Berita

Drama Utang Sriwijaya Air ke Garuda Makin Pelik

utang sriwijaya air

Ajaib.co.id – Kabar soal Sriwijaya Air yang memisahkan diri dengan Garuda Indonesia sempat mengguncang pergerakan harga emiten ini di pasar modal beberapa waktu lalu. Kalau kamu penasaran dengan pangkal masalah perpisahan ini maka jawabannya adalah utang Sriwijaya Air. Simak kronologinya agar paham lebih jauh soal skandal dunai penerbankan domestik ini.

November tahun 2018 lalu, Garuda Indonesia lewat anak perusahaannya Citilink mengambil alih sistem operasional dan manajemen keuangan Sriwijaya Air. Lantaran utang Sriwijaya Air, maskapai penerbangan yang dibangun oleh pengusaha Chandra Lie bersama kawan-kawannya di tahun 2003 menanti nasib baru.

Kerjasama operasi ini ditujukan untuk membantu Sriwijaya Air group memperbaiki kinerja operasi dan keuangan, termasuk dalam memenuhi kewajiban mereka terhadap pihak ketiga yang diantaranya ada pada lingkungan Garuda Indonesia Group. Harapannya kerja sama ini dapat memperluas segmen market, network, kapasitas dan kapabilitas Citilink.

Di sisi lain, sinergi ini juga dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Sriwijaya Group pada salah satu anak Perusahaan Garuda Indonesia. Srwijaya memang diketahui memiliki utang perusahaan pada penerbangaan yang berada di bawah pengelolaan Kementerian BUMN ini.

Sayangnya, kerja sama ini kemudian berakhir setahun kemudian alias pada tahun 2019. Pasalnya, Sriwijaya Group menilai justru merugi dalam kerja sama dengan Garuda Indonesia. Alasannya, terlalu banyak konflik kepentingan antara anak perusahaan Garuda Indonesia dengan Sriwijaya lewat kerja sama itu.

Alih-alih memperbaiki kondisi keuangan Sriwijaya, performa Sriwijaya justru tidak bertambah baik di bawah manajemen yang diambil alih oleh Garuda Indonesia melalui PT Citilink Indonesia. Hal ini karena pengelolaan yang dianggap tidak efisien dan ada pemborosan yang tidak perlu.

Ujung dari kisruh ini adalah Garuda Indonesia memberikan instruksi mendadak kepada semua anak perusahaannya, yakni PT GMF Aeroasia, PT Gapura Angkasa dan Aerowisata untuk memberikan pelayanan kepada Sriwijaya, dengan syarat pembayaran tunai di muka. Jika tidak, maka mereka dilarang memberikan pelayanan dan perawatan pesawatan kepada Sriwijaya.

Manuver Sriwijaya Air Membuat Tensi Naik

Tensi di antara Garuda Indonesia Group dan Sriwijaya Air sempat meninggi akhir-akhir ini. Garuda dibuat berang saat Dewan Komisaris Sriwijaya Air melakukan perombakan jajaran direksi. Wakil Garuda yang berada di jajaran tersebut dicopot oleh Dewan Komisaris.

Tidak berhenti di situ, Garuda dan dua entitas BUMN lainnya menggelar rapat terbatas. Kepada media, Ikhsan Rosan selaku Vice President Corporate Secretary Garuda menginginkan Sriwijaya tetap bersama Garuda Group. Ikhsan menambahkan performa Sriwijaya di bawah Garuda justru terbukti lebih baik.

Reaksi Garuda terhadap kelakuan Dewan Komisaris Sriwijaya Air masuk akal. Piutang yang dimiliki Garuda terhadap Sriwijaya terbilang besar. Apalagi, belum lama ini Garuda memiliki masalah dalam laporan keuangan tahun 2018 yang diduga dimanipulasi.

Garuda sempat menyatakan bahwa kinerja keuangan maskapai BUMN tersebut berhasil keluar dari zona merah. Dalam laporan keuangan tersebut, Garuda mengklaim bahwa mereka mencatat laba bersih senilai US$809,84 ribu. Pada kenyataannya, angka tersebut didapat karena akuntan dari Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk Garuda memasukkan piutang atas PT Mahata Aero Teknologi (Mahata) sebagai surplus.

