terkait. Kemudian juga, memutus akses keuangan dari fintek ilegal.

Cara ini ditempuh dengan menolak rekening mereka yang tanpa rekomendasi OJK. SWI juga bisa meminta BI melarang fintech payment system yang memfasilitasi P2P ilegal. SWI juga meningkatkan sinerginya dengan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) guna menangani fintech ilegal. Hasilnya, sampai sejauh ini, SWI sudah menutup ratusan P2P lending yang tak terdaftar di OJK.

SWI pun mendorong peran serta masyarakat untuk melaporkan fintech ilegal ke Kepolisian jika diduga kuat memenuhi pasal pidana. Jalur hukum bisa ditempuh bila fintech ilegal, misalnya, melakukan penagihan dengan disertai teror, intimidasi, atau tindakan tidak menyenangkan lainnya. 

Upaya SWI juga mencakup preventif, seperti melaksanakan edukasi kepada masyarakat luas tentang pemanfaatan teknologi digital secara bijak. Bekerja sama dengan pemda, asosiasi sampai Kepolisian, SWI menghimbau masyarakat agar sebelum melakukan pinjaman memahami beberapa hal, misalnya meminjam kepada fintech yang terdaftar di OJK serta meminjam sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.

Forum Ekonomi Dunia mengamanatkan agar pemerintahan di dunia meningkatkan kemampuan warga negaranya untuk memiliki keterampilan di abad 21 meliputi literasi dasar, kompetensi dan karakter. Salah satu upaya yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu menginisiasi pelaksanaan Gerakan Literasi Nasional (GLN).

Masyarakat pun diimbau untuk aktif dan mandiri dalam memperdalam serta meningkatkan pengetahuannya mengenai literasi keuangan. Di abad 21 ini, masyarakat dituntut menguasai enam literasi dasar, yaitu literasi bahasa, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya serta kewarganegaraan.

Keputusan untuk menabung dan berinvestasi dengan lebih cerdas dan manajemen utang-piutang yang lebih baik adalah sebagian dari pengetahuan terhadap literasi keuangan.

Sebagai catatan, OJK mencatat indeks literasi keuangan di Indonesia masih rendah. Pada survei tahun 2019, indeks literasi nasional sebesar 38,03%. Sementara itu, inklusi keuangan nasional menyentuh angka 76,19%.

Survei yang sama menunjukkan, masyarakat yang berada di wilayah pedesaan masih cukup tertinggal dibandingkan masyarakat yang tinggal di wilayah kota, baik dari sisi pemahaman maupun penggunaan produk atau layanan keuangan.

Satu hal yang harus diperhatikan ialah upaya-upaya tersebut jangan sampai memporak-porandakan ekosistem fintech itu sendiri. Bagaimanapun, fintech (termasuk payment gateway, P2P lending, crowd funding, dan investasi) dibutuhkan di zaman digital ini. Keberadaan platform-platform fintech turut memberikan dampak konkret untuk literasi dan inklusi keuangan.

Sumber: Mewaspadai Lintah Darat di Jagat Virtual, Melibas lintah darat online, dan Waspada! ‘Lintah Darat’ Teknologi, Heboh Ditagih Pinjaman Online Tiba-Tiba, dengan perubahan seperlunya.

Artikel Terkait