Ekonomi

Dunia Dihantui Krisis Energi, Bagaimana Posisi Indonesia?

krisis-energi

Ajaib.co.id – Dalam beberapa bulan terakhir kemunculan ancaman krisis energi sudah mulai melanda dunia. Krisis serupa yang cukup berat sebelumnya pernah terjadi di tahun 1973 dan 1979.

Alarm akan terjadinya krisis di sektor energi mulai terlihat di awal tahun 2021 seiring dengan pemulihan ekonomi global akibat pandemi virus Covid-19.

Kelangkaan energi saat ini sudah terjadi di beberapa negara maju dan mereka merupakan penggerak ekonomi dunia, seperti China, Inggris, Jerman, Italia, Prancis, dan India. Negara-negara tersebut kesulitan menyediakan pasokan energi untuk mendorong kegiatan ekonomi dan memenuhi kebutuhan listrik kelompok rumah tangga.

Sementara Amerika Serikat masih dalam batas aman dari krisis energi, namun mereka sudah sudah menyiapkan langkah untuk menghadapi dampak yang lebih luas dari kelangkaan energi dunia terhadap perekonomian dalam negerinya.

Kelangkaan bahan bakar saat ini jadi pukulan bagi semua negara karena bersamaan dengan pandemi Covid yang belum berakhir. Terlebih bagi negara-negara yang masih berjuang mengatasi krisis kesehatan dan keluar dari jurang ekonomi secara berbarengan.

Laju Permintaan Barang dan Konsumsi Tak Didukung Ketersediaan Energi

Tentu kita berharap krisis energi pada periode 1970-an tidak terulang kembali meskipun telah menunjukkan tanda-tanda. Pemicu kelangkaan bahan bakar dunia di tahun tersebut adalah menipisnya stok persediaan minyak mentah yang ada di negara-negara maju. Akibatnya harga minyak mentah dunia mengalami lonjakan signifikan dalam waktu sangat singkat.

Sementara krisis energi yang terjadi sekarang ini, disebabkan oleh sejumlah faktor, namun yang paling utama adalah karena faktor cuaca. Musim dingin berkepanjangan dan suhu ekstrem yang terjadi di Eropa pada awal tahun 2021 jadi pemicu menipisnya stok gas alam di negara-negara Eropa.

Di sisi lain pemulihan ekonomi di berbagai negara akibat pandemi covid-19 membuat permintaan kebutuhan barang dan konsumsi jadi tinggi. Sayangnya, permintaan tersebut tidak didukung oleh ketersediaan energi yang cukup sehingga memicu krisis.

Beberapa pelaku industri di Inggris bahkan terancam gulung tikar akibat kekurangan energi karena tingginya harga gas alam untuk keperluan produksi. Memang dalam beberapa tahun ke belakang Eropa dan Cina sudah memulai beralih ke penggunaan energi terbarukan (EBT). Namun, menurut pandangan Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy, proses transisi tersebut justru jadi penyebab terjadinya krisis energi.

Contohnya Cina yang mengalami kelangkaan energi karena program dekarbonisasi yang mereka galakkan lebih cepat, padahal di waktu yang sama pasokan dalam negerinya belum tercukupi secara menyeluruh.

Di Eropa, harga gas alam yang melonjak membuat banyak utilitas beralih ke batu bara yang memiliki kandungan karbon tinggi untuk dapat menghasilkan listrik. Meski harga batu bara dan karbon di Eropa ikut melonjak dalam beberapa bulan terakhir, tetapi kedua komoditas tersebut mampu memperlambat lonjakan biaya gas. Oleh karena itu ada biaya marjinal jangka pendek beralih ke pemakaian batu bara demi menghasilkan pasokan listrik.

Kondisi yang terjadi menggambarkan dunia tidak serta merta langsung dapat mengandalkan dan bergantung pada energi terbarukan sepenuhnya. Di mana saat terjadi kelangkaan bahan bakar, energi terbarukan belum siap dan tetap mengandalkan energi fosil.

Negara-negara yang mengalami krisis energi kini kembali beralih ke pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Akibatnya permintaan batu bara global mengalami lonjakan. Selain permintaan batu bara yang meningkat, harga gas juga mengalami lonjakan 250% lantaran keterbatasan pasokan karena penghentian fasilitas produksi yang ada di Amerika Serikat.

Sejumlah produsen pembangkit listrik di Inggris cenderung mulai beralih ke batu bara karena dapat menekan ongkos produksi. Jadi, mau tak mau hal itu dilakukan demi mengamankan pasokan energi gas alam.

Amankah Posisi Indonesia?

Krisis energi yang dialami dunia saat ini bukan hanya kekurangan pasokan listrik saja, termasuk kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) dan gas. Ini jadi perhatian bagi Indonesia yang sampai sekarang masih menjadi net importir minyak.

Tercatat Indonesia mengimpor minyak mentah sebanyak 200.000 barel per hari (bph). Sedangkan untuk pasokan BBM, minyak mentah yang diimpor mencapai 300.000-400.000 bph.

Meski angka impor minyak mentah Indonesia cukup tinggi, namun cadangan gas kita masih punya kelebihan. Hal itu karena Indonesia mengekspor Liquefied Natural Gas (LNG) sehingga jika bisa diseimbangkan maka energi dalam negeri bisa terpenuhi.

Minyak dan gas yang mampu diproduksi Indonesia sebesar 1,8-1,9 juta barrel oil equivalent (boe), sedangkan kebutuhan minyak mencapai 1,6 juta (boe). Namun, masih ada gas yang bisa dijadikan alternatif.

Melimpahnya pasokan gas di Indonesia, diharapkan ada transisi dari minyak ke gas sebagai langkah antisipasi terjadinya kelangkaan energi di tanah air. Selain itu, upaya lain yang bisa dilakukan pemerintah dalam mencegah terjadinya krisis energi dengan menaikkan cadangan. Maka, meningkatkan produksi minyak perlu dilakukan dengan target 1 juta barel per hari serta akuisisi lapangan minyak di luar negeri untuk kebutuhan kilang.

Pemerintah harus bisa meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di industri hulu migas dengan menerapkan beberapa strategi, yaitu transfer aset/inventori, pengadaan bersama, sosialisasi pemakaian produk dalam negeri yang fit to purpose, serta evaluasi rencana barang impor.

Krisis energi dan kelangkaan bahan bakar sudah melanda banyak negara. Cina, Inggris, India, bahkan Singapura yang merupakan tetangga Indonesia dinilai cukup parah. Krisis ini harus diwaspadai oleh pemerintah mengingat kita adalah pengimpor energi dan kondisi internasional yang sedang kacau sekarang ini bisa berdampak pada Indonesia.

Artikel Terkait