Berita, Saham

Joe Biden, Kebijakannya dan Pengaruh Terhadap Pasar Modal

President Joe Biden delivers remarks on COVID-19 at The Queen theater on October 23, 2020 in Wilmington, Delaware. (Photo by Angela Weiss / AFP) (Photo by ANGELA WEISS/AFP via Getty Images)

Joseph Robinette Biden Jr. atau yang dikenal luas sebagai Joe Biden, lelaki berusia 78 tahun dari partai Demokrat yang telah malang melintang di dunia perpolitikan Amerika Serikat selama empat dekade lebih itu akhirnya menang melawan incumbent presiden Donald Trump.

Pada tanggal 20 Januari 2021 Joe Biden dan Kamala Harris resmi menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih Amerika Serikat selama empat tahun ke depan.

Poling survei yang dilakukan oleh Morning Consult/Politico menunjukkan bahwa hal yang paling pertama dipikirkan para pemilih adalah tentang kecakapan dalam penanganan virus corona untuk memulihkan ekonomi. Hasil survei menunjukkan para pemilih lebih mempercayai Biden daripada Presiden Trump dalam hal penanganan wabah virus corona.

Biden memang cukup fokus dalam hal ini. Ia juga merupakan salah satu pihak paling pertama yang mendapatkan suntikan vaksin COVID-19. Beliau mengusulkan dalam kampanyenya untuk meningkatkan pembiayaan untuk pengujian virus corona, pelacakan kontak dari mereka yang tertular dan mengisolasi dan merawat semua yang sakit diakibatkan oleh virus tersebut.

Beliau juga memaksa para gubernur, walikota dan para eksekutif county untuk mengeluarkan mandat yang mewajibkan masyarakat menggunakan masker di tempat umum. Ditambah lagi janji distribusi 100 juta vaksin dalam 100 hari pertama masa pemerintahannya.

Paket stimulus sebesar US$1,9 triliun (setara Rp2600 triliun) digelontorkan untuk program percepatan pemulihan pasca COVID-19 untuk merangsang ekonomi. Paket tersebut sudah termasuk anggaran US$20 miliar (Rp280 triliun) untuk program vaksinasi nasional.

Kebijakan yang diluncurkan Biden sangat beragam mulai dari perjuangan untuk mengubah program dana pensiun IRA dan 401k, perubahan pada pinjaman pelajar, regulasi antitrust pada perusahaan teknologi, dan lain sebagainya.

Yang akan dicakup dalam artikel ini adalah seputar kebijakan terkait ekonomi dan pengaruhnya terhadap pasar modal global, negara berkembang dan Indonesia.

Kebijakan Biden Terkait Ekonomi dan Pasar Modal

Sebagian besar kebijakan yang diambilnya pasca menduduki White House bertolak belakang dengan yang dilakukan Trump. Misalnya saja kebijakan pembatalan pembangunan tembok besar yang memisahkan Mexico dengan U.S. dan menaikkan pajak serta mendukung gerakan green energy.

Berbagai kebijakan yang dilancarkan kebanyakan adalah untuk mendukung kebutuhan kaum kelas menengah dan kelas pekerja Amerika. Memang kedua kelas ekonomi itulah basis pendukung nomor satu Biden sejak ia menjabat sebagai wakil presiden di era kepresidenan Barrack Obama.

  • Pajak dan Pasar Saham

Biden mengusulkan kepada kongres untuk menaikkan pajak korporat dari 21% menjadi 28%. Tak berhenti sampai di sana, Biden juga mengejar pajak yang lebih besar dari mereka yang berpenghasilan tinggi. Biden mengajukan kenaikan pajak progresif penghasilan dari 37% menjadi 39,6% kepada warga Amerika yang berpenghasilan US$ 400.000 (Rp 5,2 miliar) atau lebih. Mereka yang memiliki penghasilan lebih dari US$1 juta per tahun juga akan membayar 39,6% atas hasil investasinya.

Ide menaikkan pajak ditentang dan didukung berbagai pihak. Sebelumnya di tahun 2017 presiden Trump menurunkan pajak korporat dari 35% menjadi 21%. Pasar saham Amerika berterima kasih atas pemotongan pajak karena lababersih perusahan meningkatkan EPS dan harga saham emiten penghuni bursa saham S&P 500 terapresiasi.

Biden mengelak bahwa yang ia utamakan saat ini adalah pemulihan warga Amerika dari dampak pandemi dan bukannya menaikkan pajak. Rencana menaikkan pajak ini belum akan terlaksana jika usulannya belum disetujui kongres. Dialog terbuka juga diadakan dengan para pemimpin bisnis A.S. dan pengambilan keputusan belum sampai ke tahap final.

