Pajak

Mengenal Prinsip Self Assessment Perpajakan di Indonesia

Perpajakan di Indonesia
Perpajakan di Indonesia

Ajaib.co.idSelf assessment bermakna wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, menetapkan, dan menyetorkan sendiri pajaknya. Kontribusi warga negara kepada negara salah satunya bisa dilakukan melalui pajak. Perpajakan di Indonesia memiliki sejarah panjang. Sampai sekarang, penerapan pajak di Indonesia menganut prinsip self assessment.

Sejarah Self Assessment

 Prinsip self assessment ini telah diterapkan sejak tahun 1983. Jauh mundur ke belakang, yakni sebelum masa penjajahan di tanah air, pajak lebih dikenal dengan sebuah istilah upeti. Biasanya, upeti dipungut oleh raja, sultan, atau pimpinan di suatu wilayah untuk kepentingan pribadi. Upeti juga bisa diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan operasional kerajaan atau kesultanannya, misalnya membangun istana, biaya rumah tangga kerajaan dan sebagainya.

Saat masa penjajahan oleh Belanda, sistem perpajakan modern diterapkan di Indonesia. Pajak rumah tinggal adalah jenis pajak yang berlaku saat itu. Pajak ini mulai diberlakukan tahun 1839. Selain itu, ada pula pajak usaha. Kala itu, kewarganegaraan wajib pajak dapat menentukan besaran tarif pajak.

 Kemudian, Belanda dan Inggris sempat memperkenalkan sistem pemungutan pajak yang lebih sistematis sebelum Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1983, Indonesia mulai menganut sistem perpajakan self assessment. Sistem ini menggantikan sistem official assessment yang sebelumnya diterapkan.

Mengenal Sistem Self Assessment

 Dalam sistem official assesment, penguasa memegang tanggung jawab pemungutan pajak. Di sini, Wajib pajak hanya berperan sebagai pembayar jumlah pajak yang sebelumnya telah ditetapkan.Lain halnya dengan sistem perpajakan self assessment. Self assessment adalah sistem pemungutan pajak yang membebankan penentuan besaran pajak kepada wajib pajak yang bersangkutan. Pada sistem self assessment, yang berperan aktif adalah Wajib.

Peran aktif di sini berarti menghitung, membayar, dan melaporkan besaran pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui sistem administrasi online yang sudah dibuat oleh Pemerintah. Pada sistem self assessment, peran Pemerintah adalah sebagai pengawas para wajib pajak.

 Jenis pajak yang dilaporkan antara lain Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Sebenarnya, Indonesia tidak secara murni menerapkan sistem perpajakan self assessment. Sistem pemungutan pajak official assessment juga masih terlihat untuk sebagian jenis pajak, seperti pelunasan Pajak Bumi Bangunan (PBB) atau jenis pajak daerah lainnya.

 Batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi sendiri adalah akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak. Sementara itu, batas waktu pelaporan SPT Tahunan untuk PPh Badan adalah akhir bulan keempat setelah berakhirnya tahun pajak. Untuk PBB, batas waktu pelaporannya enam bulan sejak diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Kini, kamu dapat melaporkan pajak melalui sistem e-filing secara online.

Pemerintah memberi keringanan kepada wajib pajak untuk menyampaikan SPT Tahunan dalam saat pandemi Covid-19. Wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dengan akhir tahun buku 31 Desember 2019 tetap wajib menyampaikan SPT tahunan tahun pajak 2019 selambat-lambatnya tanggal 30 April 2020. Tapi, terdapat relaksasi penyampaian dokumen kelengkapan SPT paling lambat tanggal 30 Juni 2020.

Sistem Pemungutan Pajak Self Assessment

 Wajib pajak pun tidak dikenakan sanksi denda atas keterlambatan penyampaian SPT Tahunan. Tapi, jika ada kekurangan bayar dalam SPT tahunan yang disetorkan setelah 30 April 2020, tetap dikenakan sanksi bunga sebesar 2% per bulan.

 Sistem pemungutan pajak self assessment sendiri memiliki sejumlah ciri antara lain:

·     Penentuan besaran pajak terutang dilakukan oleh wajib pajak itu sendiri.

·     Wajib pajak berperan aktif dalam menuntaskan kewajiban pajaknya mulai dari menghitung, membayar, hingga melaporkan pajak.

·     Pemerintah tidak wajib mengirimkan atau mengeluarkan surat ketetapan pajak. Surat ketetapan pajak hanya diperlukan bila Wajib Pajak telat lapor, telat bayar pajak terutang, atau terdapat pajak yang seharusnya Wajib Pajak bayarkan, namun tidak dibayarkan.

 Sistem self assessment menimbulkan konsekuensi tersendiri, yakni wajib pajak dapat mengusahakan untuk menekan besaran pajak yang akan disetorkan kepada negara. Potensi ini memungkinkan terjadi karena Wajib Pajak berwenang menghitung besaran pajak terutang yang perlu dibayarkan secara mandiri.

 Seberapa besarkah Wajib Pajak dapat dipercaya untuk menghitung sendiri pajaknya? Bukankah nanti muncul celah-celah yang banyak dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan saat menghitung pajak terutang? Potensi-potensi tersebut, tak dipungkiri, memang ada.

 Bila terdapat indikasi ketidakbenaran pelaporan data, maka kantor pajak dapat memeriksa Wajib Pajak. Pemeriksaan tersebut bisa dilakukan di kantor atau di lapangan. Pemeriksaan akan mencakup dokumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak.

 Dari pemeriksaan yang dilakukan, hasilnya bisa berupa kekurangan pembayaran pajak atau kelebihan bayar. Bila terjadi kekurangan bayar, kantor pajak akan menerbitkan tagihan tambahan atas kekurangan tadi. Selain itu, kantor pajak juga akan menerbitkan besaran denda/sanksi administrasi. Jika terjadi kelebihan bayar, bakal diterbitkan surat ketetapan lebih bayar dan dana akan dikirimkan kembali ke Wajib Pajak.

 Sistem self assessment juga memberikan konsekuensi yang berat bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakannya. Konsekuensi berupa sanksi yang dijatuhkan akan lebih berat. Sanksi tersebut berupa denda bunga. Sanksi lainnya berupa kenaikan jumlah pajak yang terutang.

 Tak hanya itu, sanksi lebih berat lainnya juga menanti, seperti sandera pajak (gijzeling) maupun pidana pajak. Maka, untuk mencegah hal-hal tersebut terjadi, Wajib Pajak mau tak mau harus mendalami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Sebagian Wajib Pajak menggunakan perusahaan penyedia jasa keuangan untuk perhitungan dan pelaporan pajak.

 Pajak yang dibebankan kepada warga negara memiliki sifat memaksa. Saat sudah menyetorkan pajak, hasil pajak memang tidak langsung terlihat. Meski begitu, kamu tidak disadari sebenarnya dapat merasakan hasilnya. Hal ini karena hasil pemungutan pajak digunakan untuk berbagai macam keperluan negara dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Artikel Terkait