Analisis Saham

Prospek Saham ARTO, Calon Bank Digital Terbesar di Indonesia

Ajaib.co.id – Bank Jago (ARTO) dahulu dikenal dengan nama PT Bank Artos Indonesia atau dikenal dengan Bank Artos. Didirikan pada 1 Mei 1992 dan mulai beroperasi secara komersial pada 12 Desember 1992.

Bank tersebut mulai melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada awal tahun 2016. Bisa dikatakan Bank Artos merupakan bank kecil karena waktu itu masuk dalam kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I yang minimum modalnya Rp100 miliar.

Saat IPO Bank Artos menawarkan harga saham perdananya sebesar Rp132 per saham, Perseroan pun meraup dana segar dari initial public offering (IPO) senilai Rp31,84 miliar.

Namun semenjak IPO, Saham ARTO sama sekali belum mencetak laba. Padahal, sebelum masuk ke bursa, Bank Artos sempat meraup laba hingga Rp2 miliar setiap tahunnya.

Hadirnya Bank Artos di lantai bursa untuk mencari perutungan di lantai bursa Indonesia dengan membuka diri pada calon investor strategis baru. Dan akhirnya bank Artos mendapatkan investor strategis setelah dua tahun melantai di bursa.

Saham ARTO akhirnya diakuisisi oleh bankir senior Jerry Ng dan Patrick Walujo pada tahun 2019. Keduanya membeli saham bank ARTO sebanyak 51%. Seiring dengan itu, namanya pun berubah menjadi Bank Jago.

Saat ini kapitalisasi pasar saham Bank Jago sebesar Rp119,18 triliun (11/02/2021), saham ARTO berada pada harga Rp10.900 per lembar sahamnya.

Langkah kedua tokoh perbankan nasional yang sebelumnya sukses membesarkan PT Bank BTPN Tbk (BTPN) memberi sinyal bahwa hal yang sama akan terulang di ARTO.

Duet keduanya di Bank BTPN juga sukses melahirkan produk inovatif digital bernama Jenius. Penggunanya per Juni 2020 lalu menyentuh angka 2,5 juta orang yang mayoritas didominasi oleh kaum milenial.

Gojek Beli 22% Saham ARTO

Rumor mengenai rencana Gojek yang akan melakukan akuisisi Bank Jago sudah sering disebut-sebut. Rumor tersebut bahkan sempat memicu lonjakan pada harga saham ARTO beberapa waktu lalu. Kecurigaan tersebut memang beralasan.

Salah satu investor awal Gojek adalah Northstar Group, private equity yang didirikan oleh Patrick Walujo. Northstar Group juga mempunyai pengalaman dalam pengelolaan perbankan, melalui Bank BTPN.

Lalu, isu ingin masuknya Gojek ke bisnis bank mulai berhembus. Relasi antara Gojek dan ARTO melalui Northstar Group dan Patrick Walujo memperkuat spekulasi bahwa ARTO akan diakuisisi oleh Gojek.

Pada 18 Desember 2020, Gojek resmi membeli 22% saham ARTO melalui PT Dompet Anak Bangsa (Gopay) dengan harga Rp1.150 per saham. Artinya, Gopay menggelontorkan sekitar Rp2,76 triliun.

Sebelum memiliki 22% saham perseroan, Gopay sudah memiliki sekitar 4,14% saham ARTO. Berhubung transaksi masih di bawah 5%, geliat Gopay itu sulit terdeteksi publik. Kecuali yang memiliki hubungan langsung dalam transaksi tersebut.

Riwayat Kerja Bank Jago

Akuisisi gojek pada saham ARTO mampu menggerakan harganya, yang semula hanya Rp132 per lembar sejak IPO pada Januari 2016, seketika melejit hingga lebih dari Rp4.000 pada 2019 lalu.

Nilai kapitalisasi pasarnya pun melonjak hingga lebih dari Rp100 triliun, bersaing dengan kalangan bank-bank besar papan atas meskipun Bank Jago sejak melantai masih mencatatkan rugi hingga tahun buku 2019.

