Ajaib.co.id – Harga saham-saham emiten keuangan tahun lalu sempat jatuh lalu rebound, memberikan keuntungan melimpah bagi trader dan investor. Namun, sebagian besar emiten dari sektor ini belum kembali ke tingkat harga sahamnya sebelum pandemi COVID-19 meruntuhkan IHSG. Bagaimana dengan prospek emiten keuangan 2021?
Banyak analis mencantumkan sektor keuangan sebagai salah satu bidang yang akan berkinerja cemerlang dalam outlook saham 2021 mereka, khususnya anggota Himbara (Himpunan Bank-bank Milik Negara).
Hal ini berhubungan dengan berbagai isu terkini yang bersifat positif bagi emiten keuangan, seperti Omnibus Law UU Cipta Kerja, pemulihan ekonomi nasional, suku bunga rendah, serta merger beberapa perusahaan ternama Indonesia. Tapi ada juga faktor negatif yang membayangi sektor ini, misalnya skandal keuangan.
Lima Isu yang Akan Mempengaruhi Emiten Keuangan 2021
- Omnibus Law UU Cipta Kerja
Undang-undang Cipta Kerja dirancang dengan target menyederhanakan regulasi bagi para pengusaha serta menarik kembali investasi masuk ke Indonesia. Sesuai dengan isi UU ini, ada beberapa sektor saham yang akan diuntungkan mulai dari sektor properti dan konstruksi, retailer, telekomunikasi, hingga perbankan.
Apabila UU Cipta Kerja benar-benar berhasil mendorong kembalinya dana investasi asing serta memotivasi para pengusaha untuk berekspansi, maka kebutuhan atas layanan perbankan pun bakal meningkat secara signifikan.
Baik penanaman modal maupun pendirian pabrik baru akan sama-sama membutuhkan intermediasi perbankan. Emiten keuangan dalam hal ini bakal untung berkat perannya sebagai fasilitator transfer payment, penampung dana surplus dan cadangan, sekaligus penyalur pinjaman.
UU Cipta Kerja juga memberikan katalis bagus bagi ekspansi sektor properti, terutama dengan diperbolehkannya pembelian unit apartemen oleh Warga Negara Asing (WNA). Emiten keuangan yang berfokus pada pembiayaan segmen KPR dan KPA berpotensi kecipratan cuan tambahan dari sini.
- Pemulihan Ekonomi Nasional
Dalam upaya menggenjot pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi COVID-19, pemerintah telah menggelontorkan bantuan sosial (bansos) melalui sejumlah perbankan pelat merah. Suntikan dana bansos ini meningkatkan likuiditas perbankan terkait, sehingga mereka mendapatkan energi lebih kuat untuk keluar dari resesi lebih cepat.
Setelah krisis usai pun, perbankan akan diuntungkan ketika aktivitas masyarakat kembali normal dan pertumbuhan ekonomi meningkat lagi.
Rasio kredit bermasalah (Non-performing Loan/NPL) perbankan sempat melonjak sepanjang tahun 2020. Namun, NPL diperkirakan akan surut secara bertahap seiring dengan berlanjutnya pemulihan kinerja perusahaan di berbagai bidang usaha.
Penyerapan kembali tenaga kerja yang sempat di-PHK atau dirumahkan tahun lalu juga berpotensi meningkatkan kembali DPK dan penyaluran kredit konsumsi.
- Suku Bunga Acuan Rendah
Bank Indonesia (BI) berkali-kali memangkas suku bunga acuannya sepanjang tahun 2020 hingga kini berada pada level 3,75%. Sepintas, hal ini terancam memangkas pula pendapatan bunga perbankan. Namun, suku bunga rendah sebenarnya justru dapat mendorong kenaikan fee-based income.
Asumsinya, lebih banyak orang yang akan memakai jasa perbankan ketika suku bunga rendah daripada ketika suku bunga tinggi. Pendapatan bunga perbankan malah bisa tetap stabil karena penurunan bunga pinjaman diiringi pula oleh penurunan bunga simpanan.
- Merger
Isu mega merger bank syariah BUMN telah menjadi motor kuat bagi emiten keuangan tahun lalu, khususnya PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS) selaku surviving entity dalam aksi korporasi tersebut. Emiten bank syariah lain pun ikut terdongkrak berkat meningkatnya gairah investasi pada sektor keuangan syariah.
