Saham

Simak Ramalan Ekonomi Indonesia di Kuartal II 2020

Ajaib.co.id – Penyebaran virus corona yang tidak terduga telah menjerumuskan ekonomi global ke dalam resesi yang kedatangannya tak terduga. Demi mencegah penyebaran lebih lanjut yang berpotensi mengganggu ekonomi Indonesia, berbagai kebijakan diambil termasuk membatasi ruang gerak masing-masing dari kita.

Pembatasan sosial yang dilakukan rupanya tak hanya mencegah penyebaran virus corona namun juga mencederai ekonomi secara luas. Efek corona termasuk bisnis-bisnis yang dipaksa untuk tutup sementara dan dengan demikian meningkatkan angka pengangguran. Berikut pemaparan ekonomi Indonesia kuartal II 2020yang dihimpun dari berbagai sumber.

Untuk lebih memahami artikel ini Sobat Ajaib disarankan membaca artikel Ajaib sebelumnya yang berjudul “Mudah Memahami Ekonomi Bersama Ray Dalio” karena berikut ini adalah refleksi nyata dari apa yang kita pelajari sebelumnya.

Menanggapi ancaman krisis keuangan sebagai efek samping dari penyebaran virus ini, Bank Indonesia dan pemerintah bekerja bersama-sama untuk menyelamatkan bangsa. Rencana stimulus ratusan milyar rupiah telah disusun dalam kebijakan moneter untuk menopang ekonomi.

Ilustrasi pemerintah dan bank sentral yang bekerja bersama-sama mengambil kebijakan

Bank Indonesia selaku Bank Sentral melakukan pemangkasan suku bunga dan melakukan pembelian aset besar-besaran untuk mencegah krisis keuangan dan berusaha menumbuhkan kembali dunia usaha agar kembali bergeliat dengan pelonggaran kuantitatif. Bekerja sama dengan bank sentral, pemerintah sepakat berjanji untuk melakukan apa yang diperlukan untuk meminimalisir efek dari pembatasan sosial karena virus corona.

Keputusan Bank Indonesia

Di kuartal II bulan April diketahui Bank Indonesia memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di angka 4,50% untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah[1]. Namun angka inflasi yang rendah dan pertumbuhan yang lemah mendorong Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga lagi ke angka 4,25%[2].

Ilustrasi bank sentral yang menurunkan suku bunga menghadapi ancaman krisis yang hendak memuncak

Dengan menurunkan suku bunga pemerintah berharap pinjaman produktif akan tumbuh dan dengan demikian akan meningkatkan kegiatan ekonomi secara umum.

Penanganan pandemi ini membuat pengeluaran pemerintah melebihi anggaran dan terjadi defisit anggaran. Sebelumnya batas defisit anggaran menurut undang-undang adalah 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun untuk penanganan pandemi corona ini undang-undang darurat diumumkan dan defisit anggaran dinaikkan menjadi 5% dari PDB[3].

Dikutip dari laporan yang dihimpun Fullerton Markets bahwa untuk membiayai defisit anggaran, bank sentral akan melakukan pembelian aset besar-besaran sebanyak maksimal 25% dari penawaran obligasi pemerintah di pasar primer dan sekunder. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan bahwa tidak ada batasan yang direferensikan untuk pembelian melalui penempatan pribadi atau di pasar sekunder.

Ilustrasi peran bank sentral

Inilah peran bank sentral yang kedua selain menurunkan suku bunga, Bank Indonesia juga melakukan pelonggaran kuantitatif. Sederhananya pelonggaran kuantitatif adalah pencetakan uang oleh bank sentral. Hal ini dilakukan dilakukan dengan hati-hati dan dalam perhitungan yang matang untuk membantu pemerintah membiayai semua sektor yang terbebani oleh pembatasan sosial akibat pandemi corona.

Bank sentral adalah satu-satunya pihak yang memiliki hak untuk mencetak uang (pelonggaran kuantitatif) namun satu-satunya yang dapat dibelinya hanya aset keuangan. Sedangkan pemerintah akan membantu rakyat dengan menggelontorkan dana di sektor barang dan jasa. Keduanya bekerja sama saat ini untuk stabilitas negara.

Bank Indonesia melakukan pembelian bonds/obligasi untuk mendukung pemerintah melakukan penguatan Rupiah dan membantu mendanai penanganan pandemi corona.

Bank sentral melakukan pembelian aset keuangan besar-besaran, Bank Indonesia telah menyuntikkan sebesar 583,5 triliun Rupiah setara dengan 3,7% dari PDB tahun 2019 PD untuk memberikan likuiditas di pasar uang dan industri perbankan sejauh ini di kuartal II di tahun ini.

Aset keuangan juga termasuk pembelian obligasi pemerintah di pasar sekunder, transaksi jangka panjang repo, pertukaran dan pemotongan mata uang asing dalam persyaratan cadangan. Dengan demikian kita bisa lihat adanya peningkatan keuntungan pada sebagian besar Reksa Dana Pendapatan Tetap (RDPT).

Bank sentral menepati janjinya untuk membatasi pembelian obligasi di pasar primer sebesar 25%. Bank Indonesia berjanji bahwa pelonggaran kuantitatif ini  hanyalah intervensi sebagai upaya terakhir. Hal ini sempat menjadi perdebatan karena terlalu banyak pelonggaran kuantitatif (terlalu banyak uang yang dicetak) dapat membebani rupiah mendorongnya jatuh terhadap mata uang asing.

Bukan hanya dari bank sentral, melalui perppu pemerintah membuka kesempatan penyertaan modal negara, penempatan dana dan kegiatan penjaminan[5]. Dengan uang yang diperolehnya, pemerintah bisa melakukan dua hal yaitu penanganan defisit anggaran dan memberikan stimulus.

Diketahui sejauh ini BI telah membeli aset keuangan seperti Surat Berharga Negara  seperti Surat Utang Negara (SUN) dan surat berharga syariah negara di pasar sekunder. Tidak hanya itu, BI juga menyediakan likuiditas di pasar perbankan melalui mekanisme repo, swap valuta asing, hingga menurunkan giro wajib minimum. Dengan demikian kondisi likuiditas perbankan saat ini dapat disebut mumpuni.

Ilustrasi pemerintah memberikan stimulus ekonomi dan pemberian santunan PraKerja bagi pekerja yang menganggur setelah terdampak pembatasan sosial akibat pandemi corona

Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kembali mengeluarkan stimulus ekonomi berupa stimulus fiskal dan non-fiskal [6]. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar ekonomi terutama di sektor riil di tengah-tengah masyarakat tetap terjaga. Daya beli masyarakat didongkrak dengan berbagai kebijakan termasuk pemberlakuan kartu prakerja, pemberian bantuan langsung tunai, relaksasi kredit dan lainnya.

Sejauh ini upaya yang dilakukan pemerintah bisa kita apresiasi karena cukup efektif dan memberikan harapan akan pertumbuhan sedikitnya 1% di akhir tahun. Dengan dana yang diperolehnya pemerintah mendukung stimulus fiskal negara dengan menggelontorkan insentif dari sisi perpajakan, bantual sosial berupa BLT dan kartu PraKerja dan relaksasi kredit bagi bisnis UMKM, mempermudah pembiayaan perbankan ke UMKM dan dunia usaha secara umum. Anggota parlemen menuntut bank sentral untuk mendanai lebih banyak stimulus.

Sejauh ini pembukaan kembali ekonomi dalam New Normal dinilai cukup berhasil menguatkan ekonomi sehingga suku bunga diprediksi oleh Fullerton Markets tidak akan diturunkan lebih bawah lagi untuk sekarang-sekarang ini.

Kebijakan ini ternyata cukup mampu menanggulangi deflasi yang sudah terjadi selama empat bulan di tahun 2020 dan menciptakan stabilitas walau sifatnya masih belum permanen. Jika kamu bertanya-tanya tentang stabilitas itu apa, maka stabil dalam hal ini adalah kebijakan yang diambil untuk menyeimbangkan kondisi inflasioner dan deflasioner.

Pandemi corona telah menurunkan aktivitas ekonomi dan menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Daya beli masyarakat yang menurun memaksa terjadi deflasi/penurunan nilai barang dan jasa selama empat bulan berturut-turut. Deflasi artinya pertumbuhan ekonomi yang melambat.

Kebijakan deflasioner atau yang diambil saat deflasi adalah pemotongan anggaran, pemberlakukan pajak barang mewah yang lebih tinggi , dll. Jika masih belum cukup maka akan diimbangi oleh kebijakan pencetakan uang baru yang disebut dengan pelonggaran kuantitatif. Jika keduanya dilakukan dengan imbang maka akan terjadi stabilitas yang diinginkan.

Tambahan, Jika selama ini kamu membenci inflasi, ketahuilah bahwa inflasi tidak selamanya buruk. Inflasi juga pertanda bahwa terdapat kenaikan nilai barang dan jasa secara umum yang disebabkan pertumbuhan ekonomi secara umum juga. Akan menjadi buruk jika pendapatan kamu di bawah angka inflasi tahunan, namun secara umum upah seseorang naik linear sesuai dengan produktivitasnya.  Sehingga jika kamu menyadari sebagian besar orang memiliki daya beli lebih besar dari pertumbuhan inflasi.

Dampak Kebijakan Pada Kesehatan Ekonomi Indonesia

Melansir Fullerton Markets, di kuartal II pertumbuhan ekonomi indonesia mulai tampak dan jika terus bertahan maka di akhir tahun diprediksi akan ada pertumbuhan sebesar 1%. Diprediksi oleh Fullerton Markets bahwa dengan defisit anggaran sebesar 5,07% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi 1% saja maka rasio utang pemerintah terhadap PDB di akhir tahun diprediksi sebesar 35% atau naik sebanyak 5 ppts.

Bank Indonesia sendiri di awal tahun memproyeksi ekonomi bertumbuh hingga 2,3% di akhir tahun 2020. Pencapaian PDB di kuartal I melemah 2,97% Year on Year/dalam setahun. Jika segala sesuatunya berjalan dengan baik terus-menerus maka diprediksi akan terjadi pemulihan konsumsi di kuartal IV.

Prediksi Ekonomi Indonesia

WHO/Organisasi Kesehatan Dunia belum memberikan lampu kuning yang mengatakan bahwa pandemi ini sudah akan berakhir dalam waktu dekat. Diketahui WHO bahkan memberikan sinyal bahwa kemungkinan buruk gelombang kedua dari virus corona ini kemungkinan akan datang di kuartal empat tahun ini.

Dilansir dari CNBC bahwa Dr. Soumya Swaminathan dari World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa terdapat kemungkinan gelombang kedua dari infeksi corona.

Dengan defisit anggaran sebesar 5% dari PDB dan pertumbuhan ekonomi sebesar 1% maka diprediksi rasio utang pemerintah terhada PDB adalah sebesar 35%. Jika seandainya gelombang kedua wabah ini datang dan terkonsentrasi di kuartal keempat maka Fullerton memperkirakan utang Indonesia akan naik sebesar 37% dari PDB di akhir tahun 2020.

Sejauh ini stimulus yang diberikan di berbagai sektor cukup berhasil sehingga bank sentral mempertahankan prediksi atas inflasi di kisaran 2-4% di tahun 2020 dan 2021 sesuai target.

Sejauh ini tidak diperlukan dukungan fiskal tambahan. Namun jika ternyata gelombang kedua dari pandemi ini datang maka akan diperlukan dukungan fiskal dalam jumlah besar di kuartal keempat. Jika demikian maka pemerintah diprediksi akan lebih mengutamakan pelonggaran kuantitatif ketimbang pendanaan defisit anggaran.

Peluang Investasi yang Harus Kamu Ketahui

Jika kamu belum tahu, secara umum ketika kondisi ekonomi makro masih samar-samar dan berada di tepi resesi seperti saat ini maka berinvestasi di obligasi treasuri adalah pilihan yang jauh lebih aman daripada saham. Di Indonesia kita mengenal Surat Utang Negara (SUN). Disebut lebih aman karena pemerintah memiliki wewenang untuk meningkatkan pajak atau memotong pengeluaran anggaran untuk memastikan pembayaran dilakukan kepada para pemegang obligasinya. 

Satu-satunya risiko gagal bayar adalah ketika negara dinyatakan bangkrut dan nyatanya Indonesia masih jauh dari itu. Obligasi pemerintah cukup tangguh menjelang dan selama resesi namun sifat pembayaran kupon yang stabil akan memikat para investor yang tidak menyukai potensi penurunan pada pasar saham menjelang dan selama resesi.

Pemangkasan suku bunga oleh bank sentral sejatinya akan meningkatkan imbal hasil dari Surat Utang Negara (SUN). Oleh karenanya pasar obligasi akan sangat menarik. Farash Farich sebagai Kepala Investasi dari Avrist Asset Management mengemukakan bahwa imbal hasil SUN 10 tahun saat ini selisihnya sudah 660 bps di atas imbal hasil obligasi Amerika, US Treasury[4]. Yang mana biasanya secara riwayat selisihnya hanya sekitar 500 bps saja[4].

Jika pasar saham kurang bertaji, investor seperti kamu bisa beralih ke reksa dana pendapatan tetap (RDPT) untuk merasakan manisnya imbal hasil akibat diturunkannya suku bunga. Pilihlah RDPT dengan portofolio SUN yang memiliki durasi panjang dengan tenor misalnya 7-9 tahun. RDPT semacam ini relatif tinggi nilainya dan ketika kondisi pulih, RDPT biasanya lebih cepat pulih.

Tiga manajer investasi yang termasuk Avrist Asset Management sama-sama memiliki pendapat yang serupa tentang proyeksi imbal hasil RDPT tahun ini. Kemungkinan besar RDPT akan menghasilkan imbal hasil satu digit saja di tahun ini di angka 7-9%[4]. Dengan imbal hasil sekitar 7%an, mereka menilai ini sudah cukup baik dibandingkan dengan kondisi makro ekonomi Indonesia saat ini[4].

Artikel Terkait