Istilah free float, sebagaimana banyak istilah pasar saham lainnya, mungkin bukan hal yang kerap didengar oleh masyarakat awam. Namun bagi investor pasar modal, frasa ini adalah sesuatu yang sangat penting. Keberadannya mengindikasikan mekanisme yang berlaku di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Free float saham saat ini sedang menjadi pembicaraan pada saat pertama kali penerapannya pada 2018 silam. Hal ini karena adanya penyesuaian bobot indeks oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Indeks yang nantinya akan terpengaruh oleh kebijakan ini adalah Indeks LQ 45 dan IDX 30.
Namun sia-sia rasanya bicara lebih jauh jika kamu belum memahami dari dasar yang dimaksud dengan free float saham alias saham mengambang ini. Sederhananya, istilah ini mengacu pada jumlah saham minoritas yang beredar dan dapat ditransaksikan di pasar reguler.
Tujuan dan Penerapan Saham Free Float
Aturan soal free float sebenarnya relatif baru diterapkan oleh BEI dan sempat membuat heboh masyarakat investor saham. Tentu saja hal ini disebabkan akan kekhawatiran akan adanya pengaruh yang diakibatkan pada indeks yang berlaku di pasar saham ataupun fluktuasi harga yang terjadi.
Adapun, free float saham adalah jumlah persentase saham yang beredar yang bisa dibeli masyarakat dari sebuah perusahaan dengan status go public. BEI sebelumnya menetapkan jika perentase free float saham yakni sebesar 7,5% per emiten. Kala pertama kali ditetapkan, perusahaan yang belum memenuhi angka tersebut namun berstatus go public diharuskan melakukan aksi korporasi untuk menambah sahamnya. Bisa pula dengan memecah saham yang dimiliki alias stock split.
Penerapannya sebenarnya esensial bagi korporasi karena menjadi gambaran data seberapa tinggi peluang frekuensi volatilitas saham yang bersangkutan. Jika saham free float memiliki jumlah yang banyak maka jumlah frekuensi transaksinya cenderung tinggi namun tidak terlalu volatile atau bergerkan naik turun secara ekstrim.
Sebaliknya, jika jumlahnya rendah maka kecenderungan emiten korporasi tersebut kurang likuid. Bisa pula transaksinya cenderung jarang dan valotilitasnya ekstrem atau mudah naik dan turun tiap harinya.
Meski demikian, keberadaannya sebenarnya tidak berpengaruh besar pada aspek fundamental perusahaan yang melantai di bursa saham. Karena itu, jumlah lembar saham mengambang ini tidak bisa menjadi acuan untuk kinerja saham perusahaan tersebut.
Tujuan dari penerapan aturan ini oleh BEI sebelumnya adalah agar saham dengan free float lebih besar memiliki bobot yang lebih tinggi agar tercipta bobot yang “lebih adil”. Sayangnya, penerapannya di awal sempat membuat heboh pasar saham. Sesuatu yang sebenarnya normal karena perubahan apapun dikhawatirkan bisa berpengaruh pada harga saham, sesuatu yang juga normal adanya.
Nah, Free Float ini nantinya akan menjadi faktor tambahan yang diperhitungkan oleh BEI dalam menyusut bobot masing-masing emiten terhadap Indeks LQ45 dan Indeks IDX30. Rasionya dihitung dari perbandingan jumlah saham mengambang relatif terhadap total saham tercatat.
Sejumlah investor kelas kakap biasanya lebih suka pada pada emiten saham yang memiliki nilai saham mengambang besar. Alasannya karena ketika transaksi terjadi dan kepemilikan saham beralih biasanya tidak ada pengarus signifikan pada harga saham tersebut di bursa.
Selain itu, investor juga cenderung membeli saham yang bobotnya mendekati indeks pasar. Tujuannya tentu saja agar kinerja mereka paling tidak selalu diatas indeks pasar yang di Indonesia disebut dengan IHSG.
Adapun contoh emiten Big Caps yang terkena dampak dari penerapan Free Float adalah HMSP dan UNVR, di mana dengan adanya Penerapan Free Float, kedua emiten ini mengalami penurunan bobot pada indeks LQ45 sejak Februari 2019 lalu.
Apa Dampak dari Penerapan Free Float?
Dengan adanya rencana penerapan Free Float, maka akan terjadi adjustment (penyesuaian) dalam pembobotan khususnya bagi saham-saham yang berada dalam indeks LQ45 dan IDX30. Tujuannya sebagai gambaran riil nilai saham yang bisa diperoleh para investor, dengan mengecualikan nilai saham yang dimiliki pemegang saham pengendali.
Selain itu, dengan adanya Free Float ke depannya, diproyeksikan akan meningkatkan efisiensi portofolio dengan berkurangnya bobot saham yang dengan persentasenyayang rendah. Dengan kondisi tersebut, maka akan mendorong emiten-emiten untuk lebih meningkatkan jumlah saham free floatnya.
Penerapannya juga memiliki imbas pada iklim investasi reksa dana. Efek instan yang terjadi di market belakangan ini dikarenakan aturan ini menimbulkan kekhawatiran bagi beberapa pelaku Manajer Investasi atau yang kita kenal sebagai Hedge Fund.
Para Manajer Investasi di Indonesia akan cenderung bersikap melepas emiten yang memiliki jumlah saham mengambang yang rendah. Hal ini tidak mengherankan karena para Fund Manager memang menjadikan LQ45 dan IDX30 menjadi salah satu faktor pertimbangan dalam menyusun portfolio.
Ajaib merupakan aplikasi investasi reksa dana online yang telah mendapat izin dari OJK, dan didukung oleh SoftBank. Investasi reksa dana bisa memiliki tingkat pengembalian hingga berkali-kali lipat dibanding dengan tabungan bank, dan merupakan instrumen investasi yang tepat bagi pemula. Bebas setor-tarik kapan saja, Ajaib memungkinkan penggunanya untuk berinvestasi sesuai dengan tujuan finansial mereka. Download Ajaib sekarang.