Merger bank syariah BUMN saat ini masih dalam proses berkelanjutan yang dijadwalkan akan mencapai final pada bulan Februari 2021. BRIS kemungkinan harus melepas saham lagi ke masyarakat setelah proses merger usai, guna memenuhi ketentuan minimum saham publik (free float) 7,5%. Pasalnya, porsi kepemilikan saham publik dalam BRIS yang kini sebesar 18,47% bakal terdilusi menjadi 4,4% saja pasca merger.
Perusahaan sekarang masih terus mengevaluasi beragam alternatif cara untuk menambah kepemilikan saham publik di BRIS. Alternatif apa pun yang kelak akan diambil, isu ini bakal terus menopang kinerja emiten keuangan. Bukan hanya BRIS saja yang bakal terpengaruh, melainkan juga perusahaan sekuritas yang menjadi underwriter-nya (jika perusahaan tersebut melantai di bursa) serta pihak-pihak lain yang terlibat.
Sementara itu, rumor tentang merger Gojek-Grab maupun Gojek-Tokopedia ikut memompa harga saham PT Bank Jago Tbk (ARTO). Gojek baru-baru ini menjadi pemegang saham ARTO dengan kepemilikan 22%. Kolaborasi Gojek dan Bank Jago membuka potensi layanan perbankan digital baru pada platform Gojek yang sudah sangat populer di Indonesia.
- Skandal Keuangan
Banyak perusahaan yang menggarap sektor keuangan telah tersandung skandal dalam beberapa tahun terakhir, misalnya terkait kasus Jiwasraya, AJB Bumiputera, Minna Padi Investama (PADI), dan masalah likuiditas PT Bank Bukopin Tbk (BBKP). Masalah likuiditas BBKP berhasil happy ending berkat suntikan dana dari perbankan besar Korsel, Kookmin Bank. Tapi kasus-kasus lain masih terus berkembang.
Kasus Jiwasraya menjegal empat emiten sekaligus, yakni perusahaan tambang mineral PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM), perusahaan ikan arwana PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP), emiten properti PT Hanson International Tbk (MYRX), emiten tambang PT SMR Utama Tbk (SMRU), dan emiten real estat PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP). Kelima saham tersebut kini dalam status suspensi.
Skandal gagal bayar AJB Bumiputera baru mulai naik daun dalam beberapa bulan terakhir, setelah kasus Jiwasraya menjadi sorotan nasional. Kedua kasus yang saling beriringan menggerogoti kepercayaan masyarakat dan investor pada layanan jasa asuransi. Hingga saat ini, kinerja saham-saham emiten keuangan dari segmen asuransi masih terpuruk.
Saham PADI juga terkunci pada level gocap setelah enam reksa dana kelolaan anak usahanya, Minna Padi Aset Manajemen, dibubarkan oleh OJK pada pertengahan November 2019. Hingga saat ini, proses pengembalian dana nasabah MPAM belum rampung.
Apakah akan muncul skandal keuangan lagi pada tahun 2021? Akhir tahun lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengendus skandal mirip Jiwasraya di PT Asabri (Persero). Kita belum tahu apakah akan ada emiten keuangan yang terseret atau tidak. Namun, upaya pemerintah untuk menertibkan perusahaan-perusahaan keuangan pelat merah mau tak mau memang membawa konsekuensi sementara yang cukup buruk bagi reputasi penyedia jasa dalam negeri.
Emiten Keuangan Mana yang Berprospek Unggul Pada Tahun 2021?
Rekomendasi saham emiten keuangan berprospek terbaik sudah pasti perbankan blue chip, yakni PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Kinerjanya bakal paling terdongkrak oleh program-program pemerintah. Manajemen perusahaan yang lebih baik juga menjadikannya relatif lebih terhindar dari skandal.
Hanya saja, saham-saham perbankan blue chip sudah naik cukup tinggi pada tahun 2020. Peluang kenaikannya pada tahun 2021 masih ada, tetapi lebih minim. Saham-saham ini tetap menjadi pilihan paling bagus untuk investasi jangka panjang.
Namun, investor juga dapat melirik perbankan berskala lebih kecil seperti PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN), PT Bank Jatim Tbk (BJTM), PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat & Banten Tbk (BJBR), dan rekan-rekannya.
Bagaimana dengan prospek emiten keuangan non-bank di pasar saham? Sektor keuangan tidak hanya dihuni oleh perusahaan perbankan saja, melainkan juga asuransi, sekuritas, dan multifinance. Sayangnya, bidang keuangan non-bank sejauh ini masih kekurangan katalis positif. Kita mungkin perlu menunggu berita-berita berikutnya dari pemerintah dan Bank Indonesia sebelum mulai berinvestasi.