Properti

Apa Arti Properti Sebagai Investasi di 2020? Ini Jawabannya

arti properti

Ajaib.co.id – Kamu mungkin setuju bahwa investasi properti rasanya masih merupakan jenis investasi legendaris terpopuler selain emas dan logam mulia. Selain berfungsi sebagai aset pendongkrak pundi-pundi, sejak dulu arti properti juga merupakan simbolisasi skala eksistensi seorang investor, karena semakin banyak jejak propertinya di mana-mana, maka semakin besar namanya, dan semakin leluasa pula sepak-terjangnya.

Apa itu Arti Properti?

Arti properti menurut Wikipedia adalah kepemilikan seseorang terhadap suatu barang ataupun non barang. Properti sering dikaitkan dan tidak terpisahkan dari tanah dan atau bangunan, padahal segala sesuatu yang sifatnya itu kepemilikan bisa disebut sebagai properti. Apalagi barang tersebut terdaftar secara resmi dan memiliki surat-surat kepemilikan.

Sedangkan properti menurut KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah harta berupa tanah dan bangunan serta sarana dan prasarana yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tanah dan/atau bangunan yang dimaksudkan; tanah milik dan bangunan.

Mungkin belum semua dari kamu paham betapa besar biaya operasional untuk memiliki sebuah properti. Halaman rumah ribuan meter hingga hektaran yang indah terlapisi rumput indah bisa menghabiskan jutaan rupiah per bulan hanya untuk perawatannya saja. Begitu pula rumah, apalagi gedung. Jika ongkos operasional sudah merangkak naik hingga semahal saat ini, arti properti adalah sumber kekayaan atau sumber tekor ya? 

Kini, 20 tahun perjalanan pembangunan perekonomian Indonesia telah banyak merubah itu. Disrupsi ekonomi akibat boomingnya industri digital, telah banyak merubah proiritas dan nilai di dalamnya, termasuk arti properti bagi kalangan milenial seperti kamu.

Sharing Economy Menggiring Perubahan Arti Properti dalam Bisnis

Di tengah perlambatan ekonomi dan melemahnya kinerja bisnis global, sektor digital dan internet tampak tumbuh secara menyolok dalam 5 tahun terakhir. Fenomena ini diperkirakan akan berlanjut seiring perubahan gaya hidup masyarakat Asia dan dunia, khususnya Indonesia sebagai salah satu negara berpopulasi dan ekonomi terbesar.

Perubahan ini otomatis juga mengimbas ke bisnis properti dalam negri. Maka strategi baru untuk menyikapi kelangsungan bisnis ini di bawah bayang-bayang dominasi ekonomi digital perlu dipahami dan dipersiapkan secara mendalam, seperti disampaikan dalam diskusi yang diprakarsai Savills Indonesia, sebuah konsultan properti internasional yang berpusat di London, Inggris. Sebagai pangsa online market terbesar Asia Tenggara, potensi pasar ekonomi digital Indonesia yang meliputi sektor e-commerce, online media, travel dan transportasi akan meningkat hingga mencapai USD130 miliar (Rp1.900 triliun) pada 2025 nanti, mengutip hasil survei Google-Temasek-Bain.

Kondisi sektor bisnis konvensional masih dibayang-bayangi perlambatan ekonomi global. Mirip dengan sektor bisnis konvensional lain, sektor properti tidak akan bisa menghindari dampak disrupsi teknologi digital yang sedang terjadi. Sekarang saja sudah marak bermunculan model bisnis properti baru yang menyaingi bisnis properti konvensional, salah satunya adalah berbasiskan konsep berbagi, atau populer disebut sharing economi. Model bisnis baru sektor properti ini berkembang sebagai akibat pergeseran cara pandang masyarakat umum terhadap konsep kepemilikan (property). Faktanya, semakin banyak masyarakat yang enggan berkomitmen pada konsekuensi kepemilikan aset properti berupa tanggung jawab keamanan, pemeliharaan, dan pajak. Mekanisme sewa atau pinjam, baik secara perorangan maupun kolektif malah lebih diminati.