Hasil dari polesan data tersebut membuat internal Garuda semakin memanas. Chairal Tanjung dan Dony Oskaria selaku komisaris menolak menandatangani laporan keuangan tersebut. Hal yang tentu saja juga berdampak

Kembali ke ribut-ribut Sriwijaya Air dan Garuda Indonesia, pegawai Sriwijaya dikabarkan khawatir dengan isu pemecatan. Sehubungan dengan utang Sriwijaya Air yang masih membumbung tinggi, Sriwijaya boleh jadi akan melakukan perampingan karyawan untuk menghemat anggaran dan melunasi uang yang dipinjamnya.

Utang Sriwijaya Air ke Garuda Indonesia, Apakah Ada Solusinya?

Sriwijaya sebenarnya terdaftar sebagai maskapai Kategori 1 atau maskapai dengan standar keamanan operasional yang terpercaya. Sriwijaya Air termasuk maskapai dalam negeri yang jarang mengalami kecelakaan. Bahkan jika dibandingkan maskapai lainnya, tingkat kepercayaan publik juga cukup tinggi.

Sayangnya, kiprah Sriwijaya Air di dunia penerbangan Indonesia menemui hambatan. Hal ini terbukti dari utang Sriwijaya Air cukup besar kepada 3 entitas BUMN. Mereka adalah Garuda Indonesia Group, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Pertamina.

Diketahui, Garuda memiliki piutang hampir sebesar Rp 2 triliun atas Sriwijaya. Hampir setengahnya adalah utang untuk biaya maintenance pesawat kepada PT Garuda Maintenance Facility AeroAsia Tbk yang juga dikenal dengan kode saham GMFI. GMFI adalah anak perusahaan milik Garuda yang berfokus pada perawatan, pemeliharaan, dan perbaikan pesawat.

Selain itu, tercatat kewajiban yang belum dibayarkan Sriwijaya ke PT Pertamina (Persero) sebesar Rp 942 miliar, PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) sebesar Rp 585 miliar, utang spare parts senilai US$ 15 juta, dan kepada PT Angkasa Pura II senilai Rp 80 miliar, serta PT Angkasa Pura I sebesar Rp 50 miliar.

Langkah Garuda Indonesia mengambil alih operasional Sriwijaya Air dan NAM Air dilakukan karena Sriwijaya belum mampu membayar lunas utang-utangnya. Emiten berkode saham GMFI ini melakukan segala upaya untuk menutupi efek negatif dari belum terbayarkannya utang Sriwijaya. Direktur Keuangan Garuda Maintenance Facility Edward Okky Avianto berencana melepaskan lebih banyak lagi porsi saham publik dan mengincar modal Rp500 miliar.

Namun dengan perpisahan ini agaknya Sriwijaya harus mencari jalan lain untuk melunasi utangnya. Hal ini main diperburuk dengan suramnya kondisi industri penerbangan akibat pandemi Corona. Hasilnya, Sriwijaya meminta utang perusahaan terhadap PT Garuda Indonesia Persero Tbk direstrukturisasi. Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson Irwin Jauwena mengatakan pihaknya akan menggandeng auditor keuangan independen untuk meninjau ulang tanggungan perusahaan terhadap BUMN.

Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi anak usaha Garuda Indonesia, Garuda Maintenance Facility (GMF), piutang perusahaan perusahaan di Sriwijaya Air tercatat senilai US$ 52,5 juta atau Rp 735 miliar dengan hitungan kurs Rp 14 ribu. Perusahaan mengenakan bunga atas keterlambatan pembayaran sebesar 0,1 persen per hari.

Lantaran bunga itu, utang perusahaan per November 2019 ditengarai membengkak menjadi Rp 850 miliar. Utang tersebut diklaim bertambah justru saat Sriwijaya Air menjalin kerja sama manajemen dengan Garuda Indonesia.

Akibat persoalan itu, Jefferson akan meminta auditor keuangan untuk menelaah sebab-sebab perusahaannya tak cuan. “Kami butuh auditor independen. Hasil audit itu yang akan menjawab mengapa utang kami justru bertambah karena itu yang sampai saat ini jadi pertanyaan kami,” tuturnya.

Artikel Terkait