Berikut ringkasan kinerja neraca dan laba saham ARTO (dalam jutaan rupiah) dari laporan keuangan tiga tahun terakhir:

Dari data laporan kinerja tersebut, lonjakan yang sangat mencolok ada pada total aset. Setelah akuisisi dengan skema rights issue, ekuitasnya meningkat dari hanya Rp115,6 miliar pada 2018 menjadi Rp681 miliar. Total aset pun menjadi Rp1,32 triliun.

Tetap saja, aset senilai hanya Rp1,32 triliun tentu tidak seimbang dengan kapitalisasi pasarnya saat ini yang menembus di atas Rp100 triliun. Jelas, pasar tidak sedang menghitung valuasi terkini ARTO, tetapi ekspektasi atas valuasi masa depannya.

Prospek Bisnis Bank Jago Jadi Bank Digital Terbesar

Pada perdagangan Jumat (12/03/2021) saham ARTO ditutup di level tertingginya pada harga Rp11.375 per lembarnya. Sahamnya terus melaju seiring kabar rencana merger antara Gojek dan Tokopedia, menjelang penawaran umum perdana (initial public offering) yang direncanakan dari entitas gabungan ini.

Dua perusahaan rintisan paling berharga di Indonesia ini telah menandatangani lembar persyaratan terperinci untuk melakukan uji tuntas atas bisnis masing-masing, kata orang-orang, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena diskusi bersifat pribadi.

Entitas yang digabungkan akan menciptakan perusahaan berbasis internet Indonesia dengan nilai gabungan mencapai lebih dari USD18 miliar atau setara dengan Rp252 triliun

Bisnisnya berkisar dari pemesanan kendaraan dan pembayaran hingga belanja dan pengiriman online, ini semacam gabungan versi Indonesia dari Uber Technologies Inc., PayPal Holdings Inc., Amazon.com Inc., dan DoorDash Inc. Perusahaan gabungan itu juga berencana untuk go public di AS dan Indonesia (dual listing).

Jalur bisnis yang kini ditempuh Gojek, Tokopedia dan Bank Jago memang bisnis yang sangat menjanjikan di masa mendatang. Peluang keberhasilannya pun cukup besar, mengingat tren yang dibawa oleh Gojek dan Tokopedia sulit untuk dibalikkan lagi. Artinya, bisnis tersebut kemungkinan besar akan bertahan lama dalam jangka panjang.

Bank Jago sendiri rencananya akan berkembang menjadi bank digital yang kini mulai menjadi tren global. Bank digital nantinya akan menghasilkan inovasi layanan perbankan yang melampaui keterbatasan bank-bank konvensional saat ini dan beroperasi tanpa perlu kehadiran fisik kantor cabang.

Hal ini memungkinkan efisiensi yang lebih tinggi dalam ekspansi hingga ke pelosok-pelosok. Minimal, Bank Jago akan mendapatkan dukungan basis nasabah dari mitra pengemudi dan UMKM Gojek maupun Tokopedia yang kemungkinan besar mayoritas belum mampu mengakses layanan perbankan.

Bukan tidak mungkin, Gojek dan Tokopedia dapat menghasilkan data alternatif yang dapat menjadi landasan bagi pembuatan skor kredit mitra pengemudi dan UMKM mereka. Jika ini dielaborasikan bersama Pefindo Biro Kredit selaku penyedia data skor kredit bagi perbankan, tentu peluang bagi akses keuangan UMKM akan sangat tinggi di masa mendatang.

Ini membuka peluang akses kredit bagi nasabah yang selama ini dianggap unbankable, atau tidak dapat menerima layanan perbankan karena bukan dari kalangan korporasi atau karyawan berpenghasilan tetap dengan rekam jejak penghasilan yang jelas. Masyarakat yang unbankable ini jumlahnya justru masih sangat besar.

Nah, sebagai bank mitra Gojek, Bank Jago berpotensi lebih dahulu memanfaatkan peluang ini. Ini peluang masa depan Bank Jago, yang kemungkinan besar bisa membawanya dari semula bank yang rugi menjadi salah satu bank jagoan di Indonesia.

