

Ajaib.co.id – Pandemi COVID-19 yang menyebabkan resesi di tahun 2020 memberi dampak yang cukup memberatkan bagi sektor konstruksi. Baik BUMN maupun swasta sama-sama tak kebal resesi. Hal ini lantaran adanya penundaan aneka proyek yang menyebabkan turunnya pendapatan. Kondisi pemberi kerja turut mengalami kesulitan karena terdampak protokol kesehatan dan pembatasan anggaran selama COVID-19 merajalela.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, diketahui sepanjang tahun 2020 pemerintah telah mengetatkan anggaran infrastruktur hingga hampir 30 persen dibandingkan dengan yang dianggarkan di tahun 2019 yaitu sebesar Rp 349 triliun saja.
Pandemi telah membuat pemerintah mengubah-suai alokasi dana APBN 2020 untuk fokus ke program penanggulangan wabah COVID-19 . Dampaknya proyek-proyek yang dianggap kurang mendesak seperti infrastruktur dikurangi anggarannya. Semula anggaran infrastruktur untuk tahun 2020 yang dicanangkan adalah sekitar Rp 423 triliun.
Hal ini jelas menyulitkan bagi emiten-emiten BUMN karya yang banyak menggarap proyek pemerintah. Sebagai informasi di tahun sebelumnya emiten saham ADHI memegang 74 persen proyek infra pemerintah, WIKA 30 persen saja, sedangkan PTPP adalah sebanyak 27 persen. Total persentase proyek memang lebih dari 100 persen dikarenakan ada beberapa proyek yang dikerjakan oleh dua perseroan bersama-sama.
WSKT sendiri tidak memegang banyak proyek pemerintah akhir-akhir ini untuk menjaga likuiditas, mengingat divestasi ruas tol-nya sejak 2017 tidak berjalan lancar.
Dengan rancangan belanja negara di sektor infrastruktur yang ditingkatkan hingga 47% menjadi Rp414 triliun di tahun 2021, hal ini memunculkan harapan pemerintah akan segera melunasi biaya proyek-proyeknya dan akan menambah kas segar yang masuk.
Profil Emiten
PT Adhi Karya (Persero) Tbk (kode saham ADHI) adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam penyediaan jasa konstruksi. Perseroan menjalankan aktivitas bisnis yang dikelompokkan menjadi lima segmen, yaitu konstruksi, EPC (Engineering, Procurement & Construction), investasi infrastruktur, sarana-prasarana perkeretaapian, properti dan real estate.
Perseroan mengerjakan proyek seperti pembangunan jalan baru, jalan tol, underpass, bandara, pelabuhan dan dermaga, jembatan,pelabuhan, dermaga, bendungan dan saluran irigasi, jalur kereta api, Light Rail Transit (LRT), transportasi laut, renovasi stadion olah raga, jaringan gas bumi, gedung dan hotel, rumah, mall dan pemukiman lainnya.
ADHI didirikan tanggal 1 Juni 1974 dan melakukan pencatatan saham perdana di papan utama bursa Indonesia pada tanggal 18 Maret 2004. Dengan jumlah saham beredar sebanyak 3.560.849.376 lembar maka kapitalisasi saham ADHI adalah sebesar Rp 5,20 Triliun.
Sebagai BUMN pengendali mayoritas saham ADHI adalah Negara Republik Indonesia, yaitu sebanyak 51 persen. Sedangkan 49 persen dari total saham beredar di tengah-tengah masyarakat.
Review Laporan Keuangan Terakhir
Sep-20 | Sep-19 | |
Total Pendapatan | 8.457.747.316.516 | 8.941.591.684.095 |
Laba Bersih | 15.383.964.368 | 351.223.308.873 |
Ekuitas | 5.586.669.790.706 | 6.520.552.955.210 |
Total Aset | 37.551.771.373.860 | 32.669.479.147.731 |
Total Liabilitas | 31.965.101.583.155 | 26.148.926.192.521 |
Berdasarkan laporan keuangan per kuartal III-2020, hingga sembilan bulan tahun 2020 pendapatan yang berhasil didapat oleh ADHI turun sebesar 5,41 persen menjadi Rp 8,45 triliun. Meski pendapatan hanya turun 5,41 persen namun laba bersih anjlok hingga 95,62 persen Yoy menjadi Rp 15,38 miliar saja. Sebelumnya di akhir September 2019 laba bersih saham ADHI adalah sebesar Rp 351,22 miliar.
Beban pokok pendapatan saham ADHI hanya berkurang 3,15 persen saja dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, saat ini beban pokok pendapatannya adalah sebesar Rp 7,31 triliun. Dengan demikian besarnya laba kotor masih cukup baik yaitu Rp 1,14 triliun.
