Banking

Suku Bunga Acuan BI dan Bedanya dengan Bunga Bank Biasa

Ajaib.co.id – Pernahkah kamu membaca judul berita yang mengatakan bahwa Bank Indonesia (BI) mengubah suku bunga acuan? Masyarakat sering mengabaikan perubahan bunga acuan BI, karena merasa tak ada hubungannya dengan bunga tabungan atau bunga kredit yang berlaku di bank umum. Padahal, naik-turun bunga acuan BI juga berpengaruh terhadap bunga bank biasa.

Pengertian Suku Bunga

Suku bunga adalah persentase tertentu dari pokok yang diberikan oleh debitur kepada kreditur sebagai balas jasa atas penggunaan uangnya. Pokok di sini adalah sejumlah uang yang dipinjamkan kreditur kepada debitur.

Sesuai dengan definisinya, suku bunga mempengaruhi biaya pinjaman. Oleh karena itu, suku bunga juga dapat mendorong ataupun memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Umpamanya jika bunga terlalu tinggi, perusahaan-perusahaan akan kesulitan membayar utang dan mungkin menghabiskan banyak uang untuk sekedar membayar bunga saja. Dalam situasi seperti itu, perusahaan akan enggan merekrut pegawai baru maupun berekspansi. Alhasil, pertumbuhan ekonomi negeri bakal melambat.

Sebaliknya jika bunga terlalu rendah, orang-orang akan enggan menyimpan dana di bank lokal. Salah satu contoh paling menonjol terjadi di Jepang yang saat ini memberlakukan suku bunga negatif. Suku bunga negatif membuat penabung dan investor merugi, sehingga malah mendorong arus dana investasi ke luar negeri.

Jadi, apakah suku bunga tinggi atau rendah yang lebih baik bagi perekonomian? Tidak ada patokan baku, karena tingkat bunga yang sesuai akan berbeda-beda tergantung situasi aktual. Di wilayah RI, Bank Indonesia bertugas mengelola suku bunga agar selaras dengan kondisi ekonomi terkini dan mampu mendorong pertumbuhan yang ditargetkan. Salah satu caranya dengan menentukan bunga acuan.

Mengenal Suku Bunga Acuan BI

Bank Indonesia (BI) dahulu menentukan bunga acuan dalam bentuk BI Rate. BI menentukan BI Rate dalam rapat dewan gubernur (RDG) sebulan sekali. Salah satu referensi utama dalam penentuannya adalah tingkat inflasi. Apabila tingkat inflasi naik, BI kemungkinan menaikkan BI Rate pula.

Sedangkan jika tingkat inflasi berkurang, BI kemungkinan akan menurunkan BI Rate. Tapi penentuan BI Rate yang sebulan sekali itu dianggap terlalu lamban (lagging) untuk merespons perubahan ekonomi.

Mulai 19 Agustus 2016, Bank Indonesia (BI) resmi menerapkan suku bunga acuan baru bernama BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebagai pengganti BI Rate. BI mengharapkan instrumen BI 7-Day (Reverse) Repo Rate sebagai bunga acuan baru memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang, bersifat transaksional atau diperdagangkan di pasar, dan mendorong pendalaman pasar keuangan.

Perubahan suku bunga acuan BI, baik BI Rate maupun BI7DRRR, akan mengubah bunga yang diterapkan pada dana bank-bank umum yang disimpan di BI maupun diperdagangkan antar bank. Dari sinilah bank sentral berupaya mengendalikan bunga yang diberlakukan oleh bank umum dan lembaga keuangan lain bagi masyarakat.

Seandainya bunga acuan BI meningkat, bank-bank umum akan cenderung menaikkan bunga deposito maupun bunga kreditnya. Sedangkan ketika menurun, bank-bank umum juga akan meneladani dengan memangkas bunga deposito dan bunga kredit masing-masing.

Jadi, tingkat bunga acuan memang tidak akan sama persis dengan bunga bank yang berlaku di masyarakat. Meski demikian, tren kenaikan dan penurunan bunga acuan akan diikuti oleh bunga bank umum.

Dampak Suku Bunga Bank Tinggi vs Suku Bunga Bank Rendah

Ketika suku bunga bank tinggi, perusahaan maupun individual akan segan untuk meminjam uang. Hal ini akan mengurangi permintaan konsumen, karena orang-orang enggan menggunakan kartu kredit. Hal ini juga akan mengurangi ekspansi bisnis, karena perusahaan-perusahaan enggan mengambil pinjaman produktif untuk menambah mesin atau mendiri pabrik baru.

Di sisi lain, orang-orang dan perusahaan akan beramai-ramai menyimpan dana mereka di bank atau dalam bentuk obligasi demi memperoleh bunga lebih tinggi.

Pada akhirnya, suku bunga yang terlalu tinggi dalam jangka waktu lama akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Ini lah alasan mengapa BI dan bank sentral dunia lain biasanya hanya menaikkan bunga acuan jika inflasi sudah meningkat lebih tinggi dari ekspektasi.

Suku bunga rendah memiliki dampak yang berlawanan bagi perekonomian. Ketika bunga rendah, orang-orang akan lebih ramai membeli real estate dan lebih royal saat menggunakan kartu kredit.

Perusahaan dari berbagai sektor juga akan lebih berani berekspansi, karena beban bunga pinjaman bank lebih ringan. Rekrutmen karyawan makin banyak, gaji terus bertumbuh, peluang bisnis baru pun menjamur.

Masyarakat akan menarik simpanan dan deposito mereka, karena bunga bank untuk nasabah penabung terlalu murah. Kemudian mereka akan mengalihkan dana surplus ke aset-aset investasi yang memberikan keuntungan non-bunga dan kemungkinan berisiko lebih tinggi. Aset investasi itu antara lain saham, P2P Lending, properti, dan lain sebagainya.

Pertanyaannya, jika suku bunga rendah itu menguntungkan, kenapa bank sentral tidak menerapkan bunga rendah saja untuk selamanya? Suku bunga rendah dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan inflasi meningkat. Permintaan orang-orang terhadap barang dan jasa melebihi kapasitas suplai, sehingga harga-harga naik. Fenomena ini dikenal sebagai demand-pull inflation dalam ilmu ekonomi.

Demi mengerem laju inflasi agar kenaikan harga-harga tak terlalu drastis, BI perlu menaikkan bunga acuan. Demikianlah siklus ekonomi berputar terus dan bagaimana peran bank sentral dalam pengelolaan bunga acuan akan mempengaruhinya.

Bagaimana kita menanggapi dinamika ini? Sebagai warga masyarakat, kita dapat memperhatikan pengumuman bunga acuan BI sebagai referensi untuk mengambil keputusan keuangan. Misalnya ketika akan mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR), menambah kartu kredit, dan lain sebagainya.

Bagi investor, pengumuman bunga acuan BI memiliki relevansi lebih tinggi lagi. Pengumuman ini akan mempengaruhi outlook saham, obligasi, deposito, dan beragam aset investasi lainnya. Ketika bunga acuan naik, deposito dan obligasi bisa jadi lebih menguntungkan. Sedangkan ketika turun, saham bakal berkinerja jauh lebih unggul.

Artikel Terkait