Saham

Hindari Beli Saham yang Akan Delisting, Ketahui Ciri-Cirinya

ciri-investasi-bodong

Ajaib.co.id – Akan sangat merugikan jika berinvestasi saham namun setelahnya saham tersebut tidak diperdagangkan lagi alias delisting. Kamu harus mengetahui ciri-ciri sebuah saham yang akan dikeluarkan dari bursa karena satu dan lain hal sebelum mengalami kerugian lebih jauh.

Di tahun 2017 Ratna ingat betul dengan lembar analisis yang ia peroleh dari brokernya. Kejatuhan saham Tiga Pilar Sejahtera Tbk (kode:AISA) dianggap sebagai peluang yang tidak boleh dilewatkan.

Dari sebelumnya Rp2000 per lembar, setelah kasus beras oplosannya mencuat AISA terjun ke Rp500 per lembar saham. Semestinya ini adalah kesempatan yang bagus. Betapa tidak? Seperti kasus lainnya, kasus ini pun pastinya akan segera dibereskan dan emiten akan kembali pulih, bukankah begitu?

Tanpa pikir panjang, setelah membaca analisis saham dari brokernya maka Ratna putuskan untuk membeli AISA dengan seluruh tabungannya yaitu Rp50 juta. Padahal analis pun bisa salah. Saat itu ada sekitar 30 analis dari berbagai broker, 20 di antaranya menyarankan untuk menghindari AISA sedangkan 10 lainnya menyarankan AISA sebagai “Best Buy” dan “Highly Recommended”.

Bahkan di kalangan analis pun beragam pendapat berseliweran. Kebetulan analis Ratna menyarankan untuk beli dan logika Ratna juga menuntunnya untuk melakukan itu.  

Beberapa bulan setelahnya AISA terjun ke Rp268 per lembar dan dinyatakan suspend alias tidak diperdagangkan sampai waktu yang belum ditentukan. Bukan kepalang cemasnya Ratna karena dengan begitu Ratna tidak bisa menjual sahamnya sampai suspensi dibuka.

Peter Lynch dari Fidelity pernah berkata bahwa kemampuan analisis seorang amatir bisa saja setara dengan para profesional di wallstreet bahkan kadang lebih baik lagi. Kita tau bahwa tugas seorang investor adalah mencari saham-saham yang bagus yang bertumbuh dan bermasa depan. Tapi kamu juga harus bisa mengidentifikasi ciri-ciri perusahaan yang sedang menuju ke kematian.

Tenang saja, ciri-ciri perusahaan yang bermasalah atau bermasa depan suram telah dirangkum oleh Scott Fearon. Scott sudah berpengalaman selama 30 tahun berkali-kali berhasil menemukan 200 perusahaan yang berujung kebangkrutan.

Ia mengaku bahwa kepiawaiannya mengenali saham-saham sekarat membawanya kepada kesuksesan. Scott kini mendirikan Crown Capital Management. Ia menulis artikel di CNBC tentang hal yang membuatnya sukses menghindari membeli perusahaan-perusahaan yang berujung pada kebangkrutan.

Menemukan 200 perusahaan yang berujung kebangkrutan bukan hal yang mudah namun ternyata ada lima hal yang menjadi kesamaan dari perusahaan-perusahaan ini. Puluhan tahun pengalamannya mungkin dapat menjadi pelajaran berharga untuk kamu yang ingin berinvestasi jangka panjang di pasar saham.

Oke, jadi perusahaan-perusahaan yang berujung pada ketidakberesan ini hanya sekedar mampu memperpanjang umurnya dengan menumpuk utang dan taktik lainnya. Berikut adalah ciri-ciri perusahaan yang sedang menuju ke kebangkrutan yang disebutkan oleh Scott:

Terdapat penurunan pendapatan dan adanya penumpukan utang

Jika sebuah emiten/perusahaan yang sudah terdaftar di bursa mencatatkan penurunan pendapatan kamu perlu waspada. Pertama kamu perlu melihat apakah penurunan ini sifatnya sementara atau ada sesuatu pada produk emiten atau industrinya sudah tidak mendukung.

Penurunan pendapatan akan menjadi mengerikan jika kombo dengan utang yang menumpuk. Penurunan pendapatan biasanya mempengaruhi marjin laba, tidak hanya itu terkadang juga berpengaruh pada bertambahnya utang. Jika sudah demikian maka kebangkrutan pasti akan membayangi.

Ekspansi yang salah dan ekspansi berlebihan Hingga Bangkrut dan terkena Delisting

Scott Fearon mengatakan bahwa selama puluhan tahun ia berinvestasi ia telah melihat banyak sekali perusahaan yang tumbuh ke arah kebangkrutan. Biasanya perusahaan yang sudah pernah mengecap manisnya kesuksesan cenderung lebih mudah terbujuk untuk ekspansi. Memperluas bisnisnya bahkan hingga ke tahap ekspansi yang salah atau yang berlebihan.

Ekspansi yang salah dan berlebihan misalnya AISA. Sejak 2015 kita tahu AISA yang berbisnis di bidang industry makanan mencoba berekspansi ke bidang perkebunan kelapa sawit. Nyatanya AISA di bawah Joko Mogoginta tidak sanggup melakukannya. Ketidakmahiran CEO AISA tersebut dalam mengelola bisnis yang baru disentuhnya membawa AISA pelan-pelan ke kehancurannya.