Penurunan laba bersih hingga 95 persen adalah disebabkan sejumlah faktor seperti kenaikan beban keuangan, beban umum dan beban administrasi. Belum lagi terdapat depresiasi laba ventura bersama dan rugi entitas asosiasi. Dengan demikian beban-beban dan depresiasi tersebut membuat laba bersih ADHI anjlok senilai ratusan miliar Rupiah menjadi hanya Rp15,38 miliar saja.
Sebenarnya bukan hanya ADHI saja, emiten BUMN karya lainnya pun menderita kerugian mencapai lebih dari 90 persen. Wijaya Karya Tbk (WIKA) misalnya mengalami penurunan laba hingga 96 persen yoy dari yang asalnya Rp1,35 triliun di September 2019 menjadi hanya Rp 50 miliar saja di September 2020.
Laba bersih PT Pembangunan Perumahan (PTPP) juga anjlok 94 persen yoy dari Rp 519,23 miliar menjadi hanya Rp 26,36 miliar saja di September 2020. PT Waskita Karya Tbk (WSKT) malah lebih parah lagi; merugi Rp 2,6 triliun per kuartal III-2020 dari yang semula laba Rp 1,5 triliun di kuartal III-2019.
Semua mengaku bahwa ketika pendapatan turun selama pandemi, mereka juga masih harus tetap membayar beban keuangan atas pinjaman bank dan penerbitan obligasi. Emiten konstruksi memang umumnya mengalami kesulitan ketika pandemi.
Sebagai informasi, pembayaran atas pekerjaan konstruksi biasanya dilakukan secara turnkey/secara sekaligus setelah proyek selesai, atau secara termin/dibayarkan berkala di setiap periode yang disepakati hingga lunas.
Adapun pendanaan proyek-proyek konstruksi sebagian berasal dari pinjaman dan surat utang. Oleh karenanya memiliki konsekuensi bunga pinjaman atas pokok pinjaman yang mesti dibayarkan. Nah, ketika pemerintah sebagai pemberi proyek terbesar mengalami kesulitan pendanaan maka emiten-emiten karya juga mengalami arus kas masuk yang seret.
Pendapatan terbesar Adhi Karya per September 2020 adalah berasal dari Kementerian Perhubungan sebesar Rp 1,35 triliun dan PT Hutama Karya sebesar Rp 1,9 triliun.
Rasio
Sep-20 | Sep-19 | |
NPM | 0,18% | 3,93% |
ROA | 0,04% | 1,08% |
ROE | 0,28% | 5,39% |
DER | 572% | 401% |
Besarnya beban-beban dan depresiasi laba ventura menyebabkan laba bersih ADHI ciut hingga 95 persen secara Year-over-Year (yoy) padahal pendapatan hanya turun 5,41 persen saja.
Karena ciutnya laba lebih besar dari turunnya pendapatan, tak heran rasio profitabilitas ADHI pun terseret dalam. Marjin laba bersih turun menjadi 0,18 persen saja, sebelumnya di kuartal III-2019 adalah sebesar 3,93 persen. ROA maupun ROE kini bahkan tak mencapai 1 persen masing-masing sebesar 0,04 persen dan 0,28 persen.
Ketika profitabilitas menurun, rasio utang berbanding ekuitas (DER) emiten berkode saham ADHI ini malah naik menjadi 5,72 kali lipat. Sebelumnya di September 2019 adalah sebesar 4x saja. Sebenarnya angka utang yang sehat adalah di bawah 1x alias tidak lebih besar dari ekuitasnya.
Sep-20 | Sep-19 | |
BVPS (Rp) | 1568,91 | 1831,18 |
EPS (Rp) | 4,32 | 98,63 |
PBV | 0,88 | 0,98 |
PER | 320,58 | 18,25 |
Secara valuasi nilai ekuitas per saham ADHI adalah sebesar Rp 1568. Dengan demikian harga saat ini Rp 1320 mencerminkan di bawah nilai bukunya. Dan dengan laba per saham yang menciut menjadi hanya Rp 4,32 saja, maka rasio PE nya melonjak menjadi 320,58. Jika laba bisa naik, maka rasio PE pasti bisa turun dan jadi lebih baik.
Review Kinerja


Dengan CAGR yang tipis, secara umum pendapatan tahunan rata-rata ADHI adalah sebesar Rp 15 triliunan. Kenaikan dan penurunan pendapatan berada di kisaran itu saja.
Laba bersih yang dibukukan sejak 2017 bertumbuh dengan pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) sebesar 8,8 persen. Marjin laba bersih (NPM) pun berangsur-angsur menguat seiring waktu. Sayangnya rasio utang berbanding dengan ekuitas (DER) juga terus meningkat.
Dividen
Dividen | |
2017 | 26,40 |
2018 | 28,94 |
2019 | 36,18 |
Sep-20 | 18,64 |
Pandemi yang kedatangannya tak terduga ini telah menyebabkan kondisi perekonomian dan pembiayaan melemah. Ini terjadi tak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia. Karena itulah realisasi proyek meleset dari target.
