Ajaib.co.id – Ada banyak indikator untuk mengukur bagaimana pegawai yang berkualitas, di antaranya integritas, determinasi, inisiatif, kreativitas, kepemimpinan, cara menyelesaikan masalah, hingga bekerja di bawah tekanan. Namun, tahukah kamu bahwa kemampuan di atas tersebut ternyata bisa dimiliki oleh seseorang yang memiliki disleksia, sebuah gangguan proses belajar yang ditandai kesulitan membaca, menulis, hingga mengeja. Pada umumnya, penderita akan kesulitan memproses kata-kata untuk diucapkan.
Di balik gangguan tersebut, penderita disleksia ternyata cenderung lebih unggul dalam hal pekerjaan. Hal ini didukung dengan laporan yang yang diterbitkan firma konsultan EY berdasarkan data dari World Economic Forum (WEF) dan amal yang diusung oleh organisasi Made by Dyslexia untuk mengulas bagaimana kemampuan orang yang memiliki penyakit tersebut sejalan dengan kemampuan yang dibutuhkan profesional di masa yang akan datang.
Ada banyak indikator untuk mengukur bagaimana pegawai yang berkualitas, di antaranya integritas, determinasi, inisiatif, kreativitas, kepemimpinan, cara menyelesaikan masalah, hingga bekerja di bawah tekanan. Namun, tahukah kamu bahwa kemampuan di atas tersebut ternyata bisa dimiliki oleh seseorang yang memiliki disleksia, sebuah gangguan proses belajar yang ditandai kesulitan membaca, menulis, hingga mengeja. Pada umumnya, penderita akan kesulitan memproses kata-kata untuk diucapkan.
Di balik gangguan tersebut, penderita disleksia ternyata cenderung lebih unggul dalam hal pekerjaan. Hal ini didukung dengan laporan yang yang diterbitkan firma konsultan EY berdasarkan data dari World Economic Forum (WEF) dan amal yang diusung oleh organisasi Made by Dyslexia untuk mengulas bagaimana kemampuan orang yang memiliki penyakit tersebut sejalan dengan kemampuan yang dibutuhkan profesional di masa yang akan datang.
Berdasarkan prediksi WEF tentang keterampilan apa yang dibutuhkan di tahun 2022, EY menyoroti bagaimana beberapa kemampuan tertentu menjadi bermanfaat atau tidak sama sekali bagi perusahaan di tengah era otomatisasi. Kebutuhan untuk memproses dan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca, manajemen waktu, matematika, dan kemampuan mendengarkan secara aktif sedang menurun, sedangkan kreativitas dan kemampuan sosial seperti kepemimpinan, pemikiran analitik, dan desain teknologi sedang meningkat.
Penulis laporan tersebut juga menyoroti bahwa kemampuan yang dibutuhkan bagi pegawai di masa depan karena penting bagi perkembangan perusahaan ternyata dimiliki orang dengan disleksia. Kemampuan ini meliputi kepemimpinan, pengaruh sosial, kreativitas, inisiatif, dan bagaimana pengembangan ide.
Penulis juga menambahkan secara keseluruhan analisis tersebut menunjukkan bahwa kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk sejumlah pekerjaan yang biasanya menantang bagi orang dengan disleksia sebagian besar dipengaruhi oleh teknologi otomatisasi. Sebagai gantinya, tugas dan pekerjaan baru yang diciptakan sesuai dengan kemampuan orang yang memiliki gangguan saraf untuk memberikan keleluasaan organisasi perusahaan menjembatani kesenjangan kemampuan di masa depan.
Neurodiversity
Laporan tersebut merekomendasikan perusahaan untuk mengambil beberapa langkah dalam memanfaatkan kemampuan yang dimiliki oleh orang-orang dengan disleksia, mendorong para perekrut mengembangkan metode kemampuan neurodiverse untuk memahami berbagai profil kognitif.
Para peneliti EY mengungkapkan penyelarasan otomatisasi, budaya, dan neurodiversity adalah kunci penting bagi perusahaan untuk memicu kemampuan orang-orang tersebut yang nantinya akan bermanfaat besar bagi perusahaan di masa depan. Para peneliti EY mengajak para CEO, pemimpin perusahaan, dan para pengambil keputusan penting di organisasi untuk berbagi praktik terbaik dan insight dalam memanfaatkan value dari pegawai yang memiliki disleksia.