Harga Saham ARTO Masih Kemahalan

Berdasarkan valuasi harga saham ARTO, pada harga termahalnya di Rp11.375 pada hari Kamis (12/03/2021), rasio PBV ARTO mencapai 95 kali. Nilai tersebut melebihi PBV big cap perbankan seperti BBCA, BBRI dan BMRI yang masih di bawah 5X, artinya harga saham ARTO sangat tinggi atau bisa dikatakan tidak lagi wajar.

Tidak selalu saham overvalued dianggap buruk atau tidak potensial. Memang, secara teoretis, ada dua indikasi mengenai saham overvalued. Pertama, ada pandangan bahwa saham overvalued terlalu mahal untuk dibeli karena pada akhirnya saham tersebut akan bergerak menuju nilai wajarnya. Jadi, potensi keuntungan relatif kecil.

Pandangan kedua menyatakan bahwa saham overvalued mengindikasikan bahwa pasar (market) menganggap perusahaan tersebut layak dihargai dengan nilai tinggi atau layak berada di atas harga wajarnya. Hal ini juga memperlihatkan bahwa adanya mosi kepercayaan dari pasar terhadap saham perusahaan.

Prospek Bank Jago bersama ekosistem Gojek sangat cerah. Hal inilah yang kemungkinan diantisipasi oleh investor sehingga mengapresiasi saham ARTO hingga sedemikian tinggi. ARTO memiliki peluang masa depan yang menjanjikan, meskipun hingga kini belum disampaikan seperti apa model integrasi bisnis Gojek dan Bank Jago.

Meskipun punya prospek bisnis yang bagus tapi kamu sebagai investor juga tidak boleh melupakan bahwa hingga tahun ini, ARTO masih rugi. Dalam laporan keuangan terakhir di bulan November 2020 ARTO mencatat rugi sebesar Rp135,98 miliar.

Saham ARTO bukanlah yang pertama mengalami overvalued walaupun perusahaannya masih rugi, banyak saham-saham lain yang pernah mengalaminya. Yang pasti, setinggi-tingginya harga saham naik, ia bisa turun juga.

Dari harga tertingginya, penurunan harga saham tersebut juga tidak kalah besar. Di samping itu, tidak mudah menebak puncak harga suatu saham sebelum dia terjungkal dari tebing yang curam.

Potensi kerugian yang tidak kalah besar seperti ini jadi salah satu aspek minus dari saham-saham tersebut. Salah satu cara menghindari kerugian besar dalam saham seperti ini adalah tidak berspekulasi setelah harga saham naik tinggi.

Selain itu, membeli saham dari perusahaan rugi berarti pembeli tidak mendapatkan dividen. Lazimnya, dividen diberikan oleh perusahaan yang untung kepada pemegang saham dalam kurun waktu tertentu (setahun sekali, misalnya). Dividen biasanya diambil dari sebagian laba bersih perusahaan.

Di sisi lain, aspek minus dari membeli saham perusahaan rugi adalah ketenangan dan kenyamanan investasi. Saham-saham seperti ini terkadang (atau bahkan seringkali) membuat tidur para pemiliknya tidak nyenyak karena volatilitas yang tinggi. Tidak jarang, saham seperti ini perlu dipantau secara rutin karena pergerakannya sering mengejutkan.

Dengan kata lain, sebelum membeli saham-saham perusahaan rugi, calon pembeli perlu mempertimbangkan risiko, kemungkinan tidak adanya dividen, volatilitas, ketersediaan waktu untuk memantau saham dan kenyamanan investasi.

Disclaimer: Investasi saham mengandung risiko dan seluruhnya menjadi tanggung jawab pribadi. Ajaib membuat informasi di atas melalui riset internal perusahaan, tidak dipengaruhi pihak manapun, dan bukan merupakan rekomendasi, ajakan, usulan ataupun paksaan untuk melakukan transaksi jual/beli Efek. Harga saham berfluktuasi secara real-time. Harap berinvestasi sesuai keputusan pribadi.

Artikel Terkait