Properti

Mengapa Program Sejuta Rumah Perlu Otoritas Perumahan?

otoritas perumahan

Ajaib.co.id – Program sejuta rumah adalah itikad baik pemerintah agar semua masyarakat Indonesia bisa memiliki hunian pribadi. Sayangnya aplikasinya di lapangan tidak selalu mulus. Karena itulah dibutuhkan otoritas perumahan untuk mengaturnya.

Sudahkah Profesional Milenial menikmati kemudahan memiliki rumah hasil dari Program Sejuta Rumah? Jika belum, itu disebabkan oleh masih menumpuknya kendala penghambat program tersebut. Kesenjangan pemenuhan kebutuhan rumah dan tempat tinggal bagi masyarakat kini semakin memprihatinkan. Jika dulu umumnya orang tua kita sudah mampu menyicil rumah di awal karirnya, kini tak semudah itu bagi kalangan milenial, terutama yang berpenghasilan tidak tetap.

Bukan hanya di Indonesia, bahkan di negara megapolitan Asia lain seperti Hong Kong, kesenjangan terjadi. Sementara segelintir kalangan berpunya tinggal di rumah jutaan dolar, yang marginal harus puas dengan rumah mini berjulukan coffin house! Ketertinggalan pembangunan layanan dan infrastruktur oleh pemerintah tidak mampu mengakomodasi pertumbuhan penduduk.

Jika tren ini berlanjut, diprediksi tahun 2025 akan ada 1,6 miliar orang di seluruh dunia yang kesulitan bertempat tinggal, padahal klaim smart cities berbasis teknologi lantang berkumandang. Ironis ya? Fenomena inilah yang mendorong pengembang perumahan rakyat mendesak negara dan Pemerintah untuk segera membentuk Otoritas Perumahan.

Hal ini juga diamini oleh sejumlah pengembang perumahan yang tergabung dalam Perkumpulan Wirausahawan Rumah Rakyat Nusantara (Perwiranusa). Peran otoritas perumahan menjadi begitu penting untuk menyukseskan program sejuta rumah.

Tujuannya sebagai upaya mendekatkan masyarakat berpenghasilan rendah mendapatkan rumah. Selama ini, masyarakat berpenghasilan tidak tetap (MBTT) seperti wartawan kontributor, pengemudi ojek dan taksi online, maupun pedagang pasar dan pedagang makanan, sulit mendapatkan KPR (Kredit Pemilikan Rumah).

Mereka terbentur aturan, terutama persyaratan slip gaji untuk bisa mendapatkan skema kredit ini. Halanganya termasuk berupa BI checking, atau persyaratan harus memiliki tabungan di bank, dan sebagainya.

Selama ini ini masyarakat berpenghasilan terbatas apalagi yang berpenghasilan tidak tetap dipandang sebelah mata oleh perbankan. Padahal bukan berarti mereka tidak bisa atau tidak mampu mencicil. Hanya saja memang dokumen yang berkaitan ini sulit dibuktikan dengan sistem yang ada sekarang.

Keberadaan otoritas perumahan diharapkan mempercepat pemenuhan kekurangan rumah di Indonesia yang mencapai 13,5 juta unit. Otoritas ini harus dibentuk untuk mengendalikan seluruh kegiatan dan membuat regulasi yang terintegrasi berkaitan dengan proses produksi rumah rakyat Indonesia.

Selain itu, otoritas ini adalah badan pemerintah yang bertugas mengatur aspek perumahan, tempat tinggal, dan ruang hidup, dalam upaya memastikan tercukupinya kebutuhan papan masyarakat, yang merupakan kebutuhan primer.

Jejak Historis Otoritas Perumahan di Dunia

Otoritas perumahan sendiri bukanlah hal yang baru di industri properti. Banyak negara sudah memiliki sebelumnya dengan alasan masing-masing. Lembaga sejenis ini pertama kali didirikan di kota-kota di Amerika Serikat, pada masa The Great Depression di tahun 1930-an.