Michael Hammelburger, CEO dari The Bottom Line Group di Baltimore mengatakan bahwa kenaikan pajak akan mengurangi pendapatan bersih namun membuat ekonomi lebih kokoh. Kemungkinan rencana kenaikan pajak sangat mungkin terlaksana karena negara telah kehilangan banyak uang karena pandemi. Dan dalam beberapa bulan ke depan kita menghadapi masa pemulihan dengan melakukan vaksinasi pada sebagian besar penduduk.

Goldman Sachs memperkirakan dampak dari kenaikan pajak korporat dan pajak penghasilan dari mereka yang berpenghasilan jumbo akan mengurangi EPS emiten-emiten penghuni S&P 500 hingga 12%. Dengan demikian pasar saham Amerika diprediksi akan menjadi kurang menarik selama pemerintahan Biden.

  • Cita-cita Energi Bebas Polusi Karbon

Presiden Biden telah mengusulkan sebuah rencana ambisius untuk membuat Amerika menjadi negara dengan energi bebas polusi karbon di tahun 2050. Pembangunan industri nol-emisi karbon dicanangkan tercipta di tahun 2035.

Biden berencana mencekal izin perusahaan baru yang bergerak dalam bisnis pengeboran gas alam dan minyak. Para analis memperkirakan pembatasan produksi akan memperkecil pasokan dan menaikkan harga minyak.

Masa pemerintahan Donald Trump sangat ramah terhadap para produsen bahan bakar fosil. Trump telah mengeluarkan AS dari Perjanjian Paris 2015 yang bertujuan membantu mengurangi perubahan iklim. Biden kini berencana untuk bergabung kembali dengan kesepakatan tersebut.

Biden mengatakan bahwa dalam 100 hari pertama pemerintahannya, dia ingin menjadi tuan rumah KTT iklim dunia dan menginspirasi negara-negara untuk lebih ramah lingkungan. Cita-cita Biden adalah untuk memerangi perubahan iklim. Biden menjanjikan insentif ke perusahaan-perusahaan pembangkit listrik untuk beralih ke sumber energi bebas karbon.

Tujuannya adalah membuat industri pembangkit listrik dengan nol emisi di tahun 2035 dan seluruh ekonomi A.S. yang menghasilkan nol emisi di tahun 2050. Ia juga ia mendukung para produsen mobil untuk memproduksi lebih banyak kendaraan listrik dan ia hendak melakukan upgrade ke jutaan bangunan di Amerika untuk membuatnya lebih efisien energi. Hal ini sejalan dengan prediksi PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) tentang apa yang perlu dilakukan untuk menghindari dampak buruk perubahan iklim.

Biden juga mengatakan akan mengusahakan pemotongan subsidi pajak untuk perusahaan-perusahaan yang memproduksi bahan bakar fosil dan melarang fracking di tanah milik negara.

Biden juga mengindikasikan ia akan lebih banyak melakukan pembatasan energi fosil, termasuk produksi shale. Biden mengindikasikan bahwa dia dapat menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran dan pelonggaran sanksi yang dapat menyebabkan lebih banyak perdagangan minyak yang melibatkan negara Islam itu.

Analis Morningstar, Caldwell, mengatakan bahwa dampak langsung dari kebijakan ini akan membuat nasib industri minyak dan gas menjadi tak menentu. Dukungan yang agresif terhadap energi yang dapat diperbaharui masih tetap akan meninggalkan banyak permintaan atas bahan bakar fosil dalam beberapa tahun ke depan.

Untuk saat ini dunia yang belum bisa bertahan tanpa bahan bakar fosil akan merasakan kurangnya pasokan minyak dan gas. Limpahan permintaan minyak dan gas akan beralih ke negara-negara lain termasuk ke Indonesia.

Kebijakan lainnya:

  • Pemberian US$ 1.400 (Rp 19 juta) untuk usaha kecil menengah dan $225 miliar dolar agar sekolah dan penitipan anak dibuka kembali dengan mematuhi protokol kesehatan yang aman.
  • Menaikkan upah minimum menjadi US$ 15 per jam (Rp 210 ribu). Namun hal ini menimbulkan pertentangan di mana tak banyak perusahaan yang mampu menggaji dengan upah minimum sebesar itu. Hal ini disinyalir akan menguntungkan 1 juta warga Amerika yang menganggur dan memiliki skill. Namun pekerjaan yang akan hilang diperkirakan ada sebanyak 1,3 juta jumlahnya.
  • Investasi besar-besaran di sektor infrastruktur dan industri kendaraan khususnya kendaraan ramah lingkungan.

