Analisis Saham

AGRS Mulai Laba, Menarik Untuk Dipantau

AGRS Mulai Laba, Menarik Untuk Dipantau

Ajaib.co.id – Analisa saham PT Bank IBK Indonesia (AGRS) dinanti oleh sebagian orang yang terlanjur menjadi investor sejak pertengahan tahun 2019. Sebelumnya AGRS terlihat kurang menarik karena termasuk Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) tier I dengan modal inti di bawah Rp 1 triliun.

Namun semua berubah sejak terlihat adanya peningkatan harga saham yang signifikan diiringi naik kastanya AGRS menjadi emiten perbankan dengan modal inti lebih dari Rp 1 triliun sejak 2019. 

PT Bank IBK Indonesia Tbk (AGRS) mulanya bernama PT Bank Agris. Pada 31 Juli 2019, sang induk usaha pemilik Bank Agris, yakni Bank of Korea, memutuskan untuk menggabungkan/merger anak-anak usahanya yakni Bank Mitraniaga dengan Bank Agris.

Merger kemudian terlaksana dengan meleburnya Bank Mitraniaga ke dalam Bank Agris. Kemudian Bank Agris yang menjadi entitas hasil penggabungan, diubah namanya oleh sang induk usaha menjadi Bank IBK Indonesia. Adapun Bank Mitraniaga kemudian secara hukum dibubarkan operasionalnya tanpa likuidasi.

Hasil merger membuat Bank IBK Indonesia naik kasta masuk ke dalam kategori Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) jenis kedua. BUKU II menandakan bahwa modal inti bank adalah antara Rp 1 triliun-5 triliun. Saat ini manajemen Bank IBK Indonesia berencana untuk masuk ke jajaran bank BUKU III yang ditandai dengan kepemilikan modal inti antara Rp 5-30 triliun.

Profil Emiten

PT Bank IBK Indonesia Tbk (AGRS) adalah perusahaan yang kegiatan utamanya adalah menyediakan jasa perbankan. Produk bank ini juga memberikan layanan tabungan, deposito, pinjaman perumahan dan modal kerja.

Telah berdiri sejak tanggal 7 Desember 1970, kini IBK Indonesia sudah memiliki cabang di berbagai kota di Indonesia, seperti Lampung, Surakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Palembang, Bandung, Pontianak dan Pekanbaru.

Pada tanggal 22 Desember 2014 perusahaan melakukan penawaran perdana sahamnya di papan pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham AGRS. Dengan jumlah saham beredar sebanyak 1.154.923.542 lembar di harga Rp 300 per lembar, maka kapitalisasi pasarnya adalah sebesar Rp 3,21 Triliun.

Sebesar 97,5% saham beredar AGRS dikuasai oleh Industrial Bank Of Korea, sedangkan sisanya yakni 2,5% beredar di masyarakat.

Kinerja Pada Laporan Keuangan Terakhir

Di bawah ini adalah laporan berdasarkan laporan keuangan AGRS per Maret 2021.

1Q21 1Q20 Perubahan (%)
Pendapatan
Bunga Bersih
70,62 miliar 48,33 miliar 46,12%
Aset Produktif 5,13 triliun 4,29 triliun 19,49%
Laba/Rugi Bersih 18,8 miliar -168,6 miliar 111,16%
Total
Penerimaan
Dana
6,54 triliun5,54 triliun 17,94%
Kredit
Bermasalah
295 miliar 4,29 triliun -93,13%
Kredit Macet 191,16 miliar 269 miliar -28,96%

Dibandingkan dengan keadaan di kuartal 1-2020, kinerja AGRS per kuartal 1-2021 membaik dengan peningkatan pendapatan bunga bersih sebesar 46,12% menjadi Rp 70,62 miliar dari sebelumnya di kuartal yang sama di 2019 yakni Rp 48,33 miliar saja. Kenaikan ditopang utamanya oleh penurunan beban bunga dari Rp 160,6 miliar menjadi Rp 146,9 miliar saja.

Aset produktif yang disalurkan menjadi kredit juga meningkat sebanyak 19,49% menjadi Rp 5,13 triliun dari sebelumnya hanya Rp 4,29 triliun saja di kuartal I-2020. Total penerimaan dana yang terdiri dari modal inti dan dana pihak ketiga naik 17,94% menjadi Rp 6,54 triliun dari sebelumnya hanya Rp 5,54 triliun di Kuartal I-2020. 