Di Jepang pun, Japan Housing Authority didirikan sejak 1955, berfungsi mengurusi konstruksi, penyewaan, penugasan kelompok tempat tinggal dan tempat tinggal bagi kalangan pekerja, dan penyediaan tanah bagi proyek-proyek penciptaan daerah perkotaan baru. Pada 1981 badan ini berubah menjadi Housing and Urban Development Corporation.

Di Indonesia sendiri, ide yang sejenis telah lahir dan terus berkembang sejak zaman penjajahan Belanda:

  • 1934 – Burgelijke Woningsregeling, di bawah kewenangan Department van Verkeer en Waterstaat (Departemen Transportasi, Pekerjaan Umum dan Pengelolaan Pengairan).
  • Paska PD II – Department van Verkeer en Waterstaat dibubarkan, dibentuklah Doboku oleh Jepang.
  • 1947 – Pemerintah RI merintis kebijakan Balai Perumahan di Jakarta, di bawah wewenang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perhubungan.
  • 1950 – Gagasan Kongres Perumahan Rakyat Sehat bagi warga kurang mampu.
  • 1951 – Pembentukan Badan Pembantu Perumahan Rakyat.
  • 1952 – Pembentukan Jawatan Perumahan Rakyat dan Yayasan Kas Pembangunan yang membangun 12.460 unit rumah di 12 kota hingga 1961.
  • 1969 – Rezim Orde Baru melanjutkan proyek pembangunan perumahan rakyat pemerintahan Sukarno di tengah resesi ekonomi, dengan hanya 1000 unit rumah.
  • 1972 – Pembentukan Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN).
  • 1974 – Peresmian BUMN Perum Perumnas, dengan menggandeng Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai mitra fasilitator Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
  • 1979 – Partisipasi Real Estate Indonesia (REI) membangun 73.914 unit rumah.
  • 1982 – Pembangunan Perum Perumnas di Depok, Jakarta, Bekasi, Cirebon, Semarang, Surabaya, medan, Padang hingga Makassar.
  • 1994 – 233.770 naik menjadi 300.280 unit rumah dibangun.
  • 1998 – Pembangunan turun hingga hanya 238.074 unit akibat gejolak politik.

Perum Perumnas sempat menjadi solusi bagi kebutuhan perumahan rakyat, walaupun sayangnya malah lebih banyak dinikmati kalangan abdi negara sipil serta prajurit militer. Kini Perum Perumnas bernaung di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), terus melanjutkan misi Program Satu Juta Rumah.

Sebenarnya pada akhir 2017, PUPR sudah meluncurkan program pembiayaan mikro perumahan (PMP) untuk memberi kesempatan MBTT memiliki rumah melalui pembiayaan dari perbankan. Syaratnya, MBTT harus harus membentuk komunitas terlebih dahulu.

Adapun akses pembiayaannya maksimum Rp50 juta dan bisa dibayar bertahap dengan masa pinjaman antara tiga hingga lima tahun. Mekanisme ini digunakan karena secara ekonomi mereka hanya bisa mengembalikan kredit dalam jangka pendek,” kata Dirjen Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Lana Winayanti, Jumat, 25 Agustus 2017.

Namun, MBTT bisa mengajukan pinjaman berkali-kali jika rekam jejak pengembaliannya baik. Jadi dengan mekanisme yang berlaku seperti ini maka masyarakat bisa mengajukan pinjaman pertama untuk beli kavling, pinjaman kedua bangun rumah tipe 18. Tahapan berikutnya bisa pinjam lagi untuk menambah rumah ke tipe 36.

Menyadari situasi ini, para pengembang perumahan anggota Perwiranusa mendesak pemerintah membentuk Otoritas Rumah Rakyat Nasional. Otoritas ini diperlukan guna menyelenggarakan seluruh kegiatan dan regulasi yang terintegrasi, termasuk proses produksi rumah, penyediaan hunian terjangkau, lembaga pembiayaan perumahan bagi rakyat, sekaligus pengelolaan perkotaan yang terkoordinasi dengan Pemda.