Pada tahun 2017 saja, AISA sudah terseret oleh buruknya pengelolaan kelapa sawit di bawah Joko Mogoginta. Lalu skandal-skandal lainnya berentetan terjadi setelahnya. Itu semua bermula dari ekspansi yang salah di bidang yang tak ia kuasai.

Disebut berlebihan karena sebelum bisnis hasil caplokannya berhasil laba ia sudah terburu-buru mengakuisisi bisnis-bisnis lain dalam waktu yang terlalu dekat. Sejak 2017 sudah berujung kepada kegagalan, 2018 tersangkut kasus, lalu berakhir dengan suspensi.

AISA adalah kasus khusus karena umumnya perusahaan yang mempunyai produk pokok seperti makanan tidak mengalami salah ekspansi. Scott Fearon sendiri lebih sering melihat kegagalan yang disebabkan ekspansi pada perusahaan-perusahaan energy seperti batubara atau minyak. Cirinya biasanya mereka sukses saat harga komoditasnya berada di puncak, lalu berekspansi secepat mungkin.

Strategi ekspansi ini akan memakan marjin laba dan ketika ekspansinya benar-benar besar, saat krisis biaya operasionalnya tidak tertutup. Krisis dalam emiten energi bisa berupa turunnya harga komoditasnya. Kita tahu bahwa sebagian besar perusahaan minyak dan batubara amat bergantung pada harga acuan komoditasnya. Kamu akan medapat informasi tentang harga acuan komoditas setiap pagi dari laporan yang disampaikan brokermu.

Fearon bahkan berkata bahwa “perusahaan sektor energi terkenal akan tindakan seperti ini; di masa-masa indah, mereka rakus menyerap hutang dan tumbuh seperti rumput, tetapi ketika pasar bergeser maka kebanyakan dari mereka berubah dari hero menjadi zero.”

Obligasi korporat dengan yield-to-maturity (YTM) yang membengkak

Obligasi adalah surat berharga yang menjadi bukti bahwa sebuah perusahaan atau institusi berutang. Sebuah institusi atau korporat yang merilis obligasi artinya meminjam sejumlah uang dari banyak pihak dengan menjanjikan pembayaran pokok plus bunga. Bunga akan dibayarkan setiap tahunnya dan itu disebut dengan istilah kupon.

Yield/imbal hasil yang besar sekali dari kupon yang diberikan perusahaan cukup sering menjadi indikator kebangkrutan yang handal. Ketika yield to maturity membengkak, maka biasanya korporat sedang dalam keadaan terdesak.

Pembeli obligasi korporat biasanya adalah investor institusional bermodal besar dan yang membeli obligasi yang YTM nya membengkak biasanya sudah menduga bahwa perusahaan akan melakukan reorganisasi atau penggantian sruktur manajemen dimulai dari penggantian CEO-nya.

Kamu bisa pantau tentang berita obligasi korporat di kanal-kanal berita seperti CNBC, detik finance, kontan atau Bisnis Indonesia. Jika tiba-tiba menawarkan imbal hasil yang besar sekali, kamu seharusnya berhati-hati.

Industri yang Mulai Tenggelam

Scott menyatakan bahwa perusahaan yang gagal biasanya berasal dari industri yang tenggelam. Misalnya saat pertama kali telepon genggam beredar di tahun 1999, saham-saham perusahaan telepon umum di Amerika Serikat anjlok.

Namun, banyak saja analis-analis Wall Street yang terkemuka yang menyarankan orang-orang untuk membelinya. Mungkin ada baiknya kamu tanyakan kepada diri sendiri dan mungkin mengobrol dengan orang dalam tentang prospek ke depan menurut mereka.

Scott Fearon mengatakan bahwa dirinya juga banyak menghabiskan waktu berkutat dengan laporan keuangan dan data yang diolah daripadanya. Namun ada baiknya untuk juga memperhatikan tentang masa depan industri emiten yang sahamnya hendak dibeli dan disimpan untuk angka panjang.

Jawablah pertanyaan seperti “Akankah perusahaan ini masih berdiri dalam lima atau sepuluh tahun?”

Orang Dalam “Melarikan Diri”

Investor bisa amati kegiatan orang dalam. Jika sebuah sahan secara konsisten merosot bersamaan dengan ketika pemilik-pemilik saham besarnya “melarikan diri”, maka bisa jadi ada sesuatu yang busuk. AISA adalah contoh bagus untuk yang satu ini. Sebelum dinyatakan suspend, Tiga Pilar Sejahtera terus saja menjual sahamnya sendiri.

Dari sebagai pengendali mayoritas dengan 51% penguasaan saham menjadi 20% saja, berangsur-angsur turun hingga akhirnya hanya tinggal 5% saja. Artinya perusahaan sendiri telah menyadari ada sesuatu yang salah dan mereka tidak ingin sesegera mungkin “keluar”. Ini yang Ratna luput untuk pantau. Jika kamu ingin pantau aksi jual beli orang dalam, bisa kamu cek di situs-situs forum saham.

Artikel Terkait