Perencanaan Keuangan

Akad Mudharabah Punya Karakteristik Tertentu, Apa Saja?

akad mudharabah bagi kamu yang ingin membuka usaha secara syariah

Ajaib.co.id – Akad mudharabah merupakan salah satu jenis transaksi syariah. Akad ini sering digunakan pada transaksi beberapa produk perbankan yang berbasis syariah. Seperti jenis transaksi lainnya. Akad mudharabah memiliki sejumlah karakteristik tertentu yang melekat pada pihak-pihak yang terlibat.

Aturan main akad mudharabah sudah jelas. Kaidah-kaidah akad ini antara lain termuat dalam Standar Syariah Internasional AAOIFI, Fatwa No 07/DSN-MUI/IV/2000, dan Fatwa No115 /DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Mudharabah. Dari berbagai definisi yang ada, bisa ditarik kesimpulan bahwa akad mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha pemilik modal yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola. Keuntungan dari kerja sama tersebut sesuai nisbah yang disepakati.

Dalam Islam, transaksi bagi hasil ini sangat diperkenankan. Tak hanya diperkenankan, transaksi ini termasuk dalam daftar bisnis yang menuai berkah, sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang berbunyi, “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jawawut untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).

Akad mudharabah memiliki sejumlah karakteristik, yakni:

Ijab kabul

Akad harus dinyatakan secara jelas dan dipahami para pihak yang terlibat, baik lisan maupun tulisan. Mengingat masih dalam pandemi Covid-19, ijab kabul dapat dilakukan secara elektronik sesuai syariah dan peraturan yang berlaku. 

Pihak yang terlibat

Karakteristik kedua adalah adanya para pihak yang terlibat transaksi. Para pihak yang dimaksud ialah, pertama, pemilik modal (shahibul maal) atau penyedia dana. Pihak kedua adalah mudharib atau pengelola dana dalam usaha kerja sama antara keduanya.

Modal usaha

Modal usaha diserahkan oleh shahibul maal kepada pengelola dana. Serah terima modal usaha dari shahibul maal kepada pengelola dana dapat dilakukan bertahap maupun tunai, tergantung kesepakatan. Pada dasarnya, modal usaha wajib dalam bentuk uang. Tetapi, modal usaha berbentuk barang atau kombinasi antara uang dan barang pun diperbolehkan. 

Namun hal ini memiliki syarat, yakni modal usaha berupa barang atau kombinasi antara uang dan barang terlebih dahulu divaluasi. Tujuannya agar jelas jumlah atau nilai nominalnya. Selain ketentuan tersebut, serah terima modal usaha dilarang dalam bentuk piutang. 

Kegiatan usaha

Akad mudharabah dikenal dalam lingkup ekonomi syariah. Oleh sebab itu, aspek halal sangat ditekankan. Terkait hal ini, kegiatan usaha yang dilakoni oleh mudharib haruslah usaha yang halal dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Tambah pula, kegiatan usaha tersebut juga harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila usaha yang dikelola itu tidak halal dan bertentangan dengan prinsip syariah atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, transaksi mudharabahnya bisa tidak sah dan batal.

Nisbah bagi hasil

Karakteristik akad mudharabah berikutnya adalah terkait nisbah bagi hasil. Shahibul maal dan mudharib harus menyepakati metode pembagian keuntungan. Selain itu, metode tersebut juga harus dinyatakan secara jelas dalam akad.

Nisbah bagi hasil harus dihitung secara jelas, tanpa menimbulkan keraguan sedikitpun. Gunanya adalah untuk menghindarkan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian mudharabah. Seluruh keuntungan yang dibagikan ini haruslah sesuai kesepakatan nisbah antara shahibul maal dan mudharib.

Lalu, bagaimana dengan kerugian? Kerugian usaha mudharabah menjadi tanggung jawab pemilik modal. Namun, bila kerugian terjadi karena wanprestasi yang dilakukan oleh mudharib, maka diperlukan kesepakatan terlebih dahulu sebelum menindaklanjutinya.

Bagaimana skema akad mudharabah pada konkretnya? Untuk lebih jelasnya, ilustrasi berikut mengenai pembiayaan berdasarkan akad mudharabah bisa memperjelasnya.

Seorang nasabah mengajukan permohonan pembiayaan mudharabah pada sebuah bank syariah. Pembiayaan ini ditujukan untuk modal usaha nasabah tersebut. Bank syariah kemudian akan melakukan semacam survei dan analisis kelayakan usaha nasabah. 

Bila bank syariah menyatakan layak, maka pihak bank dan nasabah bisa menyepakati perjanjian kerja sama pembiayaan mudharabah. Singkatnya, bank syariah tersebut akan menyerahkan dana sebagai modal usaha dan nasabah melakukan usaha yang disepakati.

  • Apabila usaha menghasilkan keuntungan, maka keuntungan tersebut dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati
  • Jika usaha yang dikelola mengalami kerugian dan nasabah dapat membuktikan bahwa kerugian terjadi bukan karena kelalaian, kecurangan, atau pelanggaran kesepakatan, maka kerugian terebut ditanggung oleh bank syariah
  • Nasabah mengembalikan modal usaha pada waktu yang telah disepakati

Jenis mudharabah sendiri ada tiga, yakni

a. Muthlaqah

Shahibul maal memberikan keleluasaan kepada pengelola dana untuk mengelola investasinya.

b. Muqayyadah

Pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola dana antara lain mengenai tempat, cara dan atau obyek investasi. Batasannya antara lain sebagai berikut:

  • Dana pemilik tidak bercampur dengan dana lainnya
  • Dana yang diinvestasikan tidak ditujukan untuk transaksi penjualan cicilan, tanpa penjamin, atau tanpa jaminan
  • Pengelola dana wajib mengusahakan sendiri investasi tanpa melalui pihak ketiga

c. Mudharabah musytarakah, yaitu bentuk mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi.

Nah, sekarang mari membahas metode distribusi bagi hasilnya. Ada dua metode yang bisa diterapkan terkait distribusi bagi hasil, yakni

Perhitungan bagi laba berdasarkan pendapatan setelah dikurangi dengan harga pokok penjualan dan beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana bagi hasil.

  • Bagi laba (profit sharing)
  • Bagi hasil (gross profit margin/net revenue sharing)

Bagi hasil dihitung dari pendapatan pengelolaan mudharabah dikurangi harga pokok penjualan, tanpa memasukan komponen beban.

Contoh sederhananya, A sebagai pemilik modal bertransaksi bagi hasil dengan B sebagai pengelola. A menginvestasikan sebesar 5 juta untuk dijadikan modal usaha jual beli siomai dengan kesepakatan keuntungan dibagi dua (50%:50%) selama satu pekan. Realisasinya, andaikan keuntungan usaha tersebut mencapai Rp1 juta, pemilik modal mendapatkan Rp500 ribu dan pengelola mendapatkan Rp500 ribu.

Artikel Terkait