Pasar Modal Negara Berkembang

Pasar saham di negara-negara berkembang khususnya di Asia dapat diuntungkan dari kepresidenan Biden yang mengarah pada kebijakan perdagangan internasional yang lebih stabil. Berkurangnya ketidakpastian geopolitik akan menarik lebih banyak investor ke aset Asia. Pasar modal Asia menguat berkat respons kesehatan masyarakat yang kuat di kawasan Asia terhadap pandemi COVID-19.

Selain itu resminya Joe Biden terpilih sebagai presiden Amerika Serikat akan menjadi katalis positif untuk pasar obligasi dan saham pasar negara berkembang seperti Indonesia.

Paket stimulus senilai USD 1,9 triliun yang terdiri dari bansos tunai, peningkatan upah minim, akselerasi produksi vaksin dinilai akan memicu kenaikan beban utang. Aksi jual obligasi AS telah membuat sebagian investor mengurangi kepemilikan surat utang dari Amerika dan beralih masuk ke aset-aset berisiko di emerging market seperti Indonesia.

Komitmen Federal Reserve untuk mempertahankan suku bunga acuan mendekati 0% untuk tahun-tahun mendatang tidak akan cukup untuk memacu kredit swasta dan pertumbuhan ekonomi dan atau untuk menghentikan stagnasi di bagian-bagian besar perekonomian AS. Dengan demikian obligasi negara dengan yield yang lebih baik seperti Indonesia akan menjadi terlihat lebih menarik dan dapat menarik minat para investor.

ETF iShares MSCI Emerging Markets yang berisikan aset-aset keuangan pasar negara berkembang telah terapresiasi sebanyak 8% sejak awal tahun, diduga kuat berkat kemenangan Biden meraih kursi nomor satu Amerika dan kebijakan yang dibawanya.  

Selama setahun ini sejak titik terendahnya di bulan Maret hingga Januari , iShare MSCI Emerging Market ETF telah naik 81%.

Para ahli percaya Biden akan mengambil pendekatan yang lebih dalam membina hubungan internasional yang telah kacau selama empat tahun terakhir di bawah Presiden Trump. Trump diketahui telah memicu banyak perselisihan dengan Eropa dan memulai perang dagang dengan China.

Pasa saham di pasar negara berkembang, terutama di Asia, dapat berkembang jika kepresidenan Biden membawa kebijakan perdagangan luar negeri dan internasional yang lebih stabil. Ini akan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih baik bagi perusahaan yang berkembang dengan pasti. Namun satu catatan tentang tarif impor dengan China, agaknya Biden kini berpihak kepada Trump.

Tarif Impor Dengan China

Presiden Trump telah menggunakan kekuasaannya untuk mendikte kebijakan perdagangan AS untuk menaikkan tarif pada importir barang-barang China. Trump juga memaksa China untuk berjanji membeli lebih banyak produk Amerika.

China menyetujui permintaan ini pada Februari dan melakukan pembelian barang dan jasa AS selama tahun 2020 dan 2021 dengan nilai $ 200 miliar lebih banyak dari pembelian di tahun 2017. Peterson Institute for International Economics mengamati bahwa pembelian tersebut hanya memenuhi 58% dari pembelian yang ditargetkan.

Sebelumnya Joe Biden pernah memperjuangkan aksesi China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tetapi baru-baru ini ia bersikap sebaliknya untuk “menghadapi perilaku kasar China dan pelanggaran hak asasi manusia”. Joe Biden sendiri akan mempertahankan tarif Trump atas impor dari China tetapi mengambil pendekatan yang lebih baik dalam menghadapi China di masa depan.

Biden mengatakan kepada New York Times bahwa dia tidak akan segera melakukan tindakan apa pun terhadap tarif Trump atas impor China senilai US$ 700 miliar.

Penutup

Kemenangan Biden sebagai orang nomor satu AS di tengah pandemi Covid-19 memang memberikan tantangan tersendiri. Penanganan yang tepat mesti diberlakukan meski harus mengakibatkan dampak ekonomi yang tak sedikit. Suplai uang M1 meningkat sebanyak lebih dari 34% secara year-on-year hingga bulan November 2020 saja yang berarti potensi inflasi yang besar menanti Amerika.

Berbagai kebijakan yang diluncurkan Biden dinilai sangat mahal harganya dan membuat pasar modal negara-negara berkembang seperti Indonesia menjadi terlihat jauh lebih menarik.

Artikel Terkait