Ajaib.co.id – Indonesia resmi masuk ke dalam ‘jurang’ resesi sejak awal bulan ini akibat pandemi Covid-19. Lantas, apakah resesi berarti sama dengan krisis ekonomi?
Jawabannya tidak. Baik resesi maupun krisis ekonomi memiliki ciri atau karakteristik tersendiri, seperti dijabarkan di bawah ini.
Resesi
Dilansir dari The Balance, resesi adalah penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi. Jangka waktunya berlangsung dalam beberapa bulan. Umumnya, penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi tersebut terjadi dalam jangka waktu tiga bulan lebih.
Bahkan, Forbes menyatakan, penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan dapat berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Sejumlah indikator biasanya digunakan sebagai indikator suatu negara dikatakan mengalami resesi atau tidak. Indikator-indikator yang dimaksud antara lain terjadi penurunan pada Produk Domestik Bruto (PDB), makin sedikitnya jumlah lapangan kerja, merosotnya pendapatan riil, penjualan ritel, dan terpuruknya industri manufaktur.
Para ahli menambahkan, resesi terjadi dalam suatu negara jika tingkat pengangguran meningkat, ukuran pendapatan serta manufaktur menyusut untuk jangka waktu yang lama.
Dari beberapa indikator tersebut, beberapa negara menjadikan PDB atau pertumbuhan ekonomi sebagai tolok ukur kondisi resesi. Suatu negara disebut mengalami resesi ekonomi bila PDB di negara tersebut negatif selama dua kuartal berturut-turut. Inilah yang dialami oleh Indonesia pada kuartal ke-2 dan ke-3 tahun 2020.
Krisis
Melansir Market Business News, krisis adalah keadaan yang mengacu pada penurunan kondisi ekonomi drastis di suatu negara. Dengan kata lain, krisis ekonomi adalah kondisi ekonomi yang menurun lebih drastis dibandingkan dengan resesi ekonomi.
Saat terjadi krisis, fundamental ekonomi suatu negara terbilang rapuh. Laju inflasi yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang macet menandakan rapuhnya fundamental ekonomi di suatu negara.
Gejala krisis ekonomi didahului oleh sejumlah kejadian, misalnya penurunan kemampuan belanja pemerintah dan jumlah pengangguran melebihi 50% dari jumlah tenaga kerja.
Selain itu, gejala lainnya termasuk penurunan konsumsi atau daya beli rendah, kenaikan harga bahan pokok yang tidak terbendung, penurunan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung drastis dan tajam serta penurunan nilai tukar yang tajam dan tidak terkontrol.
Tak hanya itu, secara umum, negara yang menghadapi keadaan tersebut akan mengalami penurunan PDB, anjloknya harga properti dan saham serta naik-turunnya harga karena inflasi.
Dilihat dari jangka waktunya, krisis ekonomi berlangsung antara 18-43 bulan. Jadi, lebih lama dibandingkan dengan resesi ekonomi. Singkatnya, berbeda dengan resesi, penurunan pertumbuhan ekonomi saat krisis berlangsung drastis dan tajam.
Bagi banyak pihak, kondisi ini memang sangat menakutkan. Krisis ekonomi bisa membuat banyak sekali pihak yang terdampak atau dirugikan.
Penyebab krisis pada suatu negara berbagai macam, seperti berikut ini.
Utang negara yang berlebihan
Beban utang yang banyak bagi suatu negara adalah masalah. Masalah lebih runyam bila negara tak mampu membayarnya. Inilah yang memicu krisis ekonomi di negara tersebut.
Dalam skala lebih kecil, perusahaan yang memiliki banyak utang dan tidak mampu membayarnya, maka bisa perusahaan tersebut bisa bangkrut. Meski tak sama persis, kondisi ini bisa juga dialami oleh negara.
Laju inflasi yang tinggi
Harga barang dan jasa yang mengalami kenaikan dalam waktu yang panjang disebut inflasi. Inilah pula yang bisa mendorong terjadinya krisis.
Sebenarnya, inflasi tidak selalu berarti buruk. Inflasi yang bisa mengguncang perekonomian suatu negara bergantung pada tinggi-rendahnya tingkat inflasi. Selain itu, inflasi terjadi dalam waktu yang lama juga bisa berarti buruk.
Kombinasi keduanya, inflasi tinggi dan berlangsung lama, bisa mengakibatkan nilai uang turun. Alhasil, membuat perekonomian di suatu negara semakin memburuk.
Pertumbuhan ekonomi yang macet
Pertumbuhan ekonomi yang tidak terjadi juga bisa menjadi penyebab krisis di suatu negara. Jika pertumbuhannya terus memburuk, maka ada kemungkinan negara tersebut masuk ke jurang krisis perekonomian. Investasi yang tidak efisien, defisit neraca pembayaran yang besar dan tidak terkontrol memperparah kondisi tersebut.
Jadi, sekali lagi resesi berbeda dengan krisis. Krisis lebih parah atau berbahaya dibandingkan resesi ekonomi. Hal ini perlu ditekankan mengingat Indonesia memiliki sejarah krisis ekonomi yang berdampak luas, yakni pada tahun 1998 silam.
Saat mendengar kata ‘resesi’, sebagian masyarakat akan langsung mengaitkannya dengan kondisi di tahun 1998. Krisis ekonomi 1998 didahului oleh runtuhnya perekonomian sejumlah negara, termasuk Asia, hingga berimbas ke Indonesia.
Pada Juli 1997, krisis keuangan menerpa hampir seluruh Asia Timur. Kondisi tersebut kemudian menimbulkan kepanikan terhadap ekonomi dunia yang dinilai bakal runtuh tertular krisis serupa.
Krisis pun menyebar ke sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia, yang mengalami pelemahan nilai mata uang. Nilai rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Pada akhir 1997, nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS masih di level Rp4.000-an.
Nilai tersebut melemah ke level Rp6.000-an pada awal tahun 1998. Pada bulan April 1998, nilai rupiah makin melemah hingga menyentuh Rp8.000-an.
Disertai dengan berbagai kondisi lain, krisis saat itu membuat Indonesia terpaksa mengandalkan bantuan finansial dari Dana Moneter Internasional (IMF). Pada 31 Oktober 1997, Indonesia, yang saat itu masih di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, meminjam dana sebesar USD23,53 miliar.
Saat itu, krisis ekonomi di Indonesia berkembang menjadi kerusuhan massal dan banyak investor meninggalkan Indonesia. Indonesia perlu waktu bertahun-tahun untuk memulihkan kondisi akibat hantaman krisis kala itu.
Kini, Indonesia belum mengalami krisis ekonomi. Indonesia ‘baru’ mengalami resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19. Masyarakat diharapkan untuk tidak panik dan menyebarluaskan informasi yang berpotensi menimbulkan kegaduhan atau bahkan kerusuhan massal.