Ekonomi

Apa Itu Depresi Ekonomi?

apa itu depresi

Ajaib.co.id – Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir satu tahun membuat banyak negara masuk ke jurang resesi ekonomi. Sebagian negara di antaranya terancam mengalami depresi ekonomi. Wah, gawat!

Lantas, apa yang dimaksud dengan depresi ekonomi? Dalam ilmu ekonomi, definisi depresi ekonomi merujuk pada resesi ekonomi ekstrem yang berlangsung selama tiga tahun atau lebih. Resesi ekonomi ekstrem ini menyebabkan produk domestik bruto (PDB) riil suatu negara turun minimal 10% pada tahun tertentu.

Dari segi periode waktu, para ekonom kurang sependapat bila rujukannya adalah lamanya depresi berlangsung. Sebagian ekonom berpendapat suatu kondisi disebut depresi jika sebagian besar aktivitas ekonomi telah kembali normal seperti sedia kala. Yang jelas, depresi memang berlangsung lebih lama dibandingkan dengan resesi ekonomi.

Jika depresi ekonomi melanda suatu negara, maka angka pengangguran di negara tersebut terbilang tinggi. Kebalikannya, inflasi di negara itu rendah. Selain itu, kepercayaan konsumen dan investasi menurun. Menurunnya produktivitas, perdagangan, ketidakmampuan negara membayar utang, dan jatuhnya nilai mata uang merupakan beberapa ciri lainnya bila suatu negara mengalami depresi.

Bila kontraksi ekonomi (aktivitas ekonomi agregat menurun) pada suatu negara terus berlanjut, maka negara tersebut bisa mengalami depresi hebat (the great depression). Sejarah mencatat, the great depression atau Zaman Malaise berlangsung selama sedikitnya empat tahun hingga satu dekade sejak tahun sejak 1929.

The great depression dimulai dengan peristiwa jatuhnya bursa saham New York, Amerika Serikat (AS) pada tanggal 24 Oktober 1929. Saat itu, AS dipimpin oleh Presiden Herbert Hoover. Puncak kejatuhan bursa saham New York terjadi lima hari berselang atau tanggal 29 Oktober 1929.

Anjloknya harga saham AS berdampak luas. Hampir semua aspek kehidupan masyarakat AS terpengaruh. Ekonomi AS terjun bebas. Kondisi diperburuk dengan keputusan kebijakan yang diambil Pemerintah AS. Pendapatan negara AS tergerus secara besar-besaran. Angka pengangguran menyentuh rekor tertinggi. Di berbagai wilayah AS, produksi praktis terhenti. Kelaparan di banyak wilayah AS tak bisa dihindarkan.

Situasi AS bertambah pelik di awal tahun 1930-an. Warga AS berbondong-bondong menarik dananya di institusi perbankan karena dipengaruhi ketidakpercayaan yang tinggi terhadap perbankan.

Kondisi mulai berubah sejak bergantinya tampuk pemerintahan di tangan Presiden AS berikutnya, yakni Franklin D. Roosevelt. Ia meluncurkan ‘New Deal. Ini adalah program yang berisikan 47 agenda. ‘New Deal’ berhasil membawa AS ke kondisi yang jauh lebih baik.

Franklin D. Roosevelt, yang berkuasa sejak 1933 hingga 1945, melakukan reformasi di segala sektor, mulai dari industri, pertanian, keuangan, buruh, air, perumahan, dan meningkatkan jangkauan pemerintah federal. Bahkan, Pemerintah AS sampai melegalkan sin industry (minuman keras, cerutu, judi, dan prostitusi) di Las Vegas sejak tahun 1930-an yang berlanjut sampai sekarang.

Depresi ekonomi yang dialami AS menjalar ke banyak negara lain. Perekonomian kota-kota besar di banyak negara terguncang, khususnya kota yang pendapatannya bergantung pada industri berat. Kegiatan pembangunan gedung-gedung di sejumlah kota di berbagai belahan dunia terhenti. Dampak depresi ekonomi juga dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan karena harga produk pertanian turun 40% hingga 60%.

Depresi ekonomi kala itu menghancurkan ekonomi suatu negara, baik negara industri maupun negara berkembang. Volume perdagangan internasional berkurang drastis. Begitu pula dengan pendapatan, pajak, dan laba di tingkat korporasi hingga individu.

Harga komoditas di beberapa negara turun rata-rata 10% setiap tahun. Konsumen–mengingat harga barang dan jasa akan terus turun–menahan diri untuk tidak melakukan pembelian. Pertambangan dan perhutanan pun juga terkena imbasnya.

Sejumlah faktor dapat menyebabkan suatu negara mengalami depresi ekonomi. Dalam kasus depresi hebat, kebijakan moneter ditengarai menjadi penyebabnya.

Bagaimana situasinya dengan pandemi Covid-19 yang saat ini masih berlangsung? Outlook perekonomian global memang benar-benar suram tahun ini. Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan output perekonomian global bisa terkontraksi 4,9%–5,2% dibanding tahun 2019.

Sebagai perbandingan, inflasi di Indonesia sempat menyentuh 77,63% pada tahun 1998. Harga barang-barang di Indonesia saat itu membumbung tinggi. Nilai tukar rupiah terus melemah hingga mencapai Rp16.000/dolar AS. Kondisi ini membuat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi lebih dari 13% di tahun 1998. Dalam 20 tahun terakhir, inflasi tertinggi di Indonesia tercatat pada tahun 2005, yakni mencpaai 17,1%.

Menariknya, beberapa bulan di tahun 2020 justru yang terjadi adalah deflasi di Indonesia. Pada umumnya, bagi suatu negara, deflasi merupakan pertanda positif. Pasalnya, pemerintahan negara tersebut berjalan dengan baik yang berhasil mengendalikan harga-harga barang yang dikonsumsi oleh masyarakat.

Namun berbeda halnya dengan deflasi yang dialami oleh Indonesia selama masa pandemi ini. Deflasi di Indonesia disebabkan oleh melemahnya daya beli (konsumsi) masyarakat yang diakibatkan oleh adanya kasus Covid-19. Rendahnya daya beli (konsumsi) masyarakat ini menyebabkan penurunan harga barang dan kebutuhan pokok di Indonesia.

Lockdown yang masif di berbagai belahan dunia pada akhirnya membuat miliaran penduduk bumi terkurung di dalam rumahnya, terutama pada periode Maret hingga Mei lalu. Fenomena yang dinamai the great lockdown oleh IMF ini menyebabkan pukulan telak bagi ekonomi global. Disrupsi rantai pasok dan anjloknya permintaan adalah konsekuensi yang tak bisa dihindari.

Singkatnya, bukan tak mungkin depresi ekonomi akan terjadi. Terlebih, belum ada indikasi kuat pandemi Covid-19 berakhir atau setidaknya vaksin yang telah terbukti dapat menekan kuat penyebaran Covid-19. Sikap panik memang tidak dibutuhkan untuk mengantisipasi hal itu terjadi. Namun, sikap waspada akan lebih bijak, bukan?

Artikel Terkait