Ajaib.co.id – Istilah New Economy dan Old Economy mulai naik daun dalam beberapa tahun terakhir. Diskusi seputar perbandingan saham New Economy dan saham Old Economy semakin santer dalam perbincangan investor Indonesia sejak beredarnya kabar rencana IPO sejumlah startup unicorn lokal, seperti Bukalapak, GoTo (GoJek-Tokopedia), dan Traveloka.
Euforia New Economy bahkan melambungkan valuasi saham-saham teknologi hingga belasan dan puluhan kali lipat. Tapi, benarkah kita perlu memindahkan seluruh investasi kita dari saham Old Economy ke saham New Economy? Jawabannya tidaklah sederhana. Pertama-tama, kita perlu memahami dulu perbedaan saham New Economy dan Old Economy.
Pengertian Saham Old Economy
Menurut Investopedia, saham Old Economy adalah “titik kulminasi Revolusi Industri di awal abad kedua puluh dan telah berkembang melewati banyak siklus pasar untuk menjadi bisnis matang yang berfokus pada produksi berskala tinggi”. Kebanyakan saham Old Economy saat ini merupakan market leader di bidangnya, dan sudah mendominasi sejak sebelum era dotcom bubble (1990-an).
Banyak investor menganggap saham Old Economy identik dengan saham-saham Blue Chip. Mereka memiliki ciri-ciri antara lain:
- Volatilitas saham relatif rendah.
- Pendapatan, arus kas, dan laba perusahaan cenderung stabil.
- Perusahaan membagikan dividen secara rutin, sehingga imbal hasil investasi relatif konsisten dari tahun ke tahun.
- Perusahaan terus berinovasi dalam segmen pasar yang sudah dikuasai, tetapi aktivitas bisnis utama masih relatif “tradisional”. Perusahaan memiliki keterlibatan rendah di sektor teknologi digital, karena alokasi investasi minimal atau diversifikasi usaha minor saja pada sektor tersebut.
- Beban-beban usaha relatif lebih tinggi dan operasional kurang efisien, karena perusahaan cenderung padat karya, membutuhkan jaringan kantor/gerai yang luas, dst.
Contoh saham Old Economy pada taraf internasional antara lain produsen mobil Ford (F), produsen deterjen Procter & Gamble (PG), dan raksasa migas ExxonMobil (XOM). Sedangkan contoh saham Old Economy di Indonesia antara lain Unilever Indonesia (UNVR), Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP), Adaro Energy (ADRO), dan masih banyak lagi.
Pengertian Saham New Economy
Saham New Economy adalah saham dari perusahaan-perusahaan yang ikut andil dalam revolusi teknologi keempat di abad ke-21, yang mana pertumbuhannya berfokus pada layanan teknologi berbasis internet. Perusahaan-perusahaan tersebut biasanya menggarap bisnis e-commerce, fintech, media sosial, mata uang kripto, cloud storage, data center, artificial intelligence, manajemen dan analisis big data, video streaming, internet of things (IoT), dan seterusnya.
Pernah mendengar istilah FAANG? Itu merupakan singkatan dari lima saham New Economy paling top di dunia, yakni Facebook, Apple, Amazon, Netflix, dan Google. Saham teknologi asal Tiongkok juga sangat populer, antara lain Alibaba, Meituan, Baidu, dan Ant Group (operator Alipay).
Saham New Economy di Indonesia terwakili oleh Bukalapak (BUKA), Bank Jago (ARTO), Elang Mahkota Teknologi (EMTK), DCI Indonesia (DCII), Multipolar Teknologi (MLPT), Telekomunikasi Indonesia (TLKM), Indosat (ISAT), dll. Jumlah saham New Economy di Indonesia mungkin akan terus meningkat seiring dengan dibukanya pipeline khusus via papan akselerasi untuk mempermudah IPO bagi startup lokal.
Perusahaan-perusahaan New Economy menyediakan inovasi untuk pertukaran layanan yang lebih cepat, lebih mudah, dan tanpa batas. Mereka memiliki ciri-ciri antara lain:
- Volatilitas saham relatif tinggi.
- Pendapatan, arus kas, dan laba perusahaan cenderung kurang stabil.
- Perusahaan belum tentu memberikan dividen secara rutin. Bahkan Facebook, Amazon, dan Alphabet (induk usaha Google) belum pernah bagi-bagi dividen sama sekali sejak IPO hingga saat artikel ini ditulis (6/9/2021).
- Perusahaan senantiasa berinovasi aktif untuk mencapai terobosan baru dan membuka peluang-peluang baru yang dapat mengubah interaksi antar individu. Karenanya, perusahaan mungkin membutuhkan suntikan modal besar secara terus menerus, memiliki rasio utang yang tinggi, atau memilih untuk reinvestasi laba yang telah diperoleh.
- Beban-beban usaha relatif lebih murah, karena perusahaan membutuhkan lebih sedikit biaya penjualan dan operasional. Kebutuhan SDM lebih berfokus pada kualitas daripada kuantitas. Perusahaan juga tak memerlukan banyak kantor/gerai untuk menyimpan dan mendistribusikan barang/layanan.
Kinerja keuangan saham New Economy belum mapan, sehingga kita tidak dapat menggunakan parameter analisis fundamental yang sama dengan saham Old Economy. Biasanya, analisis saham New Economy lebih berfokus pada ekspektasi pertumbuhan dan estimasi pendapatan mendatang daripada kinerja keuangan teraktual.
Saham New Economy vs Old Economy, Mana yang Lebih Untung?
Dari paparan di atas, sepintas saham Old Economy lebih menguntungkan daripada saham New Economy karena memberikan dividen secara konsisten. Tapi, tunggu dulu. Keuntungan dari saham bukan hanya bersumber dari dividen, melainkan juga capital gain.
Bisnis Old Economy sudah matang, sehingga potensi pertumbuhan lebih lanjut akan cenderung lambat. Kematangan bisnis membuatnya mampu memberikan dividen terus menerus hingga kini. Tapi, hal itu juga membuat capital gain cenderung minim karena pertumbuhan harga yang lamban.
Sebaliknya, saham New Economy memiliki peluang pertumbuhan yang jauh lebih besar dan lebih disukai oleh para spekulan. Alhasil, harga saham New Economy jauh lebih volatile. Volatilitas saham-saham New Economy membuka peluang capital gain lebih besar dibandingkan saham Old Economy, di samping juga risiko yang lebih tinggi.
Kita dapat menyimpulkan bahwa saham New Economy dan saham Old Economy saham-sama punya prospek keuntungan masing-masing. Hanya saja, keduanya memiliki karakteristik, profil risiko, dan potensi return yang berbeda. Investor perlu membedakan karakteristik kedua jenis saham ini, kemudian memilih saham yang sesuai dengan toleransi risiko pribadi.
Saham Old Economy berisiko relatif rendah, mampu memberikan pendapatan dan pertumbuhan yang stabil. Kategori ini cocok untuk para income investor, value investor, dan siapa saja yang memiliki profil risiko konservatif.
Saham New Economy berisiko lebih tinggi, belum tentu memberikan dividen, tetapi memiliki potensi capital gain yang lebih besar. Kategori ini cocok untuk para trader jangka pendek, growth investor, dan siapa saja yang memiliki profil risiko agresif.
Kita juga bisa mengombinasikan saham New Economy dan Old Economy untuk diversifikasi portofolio. Umpamanya, seorang investor yang memiliki profil risiko menengah mungkin mengoleksi dua saham Old Economy dan dua saham New Economy dalam portofolio.