Ajaib.co.id – Logam mulia emas dan obligasi pemerintah layak dijadikan aset pengaman harta atau safe haven untuk investor saat ini di tengah pandemi virus corona (Covid-19) yang masih terjadi.
Sejumlah negara diketahui tengah melakukan uji coba atas vaksin virus corona. uji coba obat eksperimental terhadap pasien Covid-19 yang sakit parah di Rumah Sakit University of Chicago, pasien tersebut diketahui merespons positif obat eksperimental Remdesivir.
Untuk diketahui hingga Selasa siang (21/4/2020) jumlah orang terinfeksi virus corona berdasarkan data worldometers telah mencapai 2,48 juta jiwa di seluruh dunia. Kondisi yang demikian membuat harga emas di tingkat global melambung hingga menembus level psikologis US$ 1.700 per troi ons.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia Ramdhan Ario Maruto mengatakan kepada kontan.co.id, untuk jangka panjang belum ada yang bisa mengalahkan prospek atau daya tarik emas. Bahkan, sejak adanya covid-19, aset safe haven tersebut terus menawarkan imbalhasil yang menarik.
“Untuk jangka panjang emas tetap jadi yang paling menarik, namun kalau Covid-19 mereda atau berakhir, maka potensi harga emas turun sangat dimungkinkan,” kata Ramdhan kepada Kontan, Minggu (19/4).
Mengutip data tradingeconomics harga emas pada Selasa (21/4) pukul 12.21 WIB turun tipis 0,02% ke level US$ 1.691 per troi ons, akan tetapi dalam satu bulan terakhir harga emas mengalami kenaikan 8,68%.
Selain harga emas, alternatif safe haven lain yang tak kalah potensialnya menurut Ramdhan ialah obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah atau surat utang negara (SUN).
Dengan tren imbal hasil (yield) yang sudah berada di kisaran 8% untuk SUN tenor 10 tahun, ramdhan menilai sekarang waktu yang tepat untuk memburu obligasi.
“Obligasi jadi instrumen yang menarik, selain yield yang sudah tinggi, marketnya mulai stabil dan yield cenderung flat sehingga menarik untuk jangka menengah,” ujarnya.
Apalagi, usai investor asing melakukan aksi net sell hingga ratusan triliun, maka prospek obligasi justru menjadi semakin menarik. Ramdhan cukup optimistis ke depan asing akan kembali masuk dan pasar Indonesia sebagai negara emerging market akan kembali menjadi incaran.
Persepsi Risiko Berinvestasi Indonesia Semakin Baik
Berbagai upaya pemerintah menjaga kestabilan ekonomi dari tekanan global akibat pandemi corona mulai membuahkan hasil nyata. Persepsi investor terhadap risiko investasi di Indonesia berangsur-ansur menurun.
Hal ini tercermin dari pergerakan angka credit default swap (CDS) Indonesia yang terlihat menurun. Melansir kontan pada hari Rabu (15/4) level CDS Indonesia tenor 10 tahun berada di 285,45. Level tersebut mengalami penurunan signifikan 10,19% dari level 317,84 di pekan lalu.
CDS adalah kontrak swap di mana pembeli melakukan pembayaran ke penjual, dan sebagai imbalannya menerima hak untuk memperoleh pembayaran bila kredit mengalami default atau kejadian lain yang tercantum dalam credit event, misalnya kebangkrutan atau restrukturisasi. CDS bisa dikatakan sebagai patokan persepsi risiko berinvetasi
Meski level CDS menurun, Head of Fixed Income Trimegah Asset Management Darma Yudha mengatakan, tidak lantas investor menilai risiko investasi di dalam negeri sudah aman. Apalagi, dana investor asing masih keluar dari pasar finansial.
Ini juga terjadi di pasar obligasi. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, kepemilikan asing di surat berharga negara (SBN) turun Rp 8 triliun selama sepekan hingga Selasa (14/4) jadi Rp 919,52 triliun.
Yudha menilai kepercayaan investor mulai terbangun. Level CDS turun juga karena pemerintah baru-baru ini berhasil menerbitkan tiga seri global bond berdernominasi dollar Amerika Serikat (AS) senilai US$ 4,3 miliar.
“Penerbitan global bond sedikit banyak menambah kepercayaan asing masuk ke Indonesia, jadi CDS bisa turun,” kata Yudha kepada kontan hari Kamis (16/4.2020) di Jakarta.
Selain itu, investor asing kembali melirik aset berisiko setelah bank sentral AS The Federal Reserve memberikan fasilitas repurchase agreement line (repo line) ke Bank Indonesia (BI) senilai US$ 60 miliar.
“Fasilitas repo line bisa membantu menjinakkan pelemahan rupiah,” kata Yudha. Kondisi ini juga membuat risiko investasi menurun.
Dari internal, Yudha melihat sikap pemerintah yang semakin terbuka dan proaktif dalam mengatasi penyebaran Covid-19 semakin menambah kepercayaan investor. Maklum, tadinya pemerintah dinilai lamban dalam mendeteksi corona.