Semula di awal tahun 2020 pendapatan yang dikejar adalah sebesar Rp 22,7 triliun dengan target laba bersih sebesar Rp 704 miliar. Itu adalah target optimis pasca Pemilu di 2019. Dengan adanya pandemi laba per September 2020 saja baru Rp 15 miliar masih jauh dari target yang sebesar Rp 704 miliar. Pun dividen yang dibagikan mesti diirit, dan likuiditas ditingkatkan dengan menerbitkan surat utang Obligasi Tahap III sebesar maksimal Rp 5 triliun.
Pada bulan Juni 2020 ADHI membagikan 10 persen dari laba bersihnya di 2019 atau sebesar Rp 66,38 miliar dalam bentuk dividen tunai. Dengan demikian dividen yang dibagikan adalah sebesar Rp 18,64 per saham. Rasio pembayaran tersebut lebih kecil dari biasanya yang sebesar 20 persen dari laba per tahun.
Sebanyak 90 persen laba bersih ditahan dalam bentuk saldo laba yang belum ditentukan penggunaannya. Karena mayoritas saham dipegang oleh negara maka sebanyak 51 persen dari Rp 66,38 miliar atau sebesar Rp 33,85 miliar disetorkan ke Kas Umum Negara.
Prospek
Perolehan Kontrak Baru
Mengutip dari Bisnis, dalam keterangan resmi PT Adhi Karya di bulan Januari 2021, manajemen ADHI menyebutkan bahwa sepanjang 2020 perusahaan mencatat perolehan kontrak baru sebesar Rp19,7 triliun (di luar pajak) atau naik sebesar 34 persen dibandingkan perolehan kontrak baru pada tahun 2019 sebesar Rp14,7 triliun (sebelum pajak).
93 persen proyek dalam kontrak baru ADHI termasuk ke dalam segmen bisnis konstruksi dan energi, sedangkan 6 persen adalah proyek properti. Sisanya 1 persen berasal dari segmen lainnya yang ditangani oleh ADHI. Proyek yang bersumber dari pemerintah sendiri adalah sebesar 44 persen sesama BUMN sebesar 11 persen, dan perusahaan investasi sebesar 40 persen sisanya swasta sebesar 5 persen.
Pekerjaan konstruksi yang akan akan dilakukan terdiri dari proyek gedung sebesar 19 persen, proyek MRT sebesar 7 persen, jalan dan jembatan sebesar 56 persen, lalu ada bendungan, bandara dan proyek pengusahaan energi sebesar 18 persen.
Anggaran Infrastruktur
ADHI sebelumnya adalah pemegang 74 persen proyek pemerintah, paling besar dari semua emiten karya lainnya. Dengan besarnya anggaran pemerintah diperkirakan proyek yang dikerjakan di tahun sebelumnya akan dilunasi di tahun 2021.
Pembayaran piutang kemudian akan dapat digunakan untuk memperbaiki rasio utang emiten dan menambah modal untuk membiayai proyek-proyek yang akan datang. Dan oleh sebab itu prospek ADHI cukup cerah berkat ini.
Kesimpulan
Per September 2020 ADHI hanya mampu membukukan laba bersih Rp15 miliar saja, turun 95 persen dibandingkan periode yang sama sebelumnya. Namun nilai kontrak baru naik 34 persen menjadi Rp 19,7 triliun, sebelum pajak.
Dengan besarnya anggaran infrastruktur pemerintah, emiten percaya diri bahwa pembayaran proyek ADHI untuk pemerintah bisa cepat direalisasikan. Manajemen sendiri optimis di tahun 2021 karena pembiayaan infrastruktur yang dicanangkan sangat besar, yaitu sebesar Rp414 triliun naik 47 persen dibanding tahun 2020. Diharapkan dengan kembali fokusnya pemerintah terhadap infrastruktur dapat membantu arus kas ADHI lebih baik.
Di tahun sebelumnya ADHI memegang 74 persen proyek infrastruktur pemerintah. Dengan demikian berita tentang naiknya anggaran infrastruktur akan paling dirasakan oleh ADHI.
Dilansir dari Bisnis, Direktur Utama Adhi Karya Enthus Asnawi mengatakan ekonomi tahun depan diperkirakan akan pulih. Program Pemulihan Ekonomi Nasional dari pemerintah adalah harapan bagi emiten, dengan adanya vaksinasi maka keadaan diperkirakan akan berangsur-angsur normal dan pandemi COVID-19 bisa terkendali sepenuhnya.
Disclaimer: Tulisan ini berdasarkan riset dan opini pribadi. Bukan rekomendasi investasi dari Ajaib. Setiap keputusan investasi dan trading merupakan tanggung jawab masing-masing individu yang membuat keputusan tersebut. Harap berinvestasi sesuai profil risiko pribadi.