Dengan berinvestasi pada kombinasi otomatisasi yang jelas dan strategi sumber daya manusia, dan berusaha menciptakan tenaga kerja yang bersifat neurodiverse yang cocok bagi masa depan, perusahaan memiliki peluang untuk terus berkembang selagi berkompetisi secara sehat. Berdasarkan sejumlah sumber, neurodiversity mengacu pada berbagai cara bagaimana otak manusia bekerja dan menafsirkan informasi yang diperoleh.
Steve Hatch selaku Wakil Presiden Facebook di wilayah Eropa tertarik untuk mengomentari saran yang dibuat oleh EY. Menurutnya perusahaan perlu mendukung dan menghargai para pegawai yang memiliki cara berpikir yang berbeda. Sikap ini akan meningkatkan kepercayaan diri para pegawai dalam bekerja. Dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan di mata pegawai.
Steve menyebutkan bahwa orang yang memiliki disleksia cenderung mampu melihat hubungan antara informasi dengan informasi yang lainnya lebih besar dan mungkin dilewati oleh pegawai pada umumnya, serta menciptakan narasi yang dapat menyederhanakan produk atau pekerjaan yang kompleks. Agar organisasi berhasil beradaptasi, berkembang, dan mengakses kekuatan secara optimal orang yang kemampuan motoriknya sedikit kurang, perlu adanya dukungan, penghargaan, dan perubahan pola pikir yang kerap kali dilupakan.
Laura Powell, Kepala sumber daya manusia HSBC untuk perbankan ritel dan manajemen kekayaan menambahkan bahwa keterampilan yang dibutuhkan dari pegawai untuk perusahaan berkembang dan berkompetisi, tetapi tetap fokus pada objektif utama adalah empati, pemikiran kreatif, pemecahan masalah yang inovatif serta mampu berkomunikasi untuk membangun hubungan di berbagai kondisi. Semua kemampuan ini ternyata keunggulan yang dimiliki oleh kebanyakan pengidap dyslexia.
Sementara itu, Jannie Lay-Flurrie selaku kepala aksesibilitas di Microsoft mengomentari laporan EY bahwa orang-orang yang sulit membedakan mana kiri dan kanan ini menghadirkan keahlian dan kekuatan yang tak ternilai bagi organisasi. Maka dari itu, jika ada salah satu dari mereka ingin bekerja di start-up/korporat, memberikan peluang untuk tumbuh adalah keputusan yang tepat.
Richard Branson, triliuner penemu Virgin Group yang memiliki total lebih dari 400 perusahaan dan kekayaan mencapai US$5,1 miliar atau sekitar Rp72 triliun memuji orang-orang yang sulit memproses kata-kata ini atas kesuksesan sebagai pengusaha. Ia menambahkan bahwa orang-orang dengan kondisi tersebut memiliki kemampuan yang dibutuhkan masa depan.
Sebagai salah satu orang dengan kondisi tersebut, Richard Branson telah menemukan Virgin berbekal imajinasi yang merupakan kunci kesuksesan perusahaan yang telah berdiri sejak 1970an. Dalam unggahan di sebuah blog, pria kelahiran London, Inggris ini mengaku bahwa kekurangan yang dimilikinya justru membantu berpikir ide yang lebih cemerlang tetapi tetapi dapat diubah menjadi pesan yang lebih sederhana. Ia berpendapat bahwa dunia bisnis terlalu pada angka dan fakta dan melupakan aspek penting lainnya.
Detail dari data, kemampuan untuk bermimpi dan berkhayal, membuat konsep, dan berinovasi adalah yang membedakan antara siapa yang nanti akan menjadi sukses dan yang berakhir dengan kegagalan. Jadi, jika kamu adalah salah satu dari orang yang memiliki gangguan tersebut, jangan malu sebab kamu punya potensi yang tidak dimiliki banyak orang.
Sumber: People with dyslexia have the skills to future-proof the workforce, research claims, dengan perubahan seperlunya.