Ekonomi

AS vs China, Bagaimana Dampaknya Bagi Indonesia?

Sumber: Pixabay

Ajaib.co.id – Hubungan Amerika Serikat (AS) dan China kerap menjadi perhatian publik dalam beberapa tahun belakangan ini. Apalagi kalau bukan soal perang dagang di antara kedua negara tersebut. Perang dagang AS vs China tersebut berpengaruh pada lingkup regional dan bahkan global. Apakah keduanya hanya berseteru dalam lingkup perdagangan?

Perang dagang AS dan China telah menjalar ke berbagai aspek lainnya. Salah satunya adalah teknologi. Belum lama ini, misalnya, pemerintahan Biden menambahkan tujuh perusahaan superkomputer China ke dalam daftar entitas yang tidak dapat dijual oleh bisnis AS tanpa izin khusus.

Kebijakan ini merupakan perluasan dari tindakan keras yang dimulai di bawah Presiden Donald Trump. Sebelumnya, mantan Presiden AS Donald Trump menetapkan kebijakan pembatasan ekspor ke sejumlah perusahaan asal China, seperti Huawei Technologies Co. Melalui kebijakan terbaru ini, pemerintahan Biden telah mengindikasikan bahwa strateginya akan secara luas serupa dengan pendahulunya. 

Sejak kapan hubungan dagang antara AS dan China memanas? Perang dagang bermula saat Presiden AS terdahulu Donald Trump kesal dengan neraca perdagangan negaranya yang selalu defisit dengan China. Kemudian, ia memilih langkah proteksionisme untuk memperbaiki neraca perdagangan AS.

AS di bawah kepemimpinan Donald Trump memiliki slogan “America First” (BBC, 2017). Melalui slogan tersebut, tersirat keinginan AS untuk menjadi yang terbaik dan menjadi negara nomor satu di dunia.

Namun, China muncul sebagai salah satu negara “great power”, terutama dalam konteks kapasitas militer dan kemampuan ekonomi yang sangat kuat. Tak pelak, China dianggap menjadi rival bagi AS dalam berbagai sektor, termasuk perdagangan.

Rivalitas dagang antara AS vs China telah dibawa ke lingkup internasional, seperti WTO. Kedua negara tersebut juga beberapa kali mengadakan pertemuan bilateral. Sayangnya, belum ada solusi hingga saat ini.

Perseteruan dagang antara AS vs China mulai mereda pada pertengahan Januari 2020. Saat itu, AS dan China meneken kesepakatan damai dagang fase I. Salah satu poin dalam kesepakatan damai dagang itu ialah China setuju membeli barang dari AS senilai US$200 miliar.

Pembelian barang AS itu kemudian bertambah US$32 miliar untuk produk pertanian dan makanan laut, hampir US$78 miliar untuk barang-barang pabrik, seperti pesawat, mesin, dan baja. Tambah lagi sebesar US$52 miliar untuk produk energi.

Meski perjanjian ‘damai’ fase I telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, AS tetap akan mengenakan tarif atas barang impor China hingga ada perjanjian fase II. Namun, belum ada pembahasan lebih lanjut mengenai kesepakatan dagang fase II. 

Rivalitas AS dan China dalam perang dagang memberikan dampak nyata terhadap negara-negara di dunia, termasuk negara-negara anggota ASEAN. Berdasarkan lokasinya, ASEAN merupakan pusat pasar yang dinamis di daerah Pasifik.

Dengan adanya perang dagang AS-China, ASEAN diprediksi mengalami collateral damage. Hal ini, misalnya, bisa dilihat dari setiap ekspor China ke AS yang berkurang 10% berpotensi mengurangi setidaknya 1,1% pertumbuhan ekonomi negara-negara di ASEAN. 

Memang, perang dagang antara AS dan China memberikan dampak nyata terhadap stabilitas negara-negara anggota ASEAN, terutama dalam masalah ekonomi. Dampak rivalitas dagang AS-China akan semakin terasa pada negara-negara yang sebagian besar kegiatan ekspornya ditujukan kepada kedua negara tersebut, seperti Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Thailand.

Vietnam dan Malaysia, misalnya, melakukan ekspor terbanyak ke AS dan China. Selain itu, Singapura, Malaysia, dan Thailand memiliki sektor produksi yang cukup besar yang terintegrasi dengan jaringan global. Kegiatan produksi di negara-negara tersebut dapat terganggu dengan tarif yang diberlakukan terkait rivalitas AS-China. 

Namun, pemberlakuan tarif ini juga dapat menguntungkan beberapa negara di ASEAN, seperti industri kimia Malaysia dan sektor barang konsumsi Vietnam. Di samping itu, tarif yang diberlakukan China terhadap barang primer AS dapat membantu eksportir buah Thailand dan pemilik peternakan sapi Myanmar untuk mengambil keuntungan dari pasar.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia disebut belum mendapat manfaat sebanyak yang diperoleh negara-negara tetangga di Asia akibat ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Hal ini karena partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global masih belum terlalu besar. 

Padahal, globalisasi produksi secara keseluruhan dapat membantu perekonomian dan tenaga kerja, maupun meningkatkan kesadaran terhadap alam lingkungan dan perubahan iklim, sehingga turut berkontribusi bagi pencapaian Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Studi bersama ADB dan Bank Pembangunan Islam (IDB) sebelumnya menyatakan Indonesia perlu menata ulang strategi industri untuk mendorong integrasi dalam jaringan produksi global dan menikmati manfaat jangka panjang dari perdagangan dunia.

Kesimpulannya, dampak negatif lebih dirasakan oleh negara-negara anggota ASEAN di tengah persaingan dagang AS-China. Bila demikian, apakah negara-negara anggota ASEAN berdiam diri menjadi ‘penonton’ dalam rivalitas dagang antara AS dan China? Tentu tidak.

Negara-negara anggota ASEAN akan terus berupaya untuk mencari solusi terhadap dampak perang dagang AS-China. Sebagai wadah kerja sama multilateral, negara-negara anggota ASEAN tetap berupaya menyeimbangkan kepentingan negara anggotanya di tengah rivalitas kedua negara tersebut.  

Dalam menangani dampak perang dagang AS-China, contohnya, ASEAN berusaha meningkatkan kerja sama dengan enam negara lainnya yang tergabung dalam Regional Comprehensive Economic Forum (RCEP). RCEP bekerja sama dalam meningkatkan perdagangan serta investasi.

Kerja sama itu diharapkan dapat memperkuat ekonomi negara-negara anggotanya. Kerja sama dipandang sebagai cara yang paling efektif dalam menghadapi dampak buruk yang terjadi, terlebih rivalitas antara AS dan China yang berkaitan dengan ekonomi telah menjadi permasalahan sejumlah negara.

Artikel Terkait