Milenial

Dampak Global Warming Anjlok Saat New Normal

Ajaib.co.id – Kamu nyadar nggak, di masa New Normal ini ternyata kamu hidup lebih hemat? Mungkin tagihan listrik agak naik, tapi ongkos transport terpangkas WFH, kan? Nah, ternyata kabar baik bagi keuanganmu ini, surprisingly, juga jadi good news bagi bumi dan kita semua, karena mengurangi dampak global warming.

Banjir bandang di Cina dan Sulawesi, kekeringan dan kebakaran hutan di Amerika dan Australia, gempa di Papua Nugini dan Pandeglang, adalah menu pilihan paket bencana dampak global warming yang segera harus kamu terima jika kamu menolak New Normal

Semakin jor-joran kamu berkendara, terbang dengan pesawat, dan pakai AC seperti dulu, semakin bertumpuk lagi gas emisi ke udara, dan semakin dekat lagi kamu dengan bencana alam.

Ketika kamu dan warga bumi lainnya terpaksa mager di rumah akibat pandemi COVID-19, tren krisis iklim melambat. Suhu bumi yang tadinya memanas akibat pemanasan global, sontak mendingin. Demam panas yang diderita bumi, mereda. Bukan karena Paracetamol, tapi karena kamu dan semua warga dunia serentak berhenti naik mobil dan naik pesawat terbang.

Global warming adalah fenomena yang menentukan batas kepunahan manusia. Maka semua ikut bertanggung jawab untuk merubah gaya hidup, demi menjauhkan ancaman bencana itu. Bahkan porsi terberatnya ada pada Pemerintah negara, karena ketika mereka membalikkan tren old normal ke New Normal, ada krisis ekonomi negara bersifat sementara, yang harus mereka tangani.

Simpelnya begini: Kalau kamu semangat mendukung Pemerintah ber-New Normal dengan mengurangi pemakaian bahan bakar yang berpolusi, maka kamu dan bangsa ini sama-sama sedang menjauhi bencana dampak global warming. Masih ragu? Yuk pastikan lagi lewat artikel Ajaib ini.

Dilema Pemerintah Negara Pra-Sejahtera

Kamu pasti sudah melihat ricuhnya pembagian Dana BanSos yang cuek dalam menerapkan protokol kesehatan di mana-mana. Kalangan pra-sejahtera nggak kuat menjalani New Normal tanpa bantuan Pemerintah. Itu pun nggak cukup, harus ngutang sana-sini.

Hal ini menimbulkan pertanyaan; apakah Pemerintah suatu negara pra-sejahtera diizinkan untuk menempuh pendekatan yang lebih lunak dalam pemberlakuan New Normal, mengingat penderitaan masyarakatnya lebih berat dibanding negara kaya? Sejauh mana Indonesia harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi demi menangani krisis perubahan iklim? Toh bukan kita yang dulunya memulai Revolusi Industri, lalu jor-joran melakukannya di masa silam, kan?

Namun bagaimanapun, seperti dilansir bbc.com pada 24 Juni 2020 lalu, environmentalist Elise Amel menuliskan bahwa: saat kamu di rumah aja karena WFH, dirumahkan sementara atau PHK, kamu baru bisa melihat betapa berlebihannya bahan bakar dan makanan yang selama ini terbuang setiap hari demi produktivitas.

Dampak Global Warming Turun Saat Semua Mager

Seperti dilansir oleh Simon KinghamProfessor, University of Canterbury, pada 1 Juli 2020 lalu di theconversation.com, secara keseluruhan, jumlah gas emisi karbon dioksida harian di seluruh dunia anjlok 17% di awal April 2020 dibanding pada 2019, dan hampir setengahnya disebabkan oleh penurunan penggunaan transportasi darat.

Penelitian ini juga memperkirakan pandemi akan terus menurunkan jumlah gas emisi global sebesar 4% jika kamu kembali ke gaya hidup old normal sebelum pandemi, tapi bisa menekannya hingga 7% jika kamu kompak beramai-ramai terus berhemat ala New Normal sampai akhir tahun 2020.

7%? Kok sedikit? Kan sudah gabut nih ber-New Normal! Jangan kecewa dulu, bahkan cuma anjlok 7% itu pun berarti tingkat emisi di penghujung 2020 itu akan sama dengan tahun 2011 silam, dimana iklim bumi masih jauh lebih sejuk daripada hari ini!

Faktanya, giat ramai-ramai ber-New Normal akan mendatangkan beragam manfaat tambahan seperti: lebih hemat, lebih sehat, dan sekaligus menurunkan efek gas emisi rumah kaca. Kayaknya memang worth it untuk dicoba kan?

Dampak jangka panjang pandemi pada iklim akan sangat tergantung pada tindakan Pemerintah tiap negara dalam memulihkan ekonominya. Jika mereka menempuh cara yang go-green, misalnya dengan beralih ke energi angin atau matahari, maka ekonomi negaranya akan pulih, sekaligus menjauhkan BANGSANYA DAN BANGSA LAIN SEDUNIA dari bencana alam akibat dampak global warming.

Dampak Global Warming vs Kesejahteraan Ekonomi, Mana Duluan?

Meski galau, tingkat kesadaran dan kemampuan berkomitmen sebuah negara pra-sejahtera bisa membuat salut. Seperti dilansir Sarah Nicholas di unsustainablemagazine.com pada 10 Maret lalu, Pemerintah India mengambil langkah brilian di tengah dilema antara ekonomi atau lingkungan.

Meskipun menganggarkan hampir USD23,5 miliar untuk perbaikan infrastruktur dan agrikultur, mereka juga  menganggarkan sebesar USD5,6 juta untuk menangani krisis iklim, dan di saat yang sama telah tumbuh pesat menjadi pasar bagi energi matahari. Pemerintahnya berkomitmen menggandakan peran energi terbarukan hingga 40% di 2030.

