Ekonomi

Gara-Gara Pandemi, Begini Kondisi Angka Kemiskinan di Indonesia

Ajaib.co.id – Kondisi kemiskinan di Indonesia masih banyak ditemui. Berdasarkan paparan dari Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum dari kebutuhan dasar. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan makanan maupun non-makanan. Sedangkan penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah suatu batas atau batasan tersebut disebut dengan garis kemiskinan. 

Adapun yang disebut dengan garis kemiskinan adalah nilai rupiah yang mesti dikeluarkan guna memenuhi kebutuhan hidup. Baik kebutuhan hidup minimum berupa makanan maupun kebutuhan hidup minimum non-makanan.

Sementara itu, faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan ini ada beberapa. Melansir dari kompas.com yang mengutip dari buku Memahami dan Mengukur Kemiskinan (2013), ada faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang datang dari dalam diri individu, misalnya berupa sikap yang menerima apa adanya, tidak serius dalam berusaha atau bekerja, kondisi atau kemampuan fisik yang tidak sempurna, dan lain sebagainya. 

Sementara itu, faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar diri seseorang. Di antaranya, adanya perubahan iklim, kerusakan alam, kehidupan sosial, struktur sosial, kebijakan dan program pemerintah yang tidak merata, dan lain-lain.

Faktor yang Memengaruhi Angka Kemiskinan

Untuk lebih jelasnya, BPS juga sempat memaparkan faktor-faktor yang sangat berdampak pada angka kemiskinan di Indonesia. Mengutip dari kontan.co.id, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi angka atau tingkat kemiskinan di Indonesia. Berikut di antaranya:

  • Perubahan Rata-rata Upah Buruh

Faktor pertama adanya perubahan rata-rata upah buruh per hari. Karena perubahan rata-rata upah ini akan berkontribusi pada penurunan kemiskinan juga. Sehingga memang antara kenaikan upah dan penurunan kemiskinan memiliki hubungan timbal balik yang besar. 

  • Nilai Tukar Petani (NTP)

Selanjutnya yang kedua adalah nilai tukar petani (NTP) yang meningkat. Saat ini, menurut data BPS yang diperbaharui pada November 2020, NTP secara nasional berada di angka 102,86 atau melebihi 100. Ketika angka NTP melebihi nilai 100 artinya mengindikasikan kalau petani mengalami surplus.

Pada dasarnya, harga produksi yang naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya, sehingga pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya.

  • Angka Inflasi

Faktor yang ketiga adalah naik turunnya inflasi dalam suatu negara. Misalnya saja, rendahnya angka inflasi secara umum akan berpengaruh pada daya beli masyarakat. 

  • Harga Eceran Tertinggi

Kemudian faktor yang keempat, bisa dilihat dari komposisinya. Komposisi ini yang berperan besar dalam memengaruhi penurunan angka kemiskinan yakni adanya penurunan harga eceran tertinggi (HET). Penurunan HET tersebut terjadi pada beberapa komoditas pokok, seperti penurunan harga beras, telur, ayam dan sebagainya.

  • Pengeluaran Per Kapita

Selanjutnya faktor yang kelima adalah dari rata-rata pengeluaran per kapita pada desil satu yang meningkat. 

  • Penerima Bantuan Sosial

Keenam, ada faktor meningkatnya kuota penerima pelaksana program bantuan pangan non-tunai (BPNT). Pasalnya, ada sekelompok warga yang hidup di bawah garis kemiskinan bisa terbantu atau terjamin kebutuhan pokoknya. 

Dari paparan tersebut, BPS memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan seorang individu dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya baik berupa makanan dan bukan makanan. Selanjutnya, ketidakmampuan tersebut kemudian diukur menggunakan dua komposisi, yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan makanan.

Garis kemiskinan makanan bisa dinilai dari pengeluaran kebutuhan minimum dari makanan yang setara dengan 2100 kkal per kapita per hari. Jadi, apabila sebuah keluarga mengonsumsi lebih dari 2100 kkal perkapita perhari, maka pada posisi garis kemiskinan makanan, anggota keluarga tersebut tidak masuk dalam kategori miskin.