Kalaupun bukan Kementerian, minimum Badan setingkat Menteri yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, atau Wakil Menteri seperti zamannya Bpk. Cosmas Batubara dulu, agar sektor Perumahaan Rakyat tidak teranaktirikan.

Dengan demikian, tidak lagi ada ego sektoral serta tumpang tindih perijinan antara pusat dan daerah seperti sekarang (karena masih bernaung di bawah Kementerian PUPR), yang menyebabkan rumitnya perijinan Pemda, ketersedian lahan, sertifikasi laik fungsi (SLF), kehabisan kuota KPR rumah subsidi, dan membuat Program Sejuta Rumah serasa proyek bermasalah.

Partisipasi OJK Menyambut Otoritas Perumahan

Memahami situasi yang sedang terjadi, OJK pun berpartisipasi melonggarkan ruang gerak pengembang properti, dengan mengeluarkan paket kebijakan khusus pemacu pertumbuhan kredit di sektor properti, yang memperkuat efek kebijakan makroprudensial BI.

Kebijakan itu berupa pengubahan ketentuan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) yang dikenakan kepada bank, sehingga terasa lebih fleksibel bagi pengembang rumah tapak/susun. Pengembang hunian pun bisa mendapatkan kredit bank sejak masih dalam tahap pembebasan tanah.

Benih-benih Kebangkitan Perumahan Rakyat

Pada akhir 2017, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah meluncurkan Program Pembiayaan Mikro perumahan (PMP) untuk memberi kesempatan MBTT mengakses pembiayaan perumahan oleh perbankan, dengan syarat: wajib membentuk komunitas terlebih dahulu. Akses pinjaman pembiayaan maksimum Rp50.000.000 yang bisa dilunasi dalam 3-5 tahun. Jika rekam jejak pengembaliannya baik, debitur bisa mengajukan pinjaman berulang.

Merupakan wadah baru bagi para pengembang perumahan, misi Perwiranusa yang merupakan transformasi dari Asosiasi Pengembang dan Pemasar Rumah Nasional (Asprumnas) adalah mengembangkan kawasan perumahan rakyat berstandar tinggi dari hulu ke hilir, mulai dari proses pengadaan lahan, pengukuran, perencanaan, perancangan, perizinan, keuangan, pemasaran, hingga pengadaan bahan bangunan dan pengawasan, dengan penerapan teknologi dan konstruksi terkini.

Perwiranusa saat ini tengah mengembangkan rumah murah layak huni untuk MBR-MBTT dengan kapasitas 4 kamar tidur termasuk furniturnya dengan mengindahkan 5 unsur, yakni: lokasi, akses, infrastruktur, fasilitas, dan bangunan, yang bisa diakses dengan harga rata-rata Rp100.000.000an, cicilan Rp1.000.000/bulan, dan tanpa uang muka. Konsep rumah tersebut sudah dikembangkan sekitar 3.000 unit di sejumlah daerah seperti Atambua, Mentawai, Bekasi, Darma Sraya Sumatera Barat.

Target di tahun depan adalah 12.000 unit tersebar di Jember, Lumajang, Banyuwangi, Batu, Kediri, Madura, Kediri, Kertosono, Jombang, Bangkalan, Mojokerto.

Wah, ternyata di Jakarta kok nggak ada ya?

Sementara menunggu Program Sejuta Rumah menuju sekses, jangan berhenti berinvestasi demi kebebasan finansial di masa depan. Pilih produk investasi yang berintegritas, fleksibel dan menguntungkan seperti Ajaib.

Dengan aplikasi mudah, menu pilihan paket investasi variatif, minimum modal hanya Rp10.000 dan menyandang status kelulusan dari program pembinaan inkubator startup terkemuka Y Combinator di Silicon Valley, serta pengawasan penuh Otoritas Jasa Keuangan. Ajaib tetap jadi pilihan awsome untuk kaum milenial!

Artikel Terkait