Negara-negara yang cepat nyadar lainnya juga telah menunjukkan sikap dan komitmen yang kompak searah, seperti:

Bhutan

Kerajaan kecil Asia Selatan yang terjepit di antara Cina dan India ini memang  anti-mainstream. Saat negara lain panik emisi dan United Nation menggolongkannya dalam ‘negara paling tidak berkembang’, negara demokrasi kerajaan mungil ini sudah duluan negatif karbon dioksida.

Pemerintahnya berikrar melindungi keaslian lingkungan dan keragaman hayatinya. Sang Raja – Jigme Khesar Namgyel Wangchuck memerintahkan penanaman 100.000 pohon untuk merayakan lahirnya putra mahkota. Namun naiknya tingkat pengangguran membuat sejumlah pakar engineering-nya menuntut pembangunan ekonomi demi terciptanya sistem sosialis.

Melbourne, Australia

Meski sudah 2 tahun jadi penggiat krisis iklim, walikota Melbourne – Mayor Capp menjadikan pandemi sebagai titik akselerasi perbaikan lingkungan di kotanya dengan pembangunan jalur sepeda dalam 1 tahun, dan penanaman 150.000 pohon.

New Zealand

Kendaraan  listrik dibebaskan dari retribusi penggunaan jalan.

Pemerintahnya sedang menyusun cara untuk meningkatkan serapan energi terbarukan oleh industri transportasi darat.

Inggris Raya

Sebagai pencetus Revolusi Industri di tahun 1750, kini Inggris malah jadi salah satu negara yang paling getol menyusun ulang strategi penataan lingkungannya dengan mengundang pihak swasta. Komunitas motoris mendesak Pemerintah untuk merelokasi dana perluasan jalan ke dana perbaikan fasilitas broadband.

Pemerintah pun memberikan insentif pada para pengusaha yang terkena krisis, dimana aksi itu populer dijuluki Build Back Better. Tanpa bersikap dogmatik ataupun diskriminatif, para penggiat lingkungan Inggris berkolaborasi dengan firma-firma minyak yang berkomitmen untuk mengatasi krisis iklim dan beralih fokus ke arah pencapaian zero carbon seperti BP dan Shell.

Uni Eropa

Frans Timmerman – Vice President of The European Commission merampungkan Green Deal demi menjaga keberlanjutan ekonomi Uni Eropa, dan menetapkan bahwa tak ada satu negara Eropa pun yang boleh berinvestasi pada industri tua berpolusi.

Amerika Serikat

Meski Partai Demokrat telah lama menegakkan Green New Deal guna mendorong teknologi bebas emisi, sederet firma penghasil minyak telah memburu dana bailout Pemerintahnya, tanpa komitmen pada pengurangan emisi. Presiden Donald Trump juga telah menyepelekan gawatnya krisis iklim, dan malah berjanji akan menolong perusahaan minyak yang krisis, meski tanpa kebijakan yang nyata.

Walaupun ini sudah tahun 2020, masih saja ada negara yang menganut definisi pertumbuhan ekonomi kuno ala Revolusi Industri. Sejak para pemimpinnya dibujuk Presiden Obama untuk berkomitmen pada penanganan krisis iklim di Paris, negara Cina mengalami peningkatan pengangguran dan kekurangan bahan bakar. Cina pun langsung segera mengatasinya dengan membangun pembangkit listrik tenaga batu bara!

Global Energy Monitor memaparkan bahwa target yang ditetapkan di awal Maret 2020 sebesar 7.960 Megawatt, melebihi komitmennya di 2019 sebesar 6.310 MW. Ditambah pula dengan anggaran Cina sebesar USD1 triliun untuk membangun Belt and Road raksasa yang bersifat intensif karbon dioksida!

Nick Robins dari The London School of Economics (LSE) mengestimasi pada krisis ekonomi 2008 silam, hanya 16% rencana stimulus global yang komit bersifat ramah lingkungan, karena Cina malah berinvestasi besar-besaran di proyek bahan bakar minyak! 

Tanpa dukungan Cina dan Presiden Trump, kesadaran Build Back Better negara-negara Eropa tak akan mampu menahan laju dampak global warming.

Kini pertanyaannya adalah: industri apa yang layak ditolong di tengah dampak ekonomi pandemi ini? Hanya yang terbarukan dan go-green, atau perusahaan minyak yang berusaha ‘bersih-bersih’, yang membayar dividen pensiun kamu dengan cara mengebor sumber-sumber energi yang ‘memanggang’ dunia kita?

Mungkin kita memang perlu mendefinisi ulang arti pembangunan, menyelaraskannya dengan perubahan waktu dan kebutuhan Milenium ini?

Gimana, antusias kah kamu ber-New Normal? Yang jelas, mengalihkan dana hasil penghematan kamu selama WFH untuk investasi, adalah langkah yang super cerdas. Pilih platform investasi yang berintegritas seperti Ajaib, yang memungkinkan investasi saham dan reksa dana sekaligus dalam 1 aplikasi, biaya beli saham s/d 50% lebih murah, dan daftar 100% online tanpa biaya minimum. 

Ajaib adalah pilihan super smart bagi investor Milenial karena terdaftar resmi dan diawasi oleh OJK juga IDX, serta mendapat penghargaan dari Asia Forbes, Fintech News Singapore, Dunia Fintech dan Top 10 Startups from Y Combinators TechCrunch.

Sumber: Climate explained: will the COVID-19 lockdown slow the effects of climate change?, A ‘mass experiment’ for the climate, dan Tug of War: The Impact of Climate Change on Economic Development, dengan perubahan seperlunya.

Artikel Terkait