Pajak

Reformasi Perpajakan yang Dilakukan Pemerintah, Apa Saja?

reformasi perpajakan

Perpajakan di Indonesia punya sejarah dan catatan reformasinya sendiri yang terus berlangsung hingga sekarang. Reformasi perpajakan adalah perubahan sistem perpajakan secara signifikan dan komprehensif yang mencakup pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi perpajakan, dan peningkatan basis pajak.

Pemerintah telah membentuk Tim Reformasi Perpajakan dengan dasar hukum berupa Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-885/KMK.03/2016 tentang Pembentukan Tim Reformasi Perpajakan (Tim Reformasi). Pembentukan tersebut dilatarbelakangi kebutuhan untuk mewujudkan lembaga perpajakan yang kuat , kredibel, dan akuntabel, secara struktur, kewenangan, dan kapasitas yang memadai (SDM, anggaran, proses bisnis, sistem informasi, dan infrastruktur pendukung serta regulasi). Dengan demikian, potensi pajak yang ada dapat terdeteksi dan direalisasikan menjadi penerimaan pajak secara efektif dan efisien.

Sejarah dan Perjalanan Reformasi Perpajakan

Reformasi perpajakan sebenarnya sudah dimulai sejak 1983 di mana undang-undang perpajakan mengubah sistem official assessment menjadi self assessment. Ketika reformasi birokrasi dijalankan, proses reformasi perpajakan juga terus berlanjut dengan mengusung agenda Reformasi Perpajakan Jilid I. Kali ini, program reformasi yang berjalan pada 2002 hingga 2008 ini berfokus pada modernisasi administrasi perpajakan, seperti pembentukan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) modern (KPP Pratama dan dua KPP Wajib Pajak Besar).

Selain itu, pemerintah juga melakukan amendemen perundang-undangan pajak, yakni Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan Pajak Penghasilan (PPh). Juga, ada penghapusan sanksi administrasi pajak yang disebut sunset policy.

Proses tersebut diikuti dengan Reformasi Perpajakan Jilid II yang berfokus pada peningkatan kontrol internal pada 2009 hingga 2014. Amendemen dilakukan pada Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Reformasi kali ini juga menciptakan kebijakan Sensus Pajak Nasional. Sensus Pajak Nasional merupakan kegiatan pengumpulan data mengenai kewajiban perpajakan dalam rangka memperluas basis pajak dengan mendatangi subjek pajak (orang pribadi atau badan) di seluruh wilayah Indonesia.

Salah satu hal terpenting dalam Reformasi Perpajakan Jilid II adalah lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Pengampunan pajak atau tax amnesty dimulai pada Juli 2016 hingga Maret 2017. Kebijakan ini telah menghasilkan uang tebusan sebesar Rp 114,54 triliun berdasarkan Laporan Tahunan DJP 2017).

Tahun 2017, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali melakukan reformasi perpajakan yang disebut Reformasi Perpajakan Jilid III. Reformasi yang dilaksanakan hingga 2020 ini merupakan bentuk konsolidasi, akselerasi, dan kontinuitas perubahan dalam sistem perpajakan.

Terdapat sembilan kebijakan yang dijalankan pada awal Reformasi Perpajakan Jilid III, yakni:

  • Penyederhanaan kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Pokok-pokok perubahannya adalah SPT PPh Pasal 25 Nihil tidak wajib lapor, SPT Masa PPh Pasal 21/26 Nihil tidak wajib lapor kecuali Masa Desember, dan Pelaporan SPT secara elektronik (e-SPT, e-Filing, e-Form).
  • Penyederhanaan dan pelayanan SPT dengan perluasan channeling yakni Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dan layanan di luar kantor (Pojok Pajak) dapat menerima semua jenis SPT. Selain itu, ada penyederhanaan lampiran e-filing yang dapat disampaikan dalam beberapa file PDF dan Surat Setor Pajak (SSP) tidak perlu dilampirkan.
  • Layanan terpadu yaitu informasi Konfirmasi Status Wajib Pajak (I-KSWP). I-KWSP melayani semua kebutuhan verifikasi dan konfirmasi status wajib pajak melalui DJP Online.
  • Validasi SSP untuk pengembang dengan pokok-pokok perubahan berupa permohonan yang dapat disampaikan secara online. Selain itu, cukup satu permohonan untuk beberapa objek dan multipembayaran, serta validasi cukup dengan surat permohonan dan daftar pembayaran PPh (tanpa melampirkan SSP).
  • Host-to-host e-Faktur BUMN yang bertujuan untuk mengintegrasikan data perpajakan sejumlah BUMN dengan DJP dan meningkatkan transparansi. Kebijakan ini juga memudahkan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
  • Percepatan restitusi sesuai dengan PMK-39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.
  • Kebijakan mengenai devisa hasil ekspor (DHE). Terdapat dua poin penting, yakni perluasan kriteria yang mencakup deposito baru maupun roll-over. Penempatan deposito juga dapat dilakukan di bank yang berbeda dengan melampirkan surat pernyataan.
  • Kebijakan kredit pajak luar negeri yang menyederhanakan persyaratan administratif. Hanya bukti pembayaran atau pemotongan pajak luar negeri, dan tidak perlu dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh, serta tidak perlu melampirkan laporan keuangan dan laporan pajak atas penghasilan di luar negeri.
  • Natura dan kenikmatan di daerah tertentu dapat diperoleh selama lima tahun untuk WP IUPK-Operasi Produksi dari Kontrak Karya atau PKP2B dan dapat diperpanjang lagi sepanjang memenuhi kriteria daerah tertentu.

Dengan adanya kebijakan-kebijakan di atas, pemerintah tidak hanya memungut pajak tetapi juga memberikan insentif pajak bagi dunia usaha maupun wajib pajak sendiri.

Persyaratan Kelancaran Jalannya Reformasi

Meski reformasi perpajakan telah dicanangkan dengan berbagai kebijakan barunya, tentu tetap ada sejumlah kendala. Menurut Khoerul Arif, Penyaji Informasi Perpajakan DJP sebagaimana yang dimuat di Bisnis Indonesia, 21 Maret 2019, ada sejumlah hal penting yang seharusnya ada agar reformasi perpajakan tetap berjalan di jalurnya.

Pertama, diperlukan political will yang kuat dengan adanya peraturan perundang-undangan yang memadai. Dengan demikian, DJP diharapkan dapat beradaptasi dengan dinamika masyarakat dan dunia usaha. Permasalahan terkait dengan data juga masih menjadi kendala, misalnya data antarinstansi pemerintah daerah yang masih belum bersinergi.

Kedua, diperlukan tingginya kepatuhan dan kesadaran wajib pajak. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja per Februari 2018 adalah sebanyak 133,94 juta orang. Sementara baru ada sekitar 39.151.603 wajib pajak menurut laporan tahunan DJP 2017. Hal ini berarti masih banyak orang pribadi yang belum masuk dalam sistem perpajakan.

Ketiga, pelayanan dan kinerja insan pajak harus mumpuni. Pelayanan prima tentunya akan berdampak pada peningkatan kepatuhan wajib pajak.

Selain di bidang perpajakan, pemerintah juga melakukan reformasi kebijakan lainnya, seperti di bidang bea cukai dan anggaran. Semuanya dilakukan demi jalannya kebijakan yang berpihak pada masyarakat dan mendukung jalannya pembangunan demi kemajuan negara. Yuk, kita dukung sama-sama.

Bacaan menarik lainnya:

Nasucha, Chaizi. 2004, Reformasi Administrasi Publik. PT Grasindo: Jakarta.


 Ajaib merupakan aplikasi investasi reksa dana online yang telah mendapat izin dari OJK, dan didukung oleh SoftBank. Investasi reksa dana bisa memiliki tingkat pengembalian hingga berkali-kali lipat dibanding dengan tabungan bank, dan merupakan instrumen investasi yang tepat bagi pemula. Bebas setor-tarik kapan saja, Ajaib memungkinkan penggunanya untuk berinvestasi sesuai dengan tujuan finansial mereka. Download Ajaib sekarang.

Artikel Terkait