Ajaib.co.id – Salah satu istilah teknis yang kerap muncul dalam dunia saham adalah backdoor listing. Apa artinya? Apakah hal itu sah di mata hukum?
Secara sederhana, backdoor listing dapat diartikan sebagai upaya untuk menjadi anggota bursa dengan membeli saham perusahaan yang terlebih dahulu tercatat di bursa. Dengan kata lain, backdoor listing adalah aksi akuisisi oleh perusahaan tertutup atau non-Tbk kepada perusahaan Tbk yang sahamnya telah tercatat di papan perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI).
Apakah hal tersebut legal dilihat dari aspek hukum? Belum ada aturan khusus yang mengatur mengenai aksi tersebut. Jadi, backdoor listing sah-sah saja dilakukan. BEI sendiri menyatakan, aksi tersebut yang terjadi di pasar modal bukanlah suatu hal tabu. Tidak ada yang salah dengan hal itu.
Pengamat pasar modal Reza Priyambada menyampaikan, umumnya backdoor listing dilakukan oleh suatu perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan ‘go public’ atau tidak mau perusahaannya dicampuri oleh masyarakat, namun ingin mendapatkan akses ke bursa.
Sejumlah kalangan menilai, hal tersebut merupakan cara paling mudah dan cepat bagi korporasi untuk masuk ke bursa karena tidak perlu melalui berbagai persyaratan yang cukup panjang untuk bisa mencatatkan sahamnya di bursa. Jadi, bukanlah aksi sembunyi-sembunyi, terlebih tipu-menipu.
Pada hakikatnya, backdoor listing bukanlah sesuatu yang buruk. Pelaksanaannya justru bisa memberi manfaat, seperti menambah probability dari organisasi agar suistain ke depannya.
Mekanismenya bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya melalui penambahan modal dengan memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau right Issue.
Inilah yang terjadi saat Perusahaan investasi PT Prime Capital Asia (PAC) resmi menjadi pemegang saham pengendali PT Mitra Investindo Tbk (MITI) dengan porsi kepemilikan hampir 70% setelah mengeksekusi haknya.
Sebelum backdoor listing ini, PT PAC telah menjadi pembeli siaga (standby buyer). Selanjutnya, PT PAC menyerap saham rights issue yang tidak dieksekusi oleh pemegang saham eksisting MITI.
Meski tidak dilarang dari aspek hukum, backdoor listing bisa menimbulkan masalah. Masalah yang dimaksud ialah kerap kali dimanfaatkan oleh para pemilik modal untuk memiliki saham ‘gorengan’.
Saham emiten yang menjadi korporasi baru itu umumnya akan ‘dikelola’ sehingga melonjak tinggi. Masalah ini bermula karena tidak melewati semacam ‘saringan’ seperti saat proses IPO.
Menurut Reza, usai backdoor listing, emiten biasanya siap ekspansi, terutama perusahaan dengan model bisnis baru. Namun, tidak ada jaminan prospek perusahaan yang backdoor listing bisa meraup cuan di masa depan. Tak heran bila ada anggapan beberapa pemilik modal menjadikan aksi tersebut sebagai wadah untuk memiliki saham ‘gorengan’.
Namun harga tinggi saham tersebut berpotensi tidak akan bertahan cukup lama. Harga saham sperti itu biasanya akan kembali turun. Salah satu contoh penerapan yang kurang baik adalah saham PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO).
Awalnya, PT Hokindo Mediatama menyerap saham baru emiten ritel tersebut senilai Rp8,1 triliun. Selanjutnya, emiten yang sahamnya turut dimiliki oleh Benny Tjokro ini menjadi perusahaan properti. Benny Tjokro sendiri dikenal luas karena terseret kasus Jiwasraya di awal tahun 2020.
Beserta induk perusahaannya, yakni PT Hanson International Tbk (MYRX), saham RIMO kini terancam delisting karena telah disuspensi oleh BEI selama 12 bulan. Padahal, RIMO memiliki jumlah pemegang saham publik cukup besar, yaitu mencapai Rp35,3 miliar atau setara 78,3%.
Tapi, BEI menegaskan, suspensi beberapa perusahaan miliki Benny Tjokro, termasuk RIMO, bukan karena dirinya terseret kasus Jiwasraya. Suspensi tersebut dilakukan atas dasar fundamental emiten semata, seperti tidak menyampaikan informasi material terkait naik turunnya harga saham, keterlambatan laporan keuangan, dan ada kewajiban material yang belum dipenuhi.
Perhatian terhadap backdoor listing mencuat ke permukaan seiring dengan rencana aksi korporasi yang dijalankan emiten di bursa. Rencana aksi yang dimaksud adalah isu merger antara PT Indosat Tbk dan Hutchison 3 Indonesia (Tri). Isu merger tersebut berpotensi bermuara pada backdoor listing bagi Tri yang saat ini bukan merupakan perusahaan terbuka.
Tambah lagi, adanya kepemilikan negara di Indosat membuat isu ini mendapat perhatian cukup luas. Kekhawatiran ini pula yang dirasakan oleh Wakil Ketua Komisi VI Martin Manurung. Ia mengaku khawatir terhadap proses yang terjadi pada perusahaan Indosat dan Tri karena masih ada 14,6% saham Pemerintah di Indosat.
Pandemi Covid-19 telah menunjukkan potensi ekonomi digital di Indonesia, dan negara harus mendukung pengembangan teknologi 5G. Bila merger Tri-Indosat dapat mempercepat transformasi infrastruktur digital, tentu sisi positif ini harus didukung.
Namun tentu saja dukungan itu tidak bisa lepas dari kondisi riil yang dihadapi saat ini yakni kepentingan masyarakat yang diwakili negara tetap terjamin dalam rangkaian merger dan konsolidasi industri.
Sebenarnya, ketiadaan adanya aturan yang jelas mengenai praktik backdoor listing di Indonesia menimbulkan ketidakpastian sendiri. Ketidakpastian tersebut mencakup hal-hal teknis, seperti akuisisi perusahaan publik.
Meski mengandung plus dan minus, pengamat ekonomi dan keuangan Yanuar Rizky mengatakan, perlindungan investor menjadi hal yang mutlak diberikan oleh otoritas bursa. Kewajiban penawaran tender wajib (tender offer) sebenarnya merupakan mekanisme yang baik untuk melindungi kepentingan investor yang tidak setuju dengan rencana aksi korporasi melakukan backdoor listing.
Memang, tidak selalu backdoor listing membuat rugi para pemegang sahamnya. Potensi kesuksesan akan selalu ada bagi emiten yang telah melalui backdoor listing di masa depan.