Selanjutnya, garis kemiskinan bukan makanan merupakan nilai minimum pengeluaran untuk kebutuhan berupa perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok bukan makanan lainnya.

Metode yang telah digunakan oleh BPS sejak tahun 1988 bertujuan untuk menjaga hasil penghitungan yang konsisten dari waktu ke waktu. Jika kamu melihat dari komposisi antara makanan dan non-makanan. Maka yang paling besar penyebab dari naik turunnya tingkat kemiskinan berasal dari garis kemiskinan makanan.

Adapun persentase tersebut secara spesifik adalah 73,75% merupakan kontribusi dari garis kemiskinan makanan, sedangkan 26,25% sisanya merupakan kontribusi dari garis kemiskinan bukan makanan.

Kondisi Angka Kemiskinan Imbas Pandemi COVID-19

Badan Pusat Statistik (BPS) baru merilis data angka kemiskinan terbaru 2020 pada Maret lalu. Dilansir dari www.bps.go.id, BPS telah mencatatkan angka kemiskinan per Maret 2020 mengalami kenaikan menjadi 26,42 juta orang. Alhasil dari posisi ini bisa dihitung persentase penduduk miskin per Maret 2020 mengalami kenaikan menjadi 9,78% saat ini.

Sementara, apabila dibandingkan dengan Maret 2019 terdapat peningkatan mencapai 1,28 juta orang dari sebelumnya 25,14 juta orang. Persentase penduduk miskin juga naik 0,37% poin dari Maret 2019 yang hanya 9,41%.

Kepala BPS Suhariyanto pun tak mengambil kalau COVID-19 lah yang menyumbang kenaikan angka kemiskinan di Indonesia. Dampak dari tekanan ekonomi yang memengaruhi. 

Angka kemiskinan Maret 2020 juga mengalami peningkatan lebih besar sebanyak 1,63 juta orang dibandingkan September 2019 yang mencapai 24,79 juta orang. Persentase Maret 2020 ini naik 0,56% poin dari September 2019 sebesar 9,22%.

Lebih jelasnya dipaparkan, kalau perhitungan angka kemiskinan yang digunakan BPS pada Maret 2020 menggunakan garis kemiskinan Rp452.652 per kapita per bulan. Hasilnya komposisi dari garis kemiskinan didominasi 73,86% berasal dari kelompok makanan seperti beras, sampai rokok kretek filter. Sedangkan sisanya 26,14% bukan makanan seperti biaya perumahan, bensin, listrik sampai pendidikan.

Sehingga dibedah lebih lanjut, peningkatan tingkat kemiskinan terjadi di desa dan kota. Untuk peningkatan kemiskinan di kota menyentuh angka 1,12% poin dari September 2019 yang berkisar 6,56% menjadi 7,38%. Sedangkan peningkatan di desa cenderung lebih landai dengan kisaran 0,22% dari 12,60% menjadi 12,82%.

Sementara itu, menurut provinsi, dampak COVID-19 yang baru terekam beberapa minggu dalam survei BPS Maret 2020 menunjukan hampir seluruh daerah mengalami kenaikan. Tercatat dari 34 provinsi, 22 provinsi di antaranya telah mengalami kenaikan tingkat kemiskinan. Seluruh provinsi di Jawa mengalami kenaikan kemiskinan. Tertinggi di DKI Jakarta peningkatannya 1,11% poin (3,42% menjadi 4,53%).

Sementara itu indikator lain juga mencatatkan pemburukan. Contohnya saja, angka indeks kedalaman kemiskinan ini menggambarkan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan mengalami kenaikan dari 1,5 menjadi 1,61 poin.

Tak hanya itu, angka indeks keparahan kemiskinan yang mengukur ketimpangan pengeluaran antara penduduk miskin juga meningkat. Peningkatan tersebut dari 0,36 poin menjadi 0,38 poin.

Adapun untuk data terbaru per September 2020, BPS belum mengeluarkan data terbarunya. Namun, sejumlah pengamat menilai angka kemiskinan di Indonesia mengalami kenaikan seiring dengan perekonomian Indonesia yang pertumbuhannya negatif.

Artikel Terkait