Peningkatan ini terjadi seiring dengan meluasnya vaksinasi yang menjadi harapan berakhirnya pandemi. Situasi di tahun 2021 tentu jauh lebih kondusif dibandingkan dengan apa yang terjadi di tahun 2020. Di bottom line, untuk pertama kalinya sejak 2017, AGRS membukukan laba yakni sebesar Rp 18,8 miliar. Sebelumnya di Kuartal I-2020 emiten saham bank IBK membukukan rugi bersih sebesar Rp 168,6 miliar.

Perbaikan situasi juga berdampak pada penurunan angka kredit bermasalah sebanyak 93,13% yang terdiri dari kredit-kredit restrukturisasi. Per kuartal I-2020 jumlah kredit bermasalah, termasuk kredit macet, adalah sebesar Rp 4,29 triliun, berkat kebijakan restrukturisasi kredit dari pemerintah angka kredit bermasalah bisa turun menjadi hanya Rp 295,04 miliar saja per kuartal I-2021. Berikut rasio-rasio CAMEL yang dapat disampaikan:

1Q21 1Q20
CAR 29,43% 23,09%
NPL Neto 3,73% 0,71%
NIM 1,38% 1,13%
LDR 78,46% 77,44%

Bisnis perbankan sejatinya adalah tentang penghimpunan dana dari pihak ketiga dan kemudian menyalurkannya dalam bentuk kredit kepada masyarakat. Pendapatan operasional lainnya adalah termasuk transaksi kurs mata uang asing dan pengelolaan aset investasi.

Karena sifat bisnisnya yang unik maka metode penilaian perusahaan perbankan yang disarankan adalah dengan memperhatikan kinerja berdasarkan Capital, Asset Quality, Management, Earning dan Liquidity  atau yang disingkat dengan akronim CAMEL.

Yang pertama adalah tentang kecukupan modal dalam menutup risiko gagal bayar kredit yang diwakili oleh persentase CAR (Capital Adequacy Ratio). Masing-masing per Kuartal I-2021 dan 2020, CAR dari AGRS adalah sebesar 29,43% dan 23,09%. Keduanya jauh di atas dari yang disyaratkan oleh Bank Indonesia, yakni sebesar 8% saja.

Semakin besar angka CAR semakin baik karena menunjukkan kemampuan modal bank, yang terdiri dari modal inti dan modal pelengkap, yang tinggi dalam menghindari risiko apabila gagal kredit terjadi.

Kegiatan penyaluran kredit (LDR) mengalami penguatan dari 77,44% menjadi 78,46% per Maret 2021. Kemudian mengenai kredit bermasalah, rasio kredit bermasalah per total kredit meningkat menjadi 3,73% dari semula hanya 0,71%. Hal ini karena aset produktif lebih tinggi di tahun 2020. Namun dari sisi marjin laba bunga, rasio Net Interest Margin (NIM) AGRS meningkat menjadi 1,38% dari sebelumnya 1,13% saja dan inilah yang terpenting karena menunjukkan perbaikan dari sisi kinerja operasional. Selanjutnya terdapat rasio profitabilitas emiten per kuartal I tahun 2021 dan 2020.   

  1Q21 1Q20
NPM 7,77% -77,09%
ROA 0,17% -2,54%
BOPO 67,54% 76,87%

Marjin laba (NPM) keseluruhan dilihat dari laba akhir per total pendapatan. Adapun total pendapatan yang terdiri dari pendapatan bunga dan pendapatan operasional lainnya meningkat menjadi Rp 242,2 miliar dari sebelumnya hanya Rp 218,7 miliar. Dengan membukukan laba sebesar Rp 18,8 miliar, maka NPM nya adalah 7,77%. Sebelumnya di Maret 2020 emiten merugi dengan marjin rugi 77,09%.

Berikutnya mengenai efektifitas dalam menghasilkan profit, emiten membukukan laba per aset (ROA) sebesar 0,17%. Rasio ROA yang sehat menurut Bank Indonesia adalah sedikitnya 1,215%, di bawah itu masih baik namun jika berada jauh di bawah 0,99% maka dianggap bahwa bank tidak mampu memanfaatkan aset dengan baik sehingga laba yang dihasilkan belum mumpuni.

Mengenai efisiensi, biaya operasional rupaya telah berhasil diefisiensikan hingga turun ke 67,54% dari pendapatan operasionalnya. Rasio yang mengukur efisiensi beban operasional disebut dengan BOPO, dan per kuartal I-2020 adalah sebesar 76,87%.

Peningkatan Kinerja Emiten AGRS di Kuartal III 2021

Bukan hanya pada kuartal I, Bank IBK juga mengalami peningkatan kinerja di kuartal II 2021. Berdasarkan laporan kinerja kuartal III 2021 yang dirilis pada 5 November 2021, Bank IBK membukukan rugi bersih sebesar Rp2,04 miliar. Angka ini turun jauh jika dibandingkan periode yang sama pada tahun 2020 yang masih merugi Rp 97,5 miliar.