Pergeseran pergeseran persepsi dan perilaku tersebut akhirnya menciptakan peluang bagi bisnis co-working, co-living, co-warehousing, yang umumnya diminati oleh bisnis-bisnis startup e-commerce dan technology companies. Rosaline Lie, Senior Director Retail Services di Savills Indonesia memaparkan pengelompokkan jenis perusahaan berkonsep sharing economy di sektor properti, yaitu:

  • Shared Space (contohnya: WeWork, CoHive, Spacelabs).
  • Financing (contohnya: iFunding, Kickstarter, Gradana).
  • Marketing (contohnya: Homie, 99.co).
  • Rental Lodging (contohnya: AirBnB, OYO, Travelio).

Hasil pengamatan terhadap kinerja sejumlah perusahaan itu dalam kurun waktu yang cukup singkat menunjukkan secara nyata bahwa peluang bisnis sharing economy di sektor properti sangat terbentang luas!

Pergeseran Arti Properti dalam Strategi Marketing

Perkembangan model bisnis baru sektor properti berbasis sharing economy juga memberi peluang bagi pemilik properti perorangan untuk bisa memasarkan unit milik pribadinya ke market melalui cara bekerja sama dengan perusahaan startup, sehingga lebih praktis. Aksi yang sama juga bisa dilakukan oleh pihak pengembang yang unit-unitnya mengalami stagnasi penjualan.

Strategi potensial berikutnya di masa depan adalah tren properti high value yang berfokus pada kalangan investor dengaan konsep marketing beyond property, yaitu unit yang mengadopsi teknologi pintar dan efisiensi tinggi, namun dibalut dengan kenyamanan ekstra dari gaya hidup healthy green living yang menyatu dengan alam.

Selain dari upaya pencetusan terobosan ide segar dari para pengembang demi terciptanya market recovery secara struktural, muncul pandangan dari beberapa pihak bahwa koreksi harga properti yang umumnya dipandang sudah mengalami kenaikan tajam di beberapa tahun lalu, kini layak diberlakukan. Para pengembang dianggap perlu melakukan strategi marketing flash sale dan fire sale secara tepat pada sejumlah produknya, demi mengembalikan antusiasme calon buyer dan investor, agar sektor properti bisa kembali bersemangat!

Kebutuhan Konsumen Meredefinisi Arti Properti

Pada 2019 lalu Rumah.com mengadakan survei berjudul: Property Affordability Sentiment Index H2-2019, yang betujuan untuk mengetahui respon permintaan pasar, sekaligus menciptakan transparansi informasi bagi target konsumen bisnis properti. Survei terhadap 1000 orang yang tersebar di berbagai kota potensial di Indonesia. Hasilnya menunjukkan:

  • 64% responden sudah memiliki rumah, dan 1 dari 3 responden yang sudah punya rumah mengaku memiliki lebih dari 1 rumah.
  • Optimisme konsumen terhadap kondisi pasar properti menurun. 55% responden berniat membeli rumah dalam 6 bulan ke depan, turun dibandingkan survei yang sama tahun sebelumnya: 59%.
  • Kepuasan terhadap iklim properti nasional sebesar 61%, menurun dari tahun sebelumnya yang 66%.
  • 49% responden yang berniat membeli rumah, belum memiliki rumah. Sedangkan yang berniat upgrade 22%.
  • 62% responden mencari hunian < Rp500 juta, 17% mencari antara Rp500 – 750 juta. Hampir sama dengan tahun sebelumnya.
  • 42% responden memilih kredit pembiayaan rumah berjangka waktu 11-15 tahun, 30% yang 6-10 tahun, dan 19% > 15 tahun.
  • 48% responden lebih tertarik cicilan syariah daripada konvensional, terdiri dari 56% milenial dan 59% kalangan penghasilan rendah.
  • 71% responden mensyaratkan kedekatan dengan halte, stasiun.
  • 66% responden mensyaratkan ketersediaan sarana transportasi umum.

Semoga hasil survei ini diterjemahkan dengan tepat oleh pengembang ke unit-unit mereka, agar bisa memenuhi semua kebutuhan dan impian kamu sebagai investor milenial ya. Dengan demikian bisnis properti bisa memasarkan produknya ke pangsa pasar yang tepat, persis seperti investasi reksa dana di Ajaib. Yaitu APERD berintegritas yang memberikan fleksibilitas dengan minimum investasi cuma Rp10.000, aplikasi mudah, menu pilihan paket investasi variatif, dan menyandang status kelulusan dari program pembinaan inkubator startup terkemuka Y Combinator di Silicon Valley, serta pengawasan penuh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ajaib tetap jadi pilihan keren untuk kalangan milenial!

Artikel Terkait