Milenial

Burnout Syndrome: Milenial, Pekerjaan dan Uang

Ajaib.co.id – Milenial adalah salah satu generasi yang unik di antara generasi lainnya karena mengalami tantangan yang sama uniknya. Di antara banyaknya tantangan yang dihadapi oleh milenial, terdapat satu tantangan dramatis yang menyebabkan mereka mengalami burnout syndrome: lulus dari bangku kuliah ketika ekonomi sedang anjlok.

Saat itu 2008, resesi ekonomi terjadi dan membuat ekonomi di beberapa negara termasuk Indonesia terjun bebas. Era ini dikenal dengan nama the Great Recession. Resesi ini terjadi di saat milenial lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) atau pendidikan kuliah.

Hal ini membuat mereka tidak memiliki pijakan untuk menjadi independen dan berjuang sendiri, menyebabkan mereka kembali ke orang tua, atau mengambil kuliah lagi. Mereka berharap ketika lulus dari S2, perekonomian sudah pulih dan memiliki jaminan kerja, tetapi bukan hal itu yang terjadi.

Butuh waktu lebih lama bagi perekonomian secara keseluruhan pulih, dan pada saat itu, milenial bersaing dengan milenial lainnya untuk pekerjaan di level yang sama. Di saat itu, seluruh narasi menyalahkan milenial atas kemalasan mereka atau meremehkan keputusan mereka bergantung ke orang tua.

Padahal, yang mereka inginkan adalah hal yang sama yang tersedia untuk generasi sebelumnya. Kondisi unik ini yang nantinya akan menciptakan burnout syndrome bagi milenial.

Milenial adalah generasi yang paling terdampak dari resesi dibandingkan generasi sebelumnya. Mengapa demikian? Banyak dari kemerosotan ekonomi diikuti oleh pemulihan yang lebih cepat, seperti resesi yang dialami baby boomers, generasi orang tua dari milenial di tahun 1970 atau gen X di awal akhir tahun 1990an. Namun, ini juga pertanyaan tentang seperti apa pemulihan tersebut.

Kita banyak mendengar tentang rendahnya tingkat pengangguran saat ini, tetapi banyak pekerjaan yang tidak bagus. Istilah ini disebut “Job Quality index” yang mengukur jenis pekerjaan di suatu negara.

Indeks ini membuktikan bahwa banyak pekerjaan saat ini tidak memiliki stabilitas, keamanan, dan asuransi kesehatan. Hal-hal sederhana dalam pekerjaan ini diterima begitu saja oleh generasi sebelumnya.

Ini artinya, kaum milenial masih harus berhadapan dengan dampak dari pertumbuhan kualitas kerja buruk ini yang diwarisi oleh generasi sebelumnya. Dalam kehidupan, ketika orang tua, kakek, atau nenek kita mencapai masa dewasa, seperti membeli rumah atau memulai berkeluarga. Tetapi, sayangnya impian tersebut masih jauh di luar jangkauan milenial.

Apakah hanya resesi dan aspek pekerjaan saja yang memberikan tekanan yang besar bagi milenial sehingga menimbulkan burnout syndrome? Atau ada faktor lain? Ada. Di Amerika Serikat (AS), salah satu masalah terbesar yang dialami milenial adalah biaya kuliah.

Di masa perang, kelompok kakek dan nenek dari milenial hanya perlu membayar GI Bill, tagihan yang harus dibayarkan untuk menempuh pendidikan sehingga tidak perlu membayar nominal yang lebih besar.

Selain itu, kebanyakan orang tua milenial di AS tumbuh besar selama Cold War, ketika pemerintah bersaing dengan Uni Soviet, dan pendidikan didanai oleh pajak. Baru pada tahun 1980an pemerintah memotong dana untuk perguruan tinggi dan sekolah mulai meningkatkan uang sekolah. Di saat itulah muncul istilah ‘Education Gospel”.

Education gospel adalah istilah yang menjelaskan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan pekerjaan adalah memiliki pendidikan yang bermutu. Ada banyak penelitian yang mematahkan gagasan ini, tetapi karena dinamai gospel yang artinya kitab suci, masyarakat harus memercayainya.

Ketika konsep ini sampai di era milenial, secara tidak langsung education gospel menyuruh semua masyarakat untuk pergi sekolah, bahkan ketika biayanya melonjak. Alih-alih hanya membayar GI bill seperti generasi sebelumnya dengan hutang USD2.000, milenial harus lulus dan menanggung utang lebih dari USD200.000.

Semua tekanan dari berbagai aspek ini menyebabkan kelelahan yang tinggi di kalangan milenial sehingga muncul istilah burnout syndrome. Kita selalu menganggap bahwa mengalami tekanan yang tinggi atau burnout terjadi di semua orang, tetapi faktanya burnout bukan hanya sekadar kelelahan, tapi juga rasa putus asa yang tidak berujung.

Masyarakat mungkin berpikir milenial hanya terlalu malas, sebab semua orang mengalami burnout syndrome. Misalnya, seorang petani yang harus bangun pagi dan menyelesaikan pekerjaannya setiap hari juga mengalami kelelahan. Namun, mereka tahu cara mengukur untuk melihat progress dan merasakan pencapaian.

Ketika konteksnya terjadi pada generasi milenial, mereka lulus saat resesi dengan kualitas pekerjaan yang buruk dan utang yang besar menyebabkan rasa sia-sia yang mendalam.

Pada akhirnya milenial berakhir di pekerjaan rendah yang saling memengaruhi satu sama lain di kehidupan mereka. Tekanan ini dianalogikan seperti berlari di treadmill karena mereka tidak harus melangkah ke mana dan tidak ada habisnya.

Milenial melakukan apa yang bisa mereka lakukan, tetapi banyak dari mereka yang tidak pernah mencapai apa yang berarti bagi mereka, lingkungan, dan keluarga.

Penderitaan milenial belum berakhir sampai sini. Mereka juga banyak disalahkan atas hal-hal ini. Ada anggapan bahwa kesalahan mereka karena tidak memiliki kemauan dan usaha yang keras.

Terdapat istilah yang disebut pandangan retributive yang menganggap setiap orang bertanggung jawab atas pilihannya masing-masing. Jika milenial memiliki banyak utang, itu adalah salah mereka. Kenapa tidak hidup lebih hemat? Padahal fakta di lapangan mengatakan sulitnya mencari pekerjaan karena karena standar yang terlalu tinggi.

Tentu jauh lebih mudah untuk menyalahkan individu atas pilihannya alih-alih melihat konteks yang lebih luas. Jika kamu melihat gambaran besar nya, apa yang dialami dan keputusan yang diambil milenial bukanlah kesalahan mereka, melainkan sistem yang sudah mengakar kuat. Banyak dari keputusan tersebut bukanlah keputusan yang dibuat karena pertimbangan tetapi karena tidak ada pilihan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa milenial tumbuh dewasa ketika teknologi berkembang pesat, ketika smartphone mampu menghadirkan fitur PING! Secara konstan, ketika email menjadi suatu hal yang harus diperiksa secara berkala, tidak peduli apakah itu mendesak atau tidak.

Ada harapan bahwa hanya karena bisa dihubungi, individu bisa dijangkau. Faktor ini mungkin juga mempengaruhi baby boomers dan gen X juga, tetapi kombinasi faktor ini dan faktor lainnya terkonsolidasi ke milenial.

Pada akhirnya, kelelahan dan burnout syndrome menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari milenial. Mereka adalah generasi yang kelelahan.

Artikel Terkait