Penurunan kerugian ini sejalan dengan meningkatnya pendapatan perseroan, baik pendapatan bunga bersih maupun pendapatan non bunga. Net interest income (NII) bank ini sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini mencapai Rp235,4 miliar atau melonjak 88,7% dariRp 14,7 miliar pada  September 2020.

Sedangkan, pendapatan fee based income (FBI) bank ini juga naik cukup besar dari Rp5,4 miliar pada kuartal III 2020 menjadi Rp106,5 miliar pada kuartal III 2021.

Bukan hanya itu, emiten ini juga mencatatkan kerugian penurunan nilai aset meningkat dari Rp6,1 miliar menjadi Rp 43,12 miliar, beban tenaga kerja naik dari Rp 106,7 miliar menjadi Rp 113,7 miliar dan beban lainnya naik dari Rp 134 miliar ke Rp 196 miliar.

Pertumbuhan pendapatan bunga ini sejalan dengan meningkatnya penyaluran kredit. Di mana, selama pandemi ini, bank IBK mampu tumbuh solid yakni 13,9% secara year on year (YoY) dari Rp 4,95 triliun pada September 2020 menjadi Rp 5,64 triliun. Dibanding akhir tahun lalu juga tumbuh sebesar 10,5%.

Pertumbuhan ini juga diimbangi dengan adanya ekspansi dana. Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 25% YoY dari Rp 4,32 triliun ke Rp 5,4 triliun. Selain itu, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL)  gross Bank IBK juga mengalami penurunan dari 9,54% per September 2020 menjadi Rp 4,37% per September 2021. NPL net turun dari 3,93% ke level Rp 2,98%.

Riwayat Kinerja

Total Aset Aset Produktif DPK Modal Inti
2017 3,89 triliun 2,77 triliun3,28 triliun 501,6 miliar
2018 4,15 triliun 2,98 triliun3,48 triliun 474,1 miliar
2019 6,42 triliun 4,15 triliun4,86 triliun 1,27 triliun
2020 9,85 triliun 5,1 triliun4,87 triliun1,89 triliun
CAGR 36,29% 22,55% 14,03% 55,78%

Adapun total aset naik dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) sebesar 36,29%. Sayangnya penyaluran dari aset menjadi aset produktif tidak bertumbuh sepesat itu, melainkan hanya 22,55% saja CAGR-nya.

Dana pihak ketiga (DPK) yang terdiri dari simpanan nasabah berupa giro dan tabungan nilainya terus bertumbuh dengan CAGR sebesar 14,03%. Dari sisi modal inti terdapat peningkatan signifikan di tahun 2019 akibat penggabungan perusahaan antara Bank Agris dengan Bank Mitraniaga.

Dengan meningkatnya modal inti maka emiten punya cukup amunisi untuk menambah kecukupan modal atas aset tertimbangnya. Dengan kata lain peningkatan modal inti akan membuat emiten semakin dipercaya oleh nasabah dan pemegang saham.

  Pendapatan
Bunga Bersih
Laba Bersih Kredit Macet
2017 127,4 miliar -8,3 miliar 151,1 miliar
2018 133,9 miliar -31,1 miliar 191,9 miliar
2019 166,2 miliar -248,8 miliar 485,4 miliar
2020 169,7 miliar -176,8 miliar 262,3 miliar
CAGR 10,02% -177% 20,17%

Pendapatan bunga bersih naik dengan CAGR sebesar 10,02%. Peningkatan ini rata-rata disebabkan oleh efisiensi beban bunga, sedangkan peningkatan dari pendapatan bunganya tidak terlalu pesat setiap tahunnya.

Dari sisi profitabilitas emiten terus-terusan membukukan kerugian sejak tahun 2017. Beberapa tahun sebelum 2017 emiten memperlihatkan penurunan kinerja yang nampak dari semakin tipisnya laba yang berhasil dibukukan hingga akhirnya emiten terakhir kali membukukan laba adalah pada tahun 2016.

Penggabungan dengan Bank Mitraniaga di tahun 2019 malah memperbesar kerugian, namun uniknya kerugian turun menjadi Rp 176,8 miliar saja di akhir tahun 2020 dan pada Kuartal 1-2021 akhirnya emiten berhasil membukukan laba lagi sebanyak Rp 18,8 miliar. Ini adalah awal yang baik dan diharapkan hasil di akhir tahun 2021 bisa sepenuhnya positif.

Dari sisi kredit macet, yakni yang tak tertagih lebih dari 180 hari, nilainya sempat melonjak tiga kali lipat di tahun 2019 namun turun di tahun 2020 menjadi hanya Rp 262,34 miliar saja. Dengan tren naik yang baik, maka ekspektasi perbaikan kinerja akan tertumpu pada akhir tahun 2021. Berikut rasio-rasio yang dapat disampaikan:

CAR NIM ROA
2017 17,10% 4,59% -0,21%
2018 15,50% 4,49% -0,75%
2019 26,50% 4,00% -3,87%
2020 30,49% 3,32% -1,79%

Rasio CAR adalah rasio kecukupan modal atas aset tertimbang menurut risiko pasar, kredit dan operasional. CAR minimal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 8%, dan angka CAR emiten terus menguat setiap tahun. Hal ini berarti bahwa meski emiten merugi dalam operasionalnya selama ini namun risiko penurunan aset disebabkan oleh gagal bayar kredit dapat terelakkan dengan baik berkat kecukupan modal yang mumpuni.

Rasio marjin bunga bersih (NIM) yang didapat dengan membagi pendapatan bunga bersih dengan aset produktif menunjukkan penurunan. Hal ini menandakan bahwa kegiatan operasional emiten berlangsung kurang baik. Berikut uraian lebih lengkap mengenai rasio likuiditas dan efisiensi beban operasional:

  LDR BOPO
2017 73,27% 64,51%
2018 75,26% 61,05%
2019 67,66% 69,22%
2020 75,45% 60,73%

Melalui rasio loan to deposit (LDR), kita dapat melihat bahwa emiten telah melakukan pencadangan kerugian penurunan nilai yang baik. Adapun LDR yang disyaratkan adalah minimal 50%, lebih besar lebih baik karena menandakan volume kredit yang tinggi akan memberikan ekspektasi pendapatan yang baik juga di masa depan.

Namun jika LDR terlalu tinggi maka ketika emiten mengalami kasus gagal bayar maka emiten rentan likuidasi aset. Angka 60-70an persen adalah angka LDR yang cukup baik. Di sisi lain beban operasional setiap tahunnya berada pada kisaran 60-an persen. Dengan demikian kemampuan efisiensi beban emiten cukup baik.

Kesimpulan

Setelah emiten di-merger dengan Bank Mitraniaga pada tahun 2019 kredit bermasalah melonjak hingga 153% menjadi Rp 485 miliar. Namun perbaikan segera muncul dan pada akhirnya di Kuartal 1-2021 AGRS berhasil membukukan laba bersih pertama kalinya sejak terakhir mencetak laba di tahun 2016.

Laba yang berhasil dibukukan masih terbilang mini sekali yakni Rp 18,8 miliar, jika dibandingkan dengan asetnya maka laba hanya 0,17% dari asetnya. Namun ini adalah awal yang baik untuk ekspektasi kinerja yang lebih kuat di akhir tahun 2021.

Ekspektasi akan perbaikan kinerja nampaknya bukan omong kosong karena keadaan di tahun 2021 lebih baik dibandingkan awal pandemi di tahun 2020. Ekspektasi ini didukung oleh perbaikan situasi ditandai dengan penurunan kredit bermasalah sebesar 93% dibandingkan dengan jumlah kredit bermasalah di awal 2020.

Di sisi lain aset produktif yang terdiri dari kredit yang disalurkan, nilainya meningkat 19,49%. Meski ROA masih sangat tipis, 0,17%, di bawah yang dianjurkan oleh BI yakni 1,215% namun dari sisi kecukupan modal AGRS sangat aman.

CAR yang dimiliki adalah sekitar 20-an persen, yang disyaratkan BI hanya 8%. Intinya adalah meski laba tipis tapi investor AGRS tak perlu takut emiten akan mengalami kebangkrutan karena emiten punya cukup amunisi untuk menghadapi risiko gagal bayar kredit. Kegiatan penyaluran kredit adalah sekitar 70an persen dari total penerimaan dana. Kualitas kredit juga cukup baik dengan NPL neto di bawah 5%.

Cukup menarik untuk memantau AGRS mengingat di kuartal 1-2021 akhirnya emiten berhasil mencetak laba pertama kalinya sejak terakhir laba di tahun 2016. Ekspektasi meningkat didukung oleh situasi ekonomi yang lebih kondusif di tahun 2021. 

Apakah di akhir tahun 2021 kita akan dikejutkan dengan turn around (berbalik dari rugi menjadi laba)-nya AGRS? Mungkin saja.

Artikel Terkait