Ajaib.co.id – Bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserves (The Fed) telah memaparkan niatnya untuk melaksanakan tapering off pada kuartal terakhir tahun 2021 ini, sehingga memicu kekhawatiran di para pemain pasar besar dan kecil.
Bukan cuma investor saham dan trader forex saja yang ketar-ketir. Para investor juga bertanya-tanya, bagaimana dampak tapering off terhadap reksa dana? Untuk memahaminya, pertama-tama kita harus memahami apa itu tapering off.
Memahami Kekhawatiran Pasar Terhadap Tapering Off
Kebijakan “tapering off” adalah langkah bank sentral mengurangi stimulus moneter secara bertahap seiring dengan pemulihan ekonomi dari krisis. Kebijakan tapering off biasanya berupa pengurangan skala program pembelian obligasi oleh bank sentral, sehingga berdampak pada melambatnya pertambahan jumlah uang beredar.
Bank sentral selanjutnya mungkin menaikkan suku bunga untuk mengetatkan kebijakan moneter lebih lanjut, dalam tempo satu atau beberapa bulan setelah tapering rampung.
Kenaikan suku bunga acuan pasca-tapering ini bukanlah suatu hal yang wajib, tetapi cukup sering terjadi secara historis. Oleh karena itu, wacana tapering biasanya membangkitkan persepsi akan kemungkinan kenaikan suku bunga dalam waktu dekat.
Dampak tapering off terhadap pasar keuangan bersumber dari dua hal, yakni kekhawatiran akan melambatnya pertambahan jumlah uang beredar serta kemungkinan kenaikan suku bunga. Untuk memahaminya secara lebih konkrit, mari menelaah isu tapering off yang sedang viral.
Saat krisis pandemi COVID-19 merebak pada tahun 2020, Federal Reserve menanggapinya dengan memangkas suku bunga sampai nyaris nol serta meluncurkan program pembelian obligasi dengan skala USD120 miliar per bulan.
Keduanya berfungsi sebagai stimulus moneter yang dapat meningkatkan jumlah uang beredar, karena bank sentral berharap perbankan umum dan masyarakat akan lebih aktif membelanjakan uangnya untuk keperluan konsumtif maupun produktif.
Dengan bunga minimal, masyarakat kekurangan insentif untuk menyimpan uangnya di bank dan akan lebih memilih untuk berbelanja atau berinvestasi. Dengan pembelian obligasi, bank sentral secara tidak langsung memberikan dana bagi pemerintah dan perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan aktivitas ekonomi dan merekrut lebih banyak pegawai.
Seiring dengan berjalannya waktu, masa-masa krisis mulai berlalu. Aktivitas masyarakat pulih, orang-orang kembali ramai berbelanja di mall, pendapatan perusahaan-perusahaan meningkat, dan seterusnya. Konsekuensinya, stimulus moneter tak lagi diperlukan dan bank sentral perlu “menormalisasi” kebijakannya.
Normalisasi kebijakan tersebut tentu saja tidak dapat dilaksanakan secara mendadak. Di sini lah “tapering off” merebak. Federal Reserve berencana untuk mengurangi stimulus secara bertahap, dimulai dengan memangkas jumlah pembelian obligasi bulanan.
Saat eksekusi tapering off pertama kelak, The Fed mungkin hanya akan mengurangi jumlah pembelian obligasi bulanan sebesar USD10-20 miliar (dari jumlah saat ini USD120 miliar menjadi USD100 miliar-USD110 miliar).
Pengurangan lanjutan dapat berlangsung pada bulan-bulan berikutnya hingga skala pembelian obligasi mencapai jumlah tertentu yang dianggap normal oleh bank sentral. Bank sentral dalam situasi normal mungkin masih membeli obligasi, tapi dalam skala yang jauh lebih kecil.
Apa yang akan terjadi setelah tapering dinyatakan usai? Sebagian besar pemain pasar berharap The Fed selanjutnya akan menaikkan suku bunga. Namun, para pejabat The Fed sendiri telah menyatakan bahwa kebijakan tapering off dan suku bunga tidak berkaitan.
Kenaikan suku bunga dapat dilakukan sebelum maupun setelah program pembelian obligasi berakhir. The Fed juga bisa memutuskan untuk tidak menaikkan suku bunga sama sekali setelah tapering off.
Ini bukan pertama kalinya isu tapering The Fed mengemuka. The Fed di bawah kepemimpinan Ben Bernanke (2013) pernah melaksanakannya pula, kemudian memicu geger “taper tantrum” pada masa itu.
Para investor bereaksi keras terhadap rencana tapering bank sentral, sehingga yield obligasi pemerintah AS meroket dan bursa saham bergejolak. Di pasar valas, kurs dolar AS menguat sedangkan nilai tukar mata uang negara-negara berkembang justru merosot. Karenanya, rencana tapering The Fed kali ini juga jadi sorotan pasar.
Bagaimana Dampak Tapering Off Terhadap Reksa Dana?
Belajar dari dampak tapering terdahulu, The Fed saat ini sebenarnya sudah lebih bijak dalam mengkomunikasikan rencana kebijakannya. Sejumlah pakar berpendapat bahwa tapering off kali ini tidak akan berdampak sebesar dulu.
Namun ada pula yang berpendapat tapering off tetap akan berdampak pada sejumlah instrumen investasi, karena harga sejumlah aset investasi (khususnya komoditas dan saham) telah melambung berkat peningkatan jumlah uang beredar selama stimulus berlangsung.
Beberapa potensi dampak tapering antara lain: Yield obligasi dapat meningkat signifikan, sedangkan bursa saham dan nilai tukar Rupiah mungkin bakal tumbang. Apabila semua itu terjadi, reksa dana terkait juga akan terkena imbasnya.
- Reksa Dana Pasar Uang (RDPU)
Reksa dana pasar uang menginvestasikan pundi-pundi ke dalam deposito atau aset investasi lain yang memberikan bunga jangka pendek (di bawah 1 tahun). Hal ini menghasilkan produk RDPU yang berkinerja sekaligus berisiko lebih rendah dibandingkan aset-aset investasi lainnya.
Di tengah kekhawatiran pasar terhadap tapering, pergolakan RDPU juga kemungkinan paling minimal. RDPU masih menjadi pilihan terbaik baik investor yang ingin menyimpan uang dalam jangka pendek ataupun mengamankan dana daruratnya.
- Reksa Dana Pendapatan Tetap (RDPT)
Tapering off dapat membuat proyeksi kupon (yield) obligasi jangka panjang meningkat, sedangkan harga obligasi itu sendiri justru menurun. Mengapa demikian? Karena pasar akan menyukai kupon yang tinggi, sehingga permintaan pasar atas obligasi meningkat. Sesuai prinsip ekonomi, permintaan yang lebih besar berkorespondensi dengan harga yang lebih murah.
Imbal hasil reksa dana pendapatan tetap terdiri atas pembayaran kupon obligasi dan capital gain/loss dari harga obligasi dalam portofolionya. Pada masa tapering, RDPT yang mengandalkan return dari kupon obligasi akan berkinerja lebih stabil daripada RDPT yang mengandalkan return dari capital gain/loss.
Yield obligasi pemerintah Indonesia saat ini umumnya lebih menguntungkan daripada surat utang lain di kawasan Asia.
Laporan Katadata tentang perbandingan yield obligasi pemerintah dalam mata uang lokal dengan tenor 10 tahun per 30 Agustus 2021 menunjukkan bahwa Indonesia memberikan kupon lebih tinggi daripada Filipina, Malaysia, Tiongkok, Vietnam, Korsel, Singapura, AS, dan Hong Kong.
Pada masa tapering The Fed, fakta-fakta ini dapat menjaga stabilitas kinerja RDPT Rupiah di Indonesia. Penurunan NAB dalam jangka pendek kemungkinan tetap terjadi lantaran pergolakan harga obligasi, tetapi reksa dana pendapatan tetap masih menjadi pilihan yang baik untuk investasi jangka menengah atau lebih lama lagi.
- Reksa Dana Saham (RDS)
Tapering off yang diiringi dengan peningkatan ekspektasi kenaikan suku bunga dapat membuat saham menjadi kurang menarik, sehingga NAB reksa dana saham mungkin jatuh. Lebih buruk lagi, kenaikan suku bunga dapat mendorong pelarian dana-dana asing ke luar negeri (capital flight) yang berimbas negatif bagi IHSG.
Terlepas dari itu, sejarah telah membuktikan bahwa penurunan bursa saham selalu diikuti dengan kebangkitan. Dengan kata lain, reksa dana saham masih tetap menjadi pilihan yang baik untuk investasi jangka panjang (>5 tahun).
Tapering off yang tidak diikuti dengan kenaikan suku bunga The Fed, mungkin tidak akan memicu pergolakan di bursa global dan tak mengusik NAB reksa dana saham. Tapi semua ini masih dalam taraf prediksi, sehingga investor reksa dana saham mungkin perlu terus memantau perkembangan berita seputar kebijakan bank sentral AS dan kabar-kabar lain terkait perekonomian.