Ajaib.co.id – Saham perbankan sering kali dijadikan pilihan investor dalam berinvestasi karena perbankan sangat dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat baik baik untuk menabung, berinvestasi maupun bertransaksi.
Namun, memilih saham perbankan ini susah-susah gampang karena ada berbagai valuasi yang harus dipertimbangkan. Untuk mudahnya, investor pada umumnya menjatuhkan pilihan pada bank-bank yang termasuk ke dalam golongan BUKU IV.
Untuk kamu yang belum tahu, BUKU adalah singkatan dari Bank Umum Kelompok Usaha, singkatnya BUKU adalah patokan modal inti bank sebagai bahan untuk memperbesar profit.
Semakin besar modal inti yang dimiliki maka semakin besar juga peluang untuk menghasilkan profit dan akan lebih kuat untuk bertahan saat krisis. Karena daya tahannya terhadap krisis lebih besar maka saham-saham favorit dalam bank BUKU IV menjadi pilihan.
Secara umum, bank dikelompokkan ke dalam empat kelompok usaha; BUKU I adalah bank dengan modal inti kurang dari Rp1 Triliun; BUKU 2, Bank dengan modal inti Rp1 Triliun sampai dengan kurang dari Rp5 Triliun; BUKU 3, Bank dengan modal inti Rp5 Triliun sampai dengan kurang dari Rp30 Triliun; dan BUKU 4, Bank dengan modal inti di atas Rp30 Triliun.
Kini Indonesia memiliki tujuh bank yang termasuk ke dalam BUKU IV yaitu PT Bank Central Asia atau BCA (kode saham; BBCA), PT Bank Negara Indonesia atau BNI (BBNI), PT Bank Rakyat Indonesia atau BRI (BBRI), PT Bank CIMB Niaga (BNGA), PT Bank Mandiri (BMRI), PT Bank Pan Indonesia atau Panin (PNBN) dan PT Bank Danamon (BDMN).
Dari ketujuh penghuni kasta BUKU IV, ada empat bank terfavorit yaitu BBCA, BMRI, BBNI dan BBRI. Dari keempatnya, yang lebih ramah di kantong pastinya saham BBRI dan BBNI yang dihargai masing-masing Rp2620 dan Rp4000 per lembarnya.
Membandingkan keduanya adalah hal yang menarik karena Bank BRI memiliki aset paling besar nomor satu di Indonesia yaitu sebesar 1416,76 Triliun. Sedangkan BBNI di bawahnya yaitu 845,61 Triliun. Namun, BRI sebagai bank penyalur Kredit Usaha Rakyat (KUR) nomor satu di Indonesia dikhawatirkan akan mengalami kesulitan di tahun 2020 ini seiring aktivitas masyarakat yang terhenti karena pandemi Covid-19.
Tahun 2020 memang penuh dengan cobaan bagi emiten perbankan karena adanya kebijakan relaksasi kredit dan lain sebagainya. Namun, situasi seperti ini sebenarnya justru bisa dijadikan kesempatan untuk mengoleksi saham bank dengan harga murah. Nah, kira-kira di antara saham BBNI dan BBRI mana yang lebih bagus ya? Berikut analisisnya:
Sebagai sebuah perusahaan jasa, bank memperoleh pendapatan dari dua sumber yaitu pendapatan bunga dan pendapatan non-bunga. Mayoritas pendapatan sebuah bank adalah pendapatan bunga atau penyaluran kredit.
Keuntungan terbesar sebuah bank berasal dari bunga hasil pinjaman kredit yang diberikan. Dari jumlah pendapatan bunga, BBRI unggul dengan jumlah penyaluran kredit sebesar 2,5 kali lipatnya BBNI yaitu 81,7 triliun. Berikut kualitas komposisi penyaluran kredit BBRI;
BBRI adalah bank penyalur Kredit Usaha Rakyat (KUR) terbesar di Indonesia. Tercatat di tahun 2019 BRI menyalurkan 62,2% total KUR nasional. Porsi pinjaman usaha yang diberikan pada tingkat Medium (3%), Mikro (36%) dan Kecil (23%) atau yang disingkat UMKM mendominasi total kredit. Total kredit BRI yang dikucurkan sebesar 62% dari total penyaluran kredit.
Hal ini dirasa kurang baik pada kondisi saat ini mengingat adanya kebijakan terkait Covid-19 yang mempersilakan UMKM untuk mendapat relaksasi kredit. Relaksasi kredit bisa berupa cuti membayar cicilan kredit hingga satu tahun. Bisa juga penurunan bunga kredit, dll.
Hal yang pasti ialah relaksasi kredit akan cukup membebani bank penyalur kredit untuk UMKM seperti bank BRI. Oleh karenanya proyeksi pendapatan bunga di tahun fiskal 2020 pasti mengalami penurunan.
Mengenai penyaluran kredit BBNI memiliki strategi berbeda.
Porsi penyaluran kredit BBNI dilakukan lebih banyak ke nasabah korporat yang pinjamannya di atas 10 Milyar. Secara cakupan kredit jumlahnya mencapai 52% dari kredit yang disalurkan untuk pinjaman korporat. Sedangkan porsi penyaluran kredit BBNI ke UMKM (Small dan Medium) kecil saja, secara total yakni 27%.
Dengan demikian kebijakan pemerintah untuk membatasi kegiatan di tengah pandemi Covid-19 akan memberikan pengaruh yang lebih sedikit kepada BBNI. Maka kita masih bisa optimis terhadap pendapatan BBNI di tahun fiskal 2020.
Strategi penyaluran kredit yang berbeda memberikan risiko dan keuntungan yang berbeda pula;
Penyaluran kredit ke usaha Mikro dan KUR mengandung risiko yang lebih besar daripada korporat. Oleh karenanya kita bisa dapati Marjin Laba Bersih atau Net Interest Margin (NIM) BBRI lebih besar daripada BBNI.
NIM sebenarnya mirip dengan marjin kotor pada perusahaan non banking. NIM adalah bunga yang diperoleh, dikurangi dengan bunga yang diberikan, dibagi total pinjaman seluruhnya. Semakin besar NIM suatu bank maka semakin baik. NIM yang diperoleh BBRI selalu lebih besar dari BBNI. Itu karena risikonya juga lebih besar. Nasabah korporat dianggap lebih layak kredit dibandingkan nasabah UMKM. Mayoritas kreditur BBRI adalah UMKM.
Namun sayangnya, dari tahun ke tahun angkanya semakin kecil menyesuaikan dengan keadaan dalam negeri. Baru-baru ini suku bunga acuan juga diturunkan sehingga bisa menekan keuntungan banking. Meski keadaan nasional sedang kurang menyenangkan beberapa tahun terakhir, laba bersih terus tumbuh. Hebatnya kedua bank ini sangat efisien sehingga walau NIM menurun, laba bersih tetap bertumbuh
Laba bersih naik dikarenakan pendapatan non bunga yaitu dari biaya administrasi tabungan, biaya transaksi seperti transfer dll terus meningkat. Laba bersih yang meningkat juga didukug aktivitas trading bank di pasar spot dan derivatif. Berikut data pendapatan Non Bunga kedua bank;
Dalam memperoleh pendapatan non bunga BBNI melakukan pendekatan ke universitas-universitas. Pembayaran uang kuliah dan lainnya mayoritas dilakukan bekerja sama dengan BBNI. Sedangkan BBRI melakukan pendekatan lebih ke perusahaan-perusahaan agar bisa melakukan pembayaran gaji melalui BBRI. Untuk melakukannya BBRI menjanjikan kemudahan pemberian kredit kepada para karyawan. Dengan begitu keduanya berhasil meningkatnya pendapatan non bunganya dan membantu peningkatan Laba Bersih.
Dari keduanya, BBRI lebih baik karena strateginya berhasil membuahkan pertumbuhan pendapatan non bunga sebesar CAGR 15,53%. Artinya pendapatan non bank-nya BBRI setiap tahun naik compounding 15,53%. Sedangkan pertumbuhan pendapatan non bank BBNI adalah CAGR 10,37% saja; pendapatan non bank-nya BBNI setiap tahun naik compounding 10,37%.
Berikut adalah rasio kredit macet kedua bank;
Non Performing Loan (NPL) adalah rasio kredit macet. Ini adalah rasio kesehatan sebuah bank. Bank Indonesia (BI) menetapkan bahwa rasio kredit macet (NPL) tidak boleh lebih dari 5%. Rumus Perhitungannya adalah: (Total NPL/Total Kredit) x 100%. Semakin tinggi angkanya maka semakin tidak sehat sebuah bank.
BBRI lebih besar NPL nya karena memang risiko penyaluran kredit ke UMKM lebih besar. BBNI yang lebih banyak menyalurkan kredit ke korporat membuat kredit macet lebih sedikit terjadi di BBNI. Namun buat kamu yang punya BBRI, jangan khawatir. BBRI masih jauh dari kebangkrutan.
Capital Adequacy Rate (CAR) atau Rasio Kecukupan Modal memberikan rasio kesehatan emiten perbankan. Semakin besar CAR maka semakin jauh dari kata bangkrut. Kriteria Penetapan Peringkat Permodalan (CAR) Untuk Emiten Perbankan Sumber : Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP Tahun 2004 yaitu Capital Adequacy Ratio (CAR) =(modal bank)/(aktiva tertimbang menurut risiko) x 100%.
CAR dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu besarnya modal bank dan jumlah Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Hal ini disebabkan penilaian terhadap faktor permodalan didasarkan pada rasio Modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). CAR yang ditetapkan adalah 8%, sedangkan BBNI dan BBRI jauh di atas itu. Maka daya tahan keduanya dari kebangkrutan di masa-masa sulit terbilang besar.
Bicara tentang daya tahan dari kebangkrutan, rasio LDR berikut ini bisa diperhatikan;
LDR adalah Loan to Deposits Ratio atau rasio yang mengukur kemampuan bank dalam melakukan likuiditas. LDR dicari dengan membagi total kredit terhadap total Dana Pihak Ketiga (DPK). Dana masyarakat yang dititipkan di bank disebut DPK. Jika suatu saat negara mengalami krisis dan semua orang mendadak rush (ingin mengambil semua tabungannya di bank) maka rasio LDR perlu diperhatikan.
LDR yang baik bagi emiten perbankan adalah minimum 60% dan maksimum 110%. Nilai LDR jika terlalu tinggi artinya tidak memiliki likuiditas. Namun jika nilai LDR terlalu rendah berarti likuiditas suatu bank cukup memadai tetapi pendapatannya rendah. BBNI terakhir memiliki nilai LDR 88,64% sedangkan BBRI adalah 91,5%. Masih berada dalam kisaran likuiditas yang dianjurkan sehingga keduanya terbilang baik.
Lalu mari kita bicara dari sisi laba per saham;
Dari sisi laba per saham (EPS) ternyata BBNI lebih besar! Setiap tahunnya EPS nya BBNI naik secara CAGR 7,93% dengan nilai Rp825. Sedangkan BBRI hanya Rp279 saja dengan pertumbuhan per tahun sebesar 7,11%. Dari sisi EPS dan pertumbuhan EPS ternyata BBNI lebih menarik.
Meski demikian, BBRI lebih dermawan dalam membagikan deviden;
Dari EPS nya, BBNI hanya membagikan deviden sekitar 25% hingga 35% dari EPS nya. Sedangkan BBRI membagikan 40% hingga 65% dari EPS nya.
Kesimpulan;
BBRI lebih menarik daripada BBNI. Alasannya karena pendapatan bunga dan non bunga dari BBRI lebih besar dari BBNI dan bertumbuh lebih tinggi dari BBNI. Marjin Laba Bersih keduanya menurun. Tapi Laba Bersih masih bertumbuh karena kepiawaian keduanya yang patut diakui jempol. Namun strategi BBRI terbukti memberikan sumbangsih lebih besar dan pertumbuhan lebih baik pada pendapatan non bunganya.
Akan tetapi karena porsi penyaluran kreditnya BBRI kepada UMKM mendominasi pendapatan bunga, maka BBRI terpapar risiko penurunan pendapatan bunga. Kebijakan relaksasi kredit dan penurunan suku bunga akibat pandemic Covid-19 akan merugikan BBRI. Artinya harga sahamnya bisa jatuh selama relaksasi kredit kepada UMKM dijalankan. Namun ini justru menarik.
Menarik karena manajemennya baik. Terbilang baik karena strategi yang diterapkan memberikan hasil yang baik dan terukur. Menarik karena setelah dampak kebijakan relaksasi kredit, memungkinkan kita untuk mendapat harga murah dari BBRI. Ini artinya diskon, sob. Perusahaan dengan saham harga murah dengan manajemen baik. Terlebih lagi BBRI lebih murah hati dari BBNI dalam membagikan dividennya.
BBNI pun baik karena lebih tahan dari risiko penurunan akibat relaksasi kredit yang diberikan kepada UMKM. BBNI juga memiliki pertumbuhan EPS yang lebih baik dari BBRI.
Disclaimer; Analisis di atas mungkin bersifat bias karena penulis memiliki kedua saham yang dibicarakan. Untuk memiliki keputusan yang lebih baik maka disarankan untuk melakukan analisis lebih dalam lagi mengenai kedua saham yang dibahas di atas.