Saham

Dampak Kenaikan Cukai Terhadap Saham Rokok

Ajaib.co.id – Pada awal Desember 2020 lalu, pemerintah mengumumkan rencana kenaikan cukai rokok sebesar rata-rata 12,5 persen yang akan efektif berlaku pada 1 Februari 2021. Harga saham-saham rokok rontok menanggapi kabar tersebut hingga beberapa diantaranya menyentuh ambang auto reject bawah (ARB).

Namun, sejumlah analis malah menilai penurunan harga akibat kenaikan cukai ini sebagai peluang untuk berinvestasi. Bagaimana sebenarnya dampak kenaikan cukai terhadap saham rokok?

Kenaikan Cukai Rokok Tahun 2021

Berdasarkan pengumuman yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kenaikan tarif cukai rokok hanya diberlakukan untuk segmen industri rokok mesin.

Kenaikan cukai untuk sigaret putih mesin (SPM) golongan I naik 18,4 persen, sigaret putih mesin golongan II A 16,5 persen, sigaret putih mesin IIB 18,1 persen, sigaret kretek mesin (SKM) golongan I 16,9 persen, sigaret kretek mesin II A 13,8 persen, dan sigaret kretek mesin II B 15,4 persen. Sementara itu, pemerintah tidak mengubah tarif cukai untuk segmen industri sigaret kretek tangan (SKT) yang lebih padat karya.

Kenaikan cukai sebesar dua digit khusus SKM dan SPM ini menimbulkan perbedaan pula dalam proyeksi kenaikan beban cukai yang harus ditanggung oleh perusahaan-perusahaan rokok Indonesia.

Emiten rokok berkapitalisasi besar seperti PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) cenderung memproduksi jauh lebih banyak SKM daripada SKT, sehingga akan menanggung kenaikan beban lebih besar. Sedangkan emiten rokok berkapitalisasi lebih kecil justru kemungkinan menghadapi dampak kenaikan cukai yang lebih kecil. 

Rokok kategori SKM berkontribusi pada 91,1 persen dari total volume penjualan PT Gudang Garam Tbk tahun 2019, sedangkan kategori SKT hanya menyumbang 8,9 persen. SKM juga mendominasi pendapatan PT HM Sampoerna Tbk. Rincian pendapatan HMSP tahun 2019 menunjukkan kontribusi SKM sebesar Rp74,4 triliun, SKT Rp19,7 triliun, dan SPM Rp11,1 triliun.

Sementara itu, PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) mencetak penjualan neto SKM sebesar Rp809,56 miliar dan SKT Rp379,65 miliar pada tahun 2019. PT Indonesian Tobacco Tbk (ITIC) berfokus memproduksi tembakau linting sendiri yang siap pakai, sehingga relatif tak terdampak. Data dari satu emiten rokok lainnya, PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA), belum tersedia untuk saat ini.

Berdasarkan data-data ini, kita dapat menyimpulkan sepintas bahwa emiten rokok berkapitalisasi besar bakal lebih terdampak oleh kenaikan cukai rokok.

Namun, ada pula beberapa hal lain yang perlu diperhitungkan. Misalnya tentang apakah kenaikan cukai selama ini menggerogoti profitabilitas perusahaan rokok, ataukah justru perusahaan-perusahaan rokok itu tetap mampu menghasilkan laba? Kita akan membahas ini dalam bagian artikel berikutnya.

Apakah Kenaikan Cukai Memperburuk Kinerja Perusahaan Rokok?

Ketika cukai naik, perusahaan rokok biasanya memiliki banyak alternatif cara untuk mempertahankan profitabilitas. Misalnya dengan menekan harga beli bahan baku (tembakau) di tingkat petani, memangkas jumlah karyawan atau mengurangi penyerapan tenaga kerja untuk beralih ke mesin, maupun efisiensi usaha lainnya.

Perusahaan rokok juga bisa mendiversifikasi bisnisnya dengan berekspansi ke bidang lain maupun melancarkan strategi marketing inovatif.

Mari ambil contoh PT Gudang Garam Tbk (GGRM) yang memiliki segudang anak usaha pada bisnis berbeda-beda. Beberapa anak usaha GGRM di bidang non-rokok antara lain:

  1. PT Surya Air bergerak dalam bidang penerbangan.
  2. PT Dhanista Surya Nusantara memiliki sekitar 100 ribu hektar kebun kelapa sawit.
  3. PT Graha Surya Media bergerak dalam bidang hiburan dan media.
  4. PT Surya Pamenang merambah industri kertas.

Kontribusi dari anak-anak usaha saat ini mungkin tidak seberapa dibandingkan bisnis utama Gudang Garam. Tapi tentu anak-anak usaha ini bukan didirikan tanpa alasan.

PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) menjajal celah berbeda dengan mengembangkan Sampoerna Retail Community (SRC). SRC merupakan program kemitraan Sampoerna untuk meningkatkan daya saing para pemilik toko kelontong melalui pendampingan usaha berkelanjutan yang berbasis komunitas.

Komunitas SRC telah berkembang dari 57 toko pada tahun 2008 menjadi lebih dari 120 ribu toko per kuartal I/2020, tersebar di 34 provinsi se-Indonesia. Kamu mungkin pernah melihat salah satu tokonya dengan fasad khas berwarna merah dan bertuliskan “SRC”. 

Dengan strategi bisnis yang mumpuni, perusahaan rokok mampu untuk tetap menghasilkan laba dan terus bertumbuh meski terkena beban cukai yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tengok saja laporan keuangan masing-masing emiten ataupun rangkuman kinerja keuangan HMSP dan GGRM pada RTI Business.

Kedua emiten rokok paling top itu sama-sama berhasil mencetak kenaikan aset dan pendapatan setiap tahun sejak 2015 hingga 2019 (data tahun 2020 baru mencapai kuartal III). Padahal cukai rokok meningkat terus sekitar 10 persen per tahun dalam rentang waktu tersebut.

Kenaikan cukai rokok tahun 2021 memang kemungkinan bakal lebih membebani perusahaan rokok seperti GGRM dan HMSP. Namun, perusahaan rokok kelas atas juga memiliki lebih banyak jalan untuk mempertahankan kinerja di tengah kenaikan cukai yang terus-menerus.

Jadi, dampak kenaikan cukai tidak akan serta-merta meruntuhkan kinerja saham rokok. Cukai rokok bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan kinerja saham rokok. Bahkan dapat dikatakan kalau cukai rokok hanyalah salah satu faktor minor diantara banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja masing-masing perusahaan.

Faktor apa saja selain cukai yang bisa mempengaruhi kinerja saham rokok? Dari sisi makro, ada faktor-faktor seperti pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang akan turut menentukan naik-turun permintaan masyarakat terhadap produk rokok dan kawan-kawannya. Dari dalam industri, daya saing perusahaan dan kemampuan manajemen juga dapat mempengaruhi.

Artikel Terkait