Berita, Komoditas

Harga Minyak Global Sedang Tertekan, Mengapa?

kegunaan minyak bumi

Ajaib.co.id – Harga minyak mentah global sedang tertekan belakangan ini karena faktor permintaan dan penawaran yang sedang bermasalah.

Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) di bursa berjangka untuk pengiriman bulan Mei kini diperdagangakan di angka US$20,09 per barel, level terendah sejak tahun 2002. Sementara, harga minyak mentah berjangka Brent di London ICE Futures Exchange telah menyentuh US$22,76 per barel.

Ada dua sisi krusial yang menyebabkan mengapa harga minyak begitu terpuruk. Pertama, dari sisi pasokan (supply) terkait tidak adanya kesepakatan kuota produksi negara-negara pengekspor minyak termasuk Rusia didalamnya (OPEC+).

Kedua, permintaan harga minyak menurun drastis akibat akibat aktivitas masyarakat yang terbatas karena ada wabah virus corona (Covid-19).

Penurunan harga minyak di tingkat global merupakan berkah bagi Indonesia, karena kebutuhan Dolar Amerika Serikat (greenback) untuk mengimpor minyak semakin sedikit. Dengan demikian pelemahan rupiah terhadap dolar AS belakangan relatif tidak bertambah.

Berikut pembahasan selengkapnya terkait harga minyak:

Produksi Minyak Tidak Dipangkas Meski Harga Minyak Global Sedang Tertekan

Perang harga minyak antara Arab Saudi dan Rusia dapat dipastikan masih hangat-hangatnya hingga artikel ini dimuat. Melansir AFP yang dikutip oleh CNBCIndonesia.com, Arab Saudi baru saja mengumumkan akan menggenjot ekspor minyaknya mulai Mei 2020 mendatang.

“Pihak kerajaan berencana menaikkan ekspor minyak sebanyak 600 ribu barel per hari mulai Mei, total ekspor sehingga menjadi 10,6 juta barel per hari,” ujar seorang pejabat kementerian Arab Saudi, Senin (30/3/2020).

Kenaikan tersebut telah mengukuhkan Arab Saudi sebagai negara eksportir minyak teratas dunia karena terus menggenjot produksinya. Total tambahan produksi minyak kini menjadi 3,6 juta barel sehari. Kenaikan tersebut terbilang sangat signifikan mengingat kondisi ekonomi global saat ini sedang turun.

AS Desak Arab Saudi dan Rusia Segera Rujuk 

Amerika Serikat (AS) mendesak Arab Saudi sebagai anggota utama OPEC dan Rusia atau OPEC+ untuk segera rujuk.

Dikutip dari laman Katadata.co.id, sebenarnya negara-negara pengekspor minyak sudah memangkas produksi minyak. Namun, kesepakatan itu berakhir bulan ini.

Arab Saudi mengusulkan untuk memperpanjang masa penurunan produksi, dan bahkan menambah volume pemangkasannya. Akan tetapi, Rusia menolak rencana tersebut dan justru berencana menambah pasokan.

Padahal, permintaan minyak secara global cenderung turun lantaran pandemi virus corona. Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol memperingatkan bahwa permintaan minyak pada tahun ini dapat turun sebanyak 20 juta barel per hari atau 20 persen.

Khawatir akan permintaan yang menurun sehingga membuat harga minyak semakin anjlok, Amerika Serikat (AS) mendesak Arab Saudi dan Rusia untuk berdamai alias rujuk. Juru bicara AS mengatakan, Sekretaris Menteri Luar Negeri Mike Pompeo telah berbicara dengan Pangeran Arab Saudi Mohammed bin Salman.

“Sekretaris Pompeo dan Putra Mahkota berfokus pada kebutuhan minyak, untuk menjaga stabilitas di pasar energi global di tengah respons dunia,” kata juru bicara dalam pernyataan resminya, dikutip dari CNBC Internasional.

Pompeo menekankan bahwa sebagai pemimpin G20 dan bidang energi, Arab Saudi punya peluang menstabilkan harga minyak. “Juga meyakinkan kembali pasar energi global dan keuangan ketika dunia menghadapi ketidakpastian ekonomi yang serius,” katanya.

Nasib Harga Minyak Dalam Jangka Pendek

Harga minyak diperkirakan belum akan kembali normal dalam jangka pendek, bahkan diperkirakan masih akan mengalami penurunan.

Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo seperti dikutip kontan.co.id melihat, prospek harga minyak masih berada di bawah tekanan karena efek sebaran virus corona atau Covid-19 yang semakin masif.

“Ditambah lagi, perjanjian negara anggota pengekspor minyak (OPEC+) yang berantakan,” kata Sutopo kepada Kontan.co.id, Senin (30/3).

Dalam jangka pendek, Sutopo memperkirakan harga minyak akan berada pada kisaran harga support di US$ 15 per barel, jangka menengah US$ 25 per barel dan di jangka panjang berpeluang kembali ke area US$ 50 per barel.

“Investor bisa mulai beli di harga US$ 20 per barel dengan averging beli bertahap. Jangka menengah harga masih di kisaran US$ 25 per barel hingga US$ per barel,” tegasnya.

Sutopo menjelaskan, butuh upaya keras agar harga minyak kembali ke area US$ 50 per barel. Syaratnya, persebaran virus corona harus berakhir, OPEC perlu mencapai kesepakatan, dan ekonomi kembali normal.

Harga minyak telah turun lebih dari 70% sejak Oktober 2019, dimana guncangan pada harga minyak juga meningkatkan risiko kredit di pasar keuangan. “Pandemi ini sangat membebani harga minyak, yang bisa mengarah pada kontraksi permintaan besar-besaran pada basis tahunan, lebih dari 10 juta bpd,” jelasnya.

Selain itu, permintaan bahan bakar global diprediksi akan turun sebanyak 15% hingga 20% pada kuartal kedua sebagai dampak dari virus corona.

Sutopo menyimpulkan bahwa situasi global satu tahun ini tengah menghadapi banyak ketidakpastian, dengan risiko resesi yang tinggi di seluruh dunia. “Kondisi risk-off, bersamaan dengan penurunan tajam, terkait virus dalam permintaan minyak dan prospek untuk meningkatkan produksi dari Arab Saudi dan Rusia, telah menekan harga minyak turun ke level terendah sejak 18 tahun dan diperkirakan akan mempertahankan tekanan pada minyak,” tandasnya.

Artikel Terkait