Bisnis & Kerja Sampingan

UMKM Indonesia Tangguh Hadapi Pandemi Covid-19, Benarkah?

UMKM Indonesia
UMKM Indonesia

Ajaib.co.id – Pandemi Covid-19 memberikan ‘pukulan’ telak ke berbagai sektor. Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pun tak luput dari dampak tersebut. Meski turut terdampak, sektor UMKM dinilai memiliki daya tahan lebih baik dibandingkan sejumlah sektor lainnya.

Dampak pandemi Covid-19 terhadap UMKM terlihat mulai dari penurunan pendapatan, terganggunya arus kas, kredit macet hingga bertambahnya pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Apa yang dialami oleh sektor UMKM tak berbeda jauh dengan berbagai sektor lainnya. Bedanya, UMKM memiliki kelebihan lain dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.

Kisah Perjuangan Saat Pandemi

Hal ini diamini oleh Menteri Koperasi (Menkop) dan UKM Teten Masduki beberapa waktu lalu, Ia menyampaikan, UMKM saat ini menjadi penyangga ekonomi nasional di tengah ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. Daya tahan sektor UMKM diharapkan mampu menekan laju angka pengangguran dan kemiskinan.

Apa yang membuat UMKM memiliki daya tahan lebih dibandingkan dengan berbagai sektor lainnya? Menurut Teten, meski lingkup usahanya kecil, para pelaku UMKM cepat melakukan perubahan.“Banting setirnya itu cepat,” tegasnya.

Hal ini diakui oleh seorang pelaku UMKM di Jimbaran, Bali Defria Amelia Kirana. Ia mengaku harus banting setir agar usahanya dapat terus berputar. Selain tetap menjual pakaian dan sepatu bayi, usahanya kini juga memproduksi alat pelindung diri (APD), terutama masker. Tak hanya itu, Defria juga bisa merekrut pekerja yang untuk sementara dirumahkan dari perusahaan tempat mereka bekerja.

Catatan Ekonomi UMKM

Meski daya tahan terhadap tekanan ekonomi bagus, sektor UMKM tetap memerlukan sejumlah stimulus agar cepat pulih seperti sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Untuk saat ini, penanganan pandemi Covid-19, khususnya di sektor kesehatan, menjadi syarat mutlak bagi pemulihan ekonomi, termasuk UMKM.

Daya tahan UMKM menghadapi turbulensi ekonomi telah terbukti. Pada krisis ekonomi medio 1997–1998 lalu, inflasi Indonesia tercatat 88%, defisit 13%, dan cadangan devisa kurang-lebih US$17 miliar.

Pada kondisi tersebut, sektor UMKM tetap memiliki daya tahan yang kuat. Pada saat itu, tercatat hanya 34% UMKM yang mengalami penurunan omzet. Selebihnya bahkan tidak mengalami penurunan omzet.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1997 hingga tahun 1998 menunjukkan, UKM mampu bertahan terhadap krisis ekonomi Indonesia di rentang kedua tahun tersebut.

Pengusaha kecil, misalnya, masih mampu menyerap tenaga kerja di tahun 1997 sebesar 57,40 juta (87,62%). Setahun berselang, penyerapan kerja oleh pengusaha kecil juga tertinggi, yaitu 57,34 juta (88,66%). Tak hanya kuat, sektor UMKM juga menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi saat itu.

Kemudian, pada krisis 2008, produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih tercatat tumbuh 5,8%. Hal ini disebabkan antara lain oleh konsumsi rumah tangga yang cukup kuat. Indonesia kala itu menjadi salah satu negara yang paling kuat menghadapi peliknya ekonomi global.

Pendukung UMKM di Kala Krisis

Salah satu faktor yang mendukung ketahanan UMKM di kala krisis adalah transaksi jual-beli memang sudah menjadi darah daging pada perekonomian Indonesia. Kegiatan berdagang memang menjadi sumber pendapatan besar bagi sektor perekonomian di Indonesia.

Para pelaku UMKM merupakan kelompok usaha yang paling banyak jumlahnya dalam perekonomian Indonesia. Maka, wajar bila Joseph Alois Schumpeter, ahli ekonomi Amerika Serikat (AS) menyatakan, kewirausahaan, termasuk UMKM, sangat mempengaruhi tumbuhnya ekonomi suatu negara.

Meski memiliki catatan apik dalam menghadapi krisis beberapa tahun silam, kondisi berbeda terjadi pada masa pandemi Covid-19. Perbedaan itu adalah sektor UMKM masih dapat beraktivitas lebih leluasa serta tidak ada pembatasan sosial pada saat krisis tahun-tahun sebelumnya.

Lebih spesifik, krisis beberapa tahun silam tidak disertai dengan work from home (WFH). Dengan kata lain, kegiatan perkantoran masih diperbolehkan. Para pedagang kaki lima pun masih bisa berdagang.

Pada krisis ekonomi medio 1997–1998, kalangan yang paling terkena dampaknya adalah pelaku usaha kategori elit atau menengah ke atas, bukan sektor UMKM. Jadi, konglomerasi lebih sulit bangkit dibandingkan sektor UMKM waktu itu.

Bantuan Pemerintah untuk UMKM

Menyadari hal ini, Pemerintah tak ragu menggelontorkan anggaran besar dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk sektor UMKM. Program tersebut mencakup berbagai stimulus, seperti bantuan subsidi bunga, restrukturisasi kredit, akses dan penjaminan kredit modal kerja, dengan total anggaran Rp123,46 triliun. Singkatnya, di tengah wabah ini, Pemerintah terus berjuang untuk meningkatkan intensitas dan kualitas pembinaan pada sektor UMKM.

Dilihat dari sudut pandang berbeda, pandemi Covid-19 dapat menjadi peluang UMKM untuk membuat inovasi jasa atau produk. Inovasi jasa atau produk tersebut bisa menjadi substitusi jasa atau produk impor. Di tengah pandemi Covid-19, jasa atau produk impor akan sulit masuk ke dalam pasar lokal sehingga menjadi peluang yang potensial bagi para pelaku UMKM.

Potensi di atas akan makin terbuka bila diiringi dengan kemampuan beradaptasi terhadap penggunaan teknologi digital. Adaptasi penggunaan teknologi pada kondisi normal pun sebenarnya tak bisa dihindari. Terbatasnya interaksi fisik telah memunculkan celah baru kebutuhan ataupun ketergantungan terhadap teknologi.

Oleh sebab itu, para pelaku UMKM mau tak mau harus mengimbangi perkembangan teknologi digital yang sedemikian cepat agar peluang yang ada tak menguap begitu saja. Bukan tak mungkin, penggunaan teknologi juga akan menciptakan pengalaman baru kepada para konsumen. Hal ini membuka kesempatan untuk berkembang dan melahirkan inovasi baru.

Selain kemampuan adaptasi terhadap teknologi digital, para pelaku UMKM juga perlu memperkuat sinergi dengan berbagai pihak lain. Sinergi dengan kompetitor pun sebenarnya bukanlah sesuatu yang haram. Pelaku UMKM yang ingin mengekspor madu, contohnya, bisa merangkul kompetitornya untuk mengurangi beban biaya ekspor.

Artikel Terkait