Ajaib.co.id – Sesuatu yang berada di pucuk seringkali menarik perhatian banyak orang. Tak terkecuali saham. Ya, dalam dunia saham, dikenal istilah ‘beli saham di pucuk’. Investor perlu pertimbangan matang sebelum melakukan hal tersebut.
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan ‘beli saham di pucuk’? ‘Beli saham di pucuk’ artinya investor membeli saham tertentu tepat di saat harga tertingginya.
Sayangnya, setelah investor membelinya ternyata harga saham tersebut berpotensi terus turun. Padahal, saat membelinya tentu investor berharap harga saham tersebut semakin naik. Tapi, kenyataannya berkata sebaliknya.
Di sinilah pentingnya pertimbangan matang dengan menganalisa berbagai variabel yang dapat mempengaruhi naik-turunnya harga saham.
Fenomena ‘beli saham di pucuk’ kerap terjadi. Belum lama ini, misalnya, sejumlah saham farmasi, seperti PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA) dan PT Kimia Farma Tbk (KAEF) tiba-tiba menguat secara signifikan. Sebelum kenaikan secara signifikan, kedua saham itu sempat anjlok.
Tidak sedikit investor ritel yang trauma setelah membeli saham pada saat tinggi, tapi tak berselang lama kemudian ‘terjun bebas’.
Tapi, ini bukan berarti investor harus menghindari saham-saham kesehatan. Analis dari Ciptadana Sekuritas Zabrina Raissa mengungkapkan, investor yang ingin kembali mencoba membeli saham-saham sektor kesehatan tidak perlu takut berlebihan.
Ia mengatakan, masyarakat tetap bisa membelinya tanpa dihantui trauma. Tak hanya saham-saham kesehatan, Zabrina mememahami bila muncul trauma bagi sebagian investor karena pembeliannya saat harganya tinggi.
Menurut Zabrina, kelayakan saham lebih penting untuk dipertimbangkan oleh investor yang hendak membeli saham tertentu. Sedikit berbeda bila investor sudah memiliki saham yang harganya sedang naik.
Bagi investor yang sudah memilikinya, maka lebih baik menahannya (hold) karena masih ada euforia dari kinerja perusahaan itu sendiri. Tapi bagi yang belum memilikinya, berbagai dukungan (support) dari perusahaan yang bersangkutan perlu menjadi pertimbangan tersendiri.
Selain itu, variabel-variabel lain pun tak boleh dipinggirkan begitu saja. Kenaikan saham farmasi setelah mengalami penurunan seperti contoh di atas, misalnya, dipicu oleh antara lain oleh kinerja keuangan perusahaan pada kuartal pertama (Q1-2021). Selain itu, respons para investor juga cukup baik dalam melihat kinerja dari fundamental perusahaan-perusahaan farmasi yang rupanya dapat membukukan kinerja yang cukup baik.
Jadi, Zabrina mengingatkan agar investor tidak ‘gelap mata’ saat mengincar saham yang berada di ‘pucuk’. Potensi koreksi akan senantiasa ada dalam perkembangan transaksi saham.
Seperti investasi lain pada umumnya, pasar saham tidak selalu bergerak sesuai dengan harapan investor. Bukannya naik, saham yang dibeli investor bisa saja harganya menurun terus sampai berada di posisi rugi (loss).
Saat mengalami situasi ini, sebagian investor, terutama pemula, kerap ragu atau tidak berani untuk menjual sahamnya. Mereka menilai, kerugian yang akan ditanggung sangat besar bila menjualnya. Jika menahan terus sahamnya, akhirnya mereka terjebak pada posisi ‘nyangkut’.
Saham ‘nyangkut’ juga sering dialami oleh investor yang mengabaikan tingkat ketahanan risikonya. Padahal, investor sebaiknya menentukan batasan toleransi risiko dalam berinvestasi saham.
Seorang investor, contohnya, membatasi kerugian pada kisaran 5%. Begitu saham yang dibelinya turun 5%, maka ia sebaiknya segera memutuskan untuk keluar dari saham tersebut atau cut loss.
Cash management juga penting untuk diperhatikan guna menghindari saham ‘nyangkut’. Seorang investor hendaknya menahan ‘nafsunya’ untuk menghabiskan dana pada satu saham yang tengah ‘naik daun’.
Bagaimana bila kemudian saham tersebut bergerak turun? Bisa-bisa, investor tersebut ‘gigit jari’ karena tidak memiliki amunisi untuk beralih ke saham yang lebih prospektif.
Lantas, bagaimana bila sudah terlanjur terjebak pada posisi ‘nyangkut’ di suatu saham yang bergerak turun? Ingat, pergerakan saham ke depan sukar untuk diprediksi. Jadi, potensi kerugian yang lebih besar akan ada.
Menurut Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada, komposisi portofolio investor adalah hal pertama yang harus diperhatikan. Ia mencontohkan, seorang investor memiliki lima portofolio di saham, yakni sebut saja saham A, B, C, D, dan E. Ternyata, saham B dan E masih ‘nyangkut’ di posisi merah. Investor tersebut menganalisa lebih lanjut saham B dan E.
Ia menemukan, dua saham tersebut prospeknya makin redup, outlook industri masih turun, dan belum ada perkembangan signifikan. Maka, investor itu bisa melakukan cut loss.
Mencermati saham lain yang memiliki potensi kenaikan lebih baik juga perlu dilakukan oleh investor sebagai langkah berikutnya. Hal ini bertujuan agar saham-saham baru yang naik dapat mengompensasi penurunan pada saham yang dilepas.
“Dengan begitu portofolio kita enggak akan merah-merah banget karena dapat saham baru yang kenaikannya lebih besar di portofolio,” katanya.
Strategi average down atau menambah porsi saham ketika harga turun untuk meminimalisir kerugian, Reza menambahkan, juga bisa dilakukan oleh investor. Tapi, strategi ini perlu dilakukan secara cermat dengan melihat ritme pergerakan saham, volume bid, dan offer saham tersebut.
Reza juga mengingatkan untuk tidak memilih saham hanya berdasarkan rumor atau iming-iming kenaikan keuntungan lebih tinggi. Investor harus mencermati suatu saham dengan baik agar sahamnya tidak ‘nyangkut’.
Saham adalah instrumen investasi yang high risk dan high return. Skala perbandingan risikonya, baik keuntungan maupun kerugian, tidaklah jauh berbeda. Tambah pula, harga saham memiliki kecenderungan berubah tidak dalam hitungan hari, melainkan jam.
Godaan terhadap iming-iming meraup keuntungan saat bertransaksi saham kerap membuat orang kurang berhati-hati. Bukannya untung, sejumlah investor yang alpa berhati-hati malah ‘buntung’.
Jika Anda baru memulai investasi saham, ada baiknya belajar dari kesalahan investor sebelumnya, seperti berhati-hati saat ‘membeli saham di pucuk’.